Go-Pena Baner

Wednesday, 12 November, 2025

Mesin Represi Budaya Apakah Layak Disebut Pahlawan?

Responsive image
Apriadi Bumbungan - (Akademisi Fakultas Sastra dan Budaya UNG)

Oleh : 

Apriadi Bumbungan - (Akademisi Fakultas Sastra dan Budaya UNG)

HARI Pahlawan diperingati untuk menghormati mereka yang memperjuangkan kemerdekaan, keadilan, dan kebebasan. Namun, pengukuhan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional menimbulkan pertanyaan mendasar: bisakah pencapaian pembangunan ekonomi dan stabilitas politiknya dipisahkan dari mesin represif yang menutup ruang berpikir, membungkam kritik, dan membentuk memori kolektif?

Pahlawan sejati memperluas kebebasan, menegakkan keadilan, dan mempertahankan martabat manusia. Tanpa ujian akuntabilitas sejarah dan budaya, gelar untuk Soeharto menjadi deklarasi nilai yang menegaskan siapa yang pantas diteladani. Rezim Orde Baru (1966–1998) tidak hanya membangun ekonomi dan infrastruktur, tetapi juga mengontrol wacana dan budaya secara sistematis, terstruktur, dan masif (Roosa, 2006; Farid, 2013).

Menempatkan Soeharto sejajar dengan figur yang memperjuangkan kebebasan publik memperkuat dominasi narasi tunggal. Dalam kerangka Hannah Arendt (1964) tentang banality of evil, tindakan represif bisa menjadi “biasa” ketika dijalankan rutin oleh birokrasi, sehingga masyarakat menormalisasi ketidakadilan. Gelar pahlawan dalam konteks ini berfungsi sebagai legitimasi simbolik bagi mesin yang membungkam kebebasan berpikir, menekan media, menyensor pendidikan dan budaya, serta menutupi trauma kolektif.

Keputusan simbolik ini bukan sekadar kontroversi historis, tetapi berdampak pada memori kolektif, pendidikan moral, dan definisi kepahlawanan. Hari Pahlawan seharusnya menjadi momen refleksi kritis, bukan panggung legitimasi bagi figur yang menutup ruang publik dan menyederhanakan sejarah kompleks bangsa.

 

Kekerasan Budaya: Kontrol Simbolik terhadap Wacana Publik

Mesin represif Orde Baru tidak hanya mengandalkan kekuatan militer, tetapi juga menjalankan kekerasan budaya melalui kontrol sistematis terhadap bahasa, wacana, pendidikan, media, dan seni. Dalam kerangka Foucaultian, negara membentuk kebenaran yang diterima dan menutup kemungkinan tafsir alternatif (Foucault, 1975), sehingga generasi muda dibesarkan dalam kerangka berpikir terbatas tanpa akses terhadap kritik atau refleksi terhadap kekuasaan.

Sejarah mencatat bahwa pada Juli 1994, tiga media populer—Tempo, Editor, dan Detik—dibredel bersamaan setelah melaporkan korupsi dan pelanggaran HAM (Human Rights Watch, 1998). Sebelumnya, Januari 1978, tujuh media besar seperti Kompas, Sinar Harapan, dan Merdeka juga dilarang terbit karena liputan kritis mahasiswa. Pembredelan ini bukan insiden tunggal, tetapi bagian dari pengendalian wacana publik yang ketat, sekaligus menandai titik balik kebebasan pers yang terpangkas drastis. Langkah‑langkah ini bukan sekadar pembredelan fisik tetapi upaya mendisiplinkan wacana publik—narasi alternatif dipotong, kontrol media latek menjadi norma.

Sementara itu, pendidikan dan film propaganda menjadi alat penyebaran narasi resmi. Kurikulum sejarah dari dekade 1970‑an menekankan citra Soeharto sebagai ‘penyelamat bangsa,’ sementara film seperti Pengkhianatan G30S/PKImenjadi tayangan wajib di sekolah dan instansi pemerintah. Sebuah mekanisme memori visual yang menegaskan satu tafsir sejarah versi negara sebagai kebenaran tunggal (Roosa, 2006). Dengan demikian, institusi pendidikan dan media berubah menjadi mesin reproduksi kepatuhan, bukan ruang pembentukan warga negara kritis (wawancara Hilmar Farid di Indoprogress, 2013).

Reposisi budaya seperti ini menghasilkan generasi yang mengalami trauma—bukan trauma akibat kekerasan fisik semata, tetapi trauma akibat imajinasi yang terbatasi dan ruang publik menjelma penjara wacana. Rezim Orde Baru mengubah seni, media, dan pendidikan menjadi instrumen stabilitas, bukan refleksi apalagi kritik. Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa pengukuhan Soeharto sebagai pahlawan berisiko memberi legitimasi pada dominasi budaya yang represif.

Sensor Sastra, Musik, dan Teater: Ranah Pembungkaman yang Nyata

Sastra, musik, dan teater adalah medan efektif perlawanan simbolik terhadap dominasi ideologi dan kekuasaan. Penegakan kontrol atas ekspresi kreatif menunjukkan skala dan kedalaman kekuasaan represifitas budaya selama masa pemerintahan Orde Baru Soeharto.

Dalam ranah sastra, penahanan pengarang besar memberi gambaran kuat betapa tiran sosok Soeharto. Pramoedya Ananta Toer menulis seri Buru Quartet selama di penjara Pulau Buru tanpa pengadilan—karya ini menolak narasi resmi negara dan memberi suara kepada kaum tertindas. Novel‑novel itu kemudian dilarang beredar di Indonesia hingga reformasi (Herlambang, 2013). Sastrawan lain seperti Putu Oka Sukanta juga dipenjara tanpa pengadilan akibat dugaan keterkaitan dengan kelompok LEKRA, membuktikan bahwa sastra yang menantang kekuasaan dianggap ancaman sistemik.

Di ranah musik, sensor dan pembatasan terhadap seniman protes menjadi nyata. Iwan Fals, ikon musik kritik sosial Indonesia, menghadapi pembatasan dan sabotase pertunjukan serta penyiaran lintas media karena lagunya yang menyoroti korupsi, ketidakadilan, dan kesenjangan ekonomi. Konser‑konsernya kerap dibatasi, lirik tertentu ditunda atau dilarang. Selain Iwan Fals, grup musik seperti Bimbo dengan lagu “tante Sun” dan Alpamas mengalami sensor karena lagu‑lagu mereka dianggap menyuarakan kritik sosial atau politik langsung. Sementara itu, Rhoma Irama, yang dikenal luas sebagai “Raja Dangdut”, dicekal tampil di televisi hingga 11 tahun—salah satunya lagu ‘Judi’ yang menyitir program PORKAS (Pekan Olahraga dan Ketangkasan)—karena dianggap mengkritik kebijakan pemerintah (VOI, 2016). Praktik semacam ini menunjukkan bahwa musik, alih‑alih menjadi ruang kebebasan kreatif, dikontrol untuk memastikan bahwa kritik sosial tidak mendapat platform luas.

Teater dan seni pertunjukan juga diawasi dengan ketat. Kelompok seperti Teater Koma dan sanggar-sanggar Teater Jakarta yang menampilkan karya satire terhadap kebijakan pemerintah kerap menghadapi pembatasan izin dan sensor naskah. Nama besar seperti W.S Rendra tak luput dicekal sehingga membuat Bengkel Teater asuhannya mati suri selama 20 tahun. Bahkan pertunjukan rakyat sederhana yang mengangkat isu keseharian masyarakat pun tidak lepas dari intimidasi aparat. Seni dipaksa menyesuaikan diri dengan standar pembangunan dan stabilitas, bukan sebagai medan kritik atau refleksi sosial. Efeknya kumulatif: karya‑karya kritis sulit diterbitkan atau dipentaskan, generasi penerus kehilangan medium untuk menafsir sejarah secara mandiri, dan seni rakyat yang masih hidup berfungsi lebih sebagai dekorasi pembangunan daripada ruang kebebasan.

Korupsi dan Kleptokrasi: Cermin Bobrok Akuntabilitas Negara

Selain represi budaya dan pengendalian wacana, Orde Baru juga ditandai oleh praktik korupsi skala besar yang berdampak jangka panjang terhadap kapasitas negara dan legitimasi kekuasaan. Organisasi anti‑korupsi Transparency International mencatat bahwa keluarga Soeharto diperkirakan telah menggelapkan antara US$ 15 miliar hingga US$ 35 miliar dari aset publik—meskipun angka ini diperdebatkan secara metodologis (Transparency International, 2004). Inisiatif internasional seperti Stolen Asset Recovery Initiative (StAR) yang dijalankan oleh World Bank dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menempatkan kasus ini sebagai contoh utama pengalihan aset ke luar negeri, dengan jalur aset yang sulit ditelusuri dan dikembalikan (ICW, 2008).

Penegakan hukum domestik terhadap Soeharto juga menemui kegagalan. Pada 2006, Kejaksaan Agung Republik Indonesia menghentikan proses penuntutan terhadap Soeharto dengan menyatakan kondisi kesehatannya tidak memungkinkan diadili (ABC News, 2006). Akibatnya, meskipun fakta korupsi itu nyata dan telah dikeluarkan secara internasional, pertanggungjawaban pidana yang tuntas tidak pernah terjadi. Praktik kleptokrasi ini bukan hanya soal memperkaya pribadi Soeharto, tapi juga kroni-kroni dekatnya. Sebuah kajian internal World Bank mencatat bahwa bocornya pengeluaran publik Indonesia selama Orde Baru mencapai sekitar 20–30 % dari nilai program pembangunan. Hal itu berdampak langsung pada pelayanan publik yang timpang, sekaligus mengukuhkan kontrol kepala negara (baca; Soeharto) terhadap penyelewengan anggaran pembangunan, ekspor-impor pangan, dan deforestasi hutan Kalimantan-Papua demi kepentingan kantong pribadi (Down to Earth Indonesia, 2017).

Korupsi dalam skala seperti ini tidak hanya mencuri sumber daya publik, tetapi juga memutus peran negara kepada warga negaranya, serta melemahkan institusi budaya sipil/budaya kewargaan (Citizenshiup), kebebasan pers, dan seni kritis. Dalam konteks ini, legitimasi pembangunan yang diwakili oleh Soeharto dibangun atas landasan korupsi struktural dan represi budaya. Maka, ketika kita memberikannya gelar pahlawan, kita harus mempertimbangkan secara komprehensif kerusakan moral, budaya, dan institusional yang diwarisi tersebut.

Kepahlawanan yang Hilang dan Paradoks Moral

Dalam sejarah Indonesia, terdapat figur‑figur yang menegaskan bahwa kepahlawanan bukanlah soal pembangunan fisik semata, tetapi keberanian moral—menjaga ruang kebebasan berpikir dan berekspresi meski menghadapi ancaman bahkan pembunuhan. Contohnya; Marsinah, buruh perempuan yang memperjuangkan hak pekerja, dirudapaksa dan dibunuh pada 8 Mei 1993 setelah memimpin mogok di pabrik PT CPS Porong; Wiji Thukul, penyair kritis yang dihilangkan paksa saat momentum reformasi maret1998; dan Munir, aktivis HAM yang diracun yang hendak membongkar pelanggaran HAM Orde Baru. Mereka mempertaruhkan nyawa demi membela kedaulatan rakyat, kebebasan berpikir, dan kesejahteraan rakyat banyak (Bonum Commune). Dan mereka melakukannya tanpa legitimasi kekuasaan atau dana pembangunan besar, tanpa pamrih.

Menempatkan Soeharto, penguasa yang memimpin mesin represif budaya serta kleptokrasi selama lebih dari tiga dekade sejajar dengan figur-figur yang menegakkan kebenaran dan kebebasan, bukan sekadar paradoks moral, ia menjadi legitimasi simbolik bagi impunitas. Gelar pahlawan berubah menjadi ritual pemutihan atas luka budaya yang belum sembuh dan atas penggelapan aset publik yang tidak pernah dipulihkan.

Menurut Hannah Arendt (1964), banality of evil menunjukkan bahwa kekejaman bisa tampak biasa ketika birokrasi menjalankan perintah tanpa refleksi moral. Di bawah Orde Baru, pendidikan, media, dan budaya populer diorganisasi untuk membungkam kritik, menstigmatisasi lawan politik, dan membatasi ruang wacana secara sistematis. Akibatnya, kekerasan politik, sensor, dan pengekangan kebebasan berpikir terlihat normal bagi masyarakat. Mengukuhkan Soeharto sebagai pahlawan memperkuat logika ini: represi dinormalisasi, dan masyarakat diajarkan menerima kekuasaan represif sebagai bagian dari stabilitas, sambil menutup peluang refleksi moral terhadap sejarah yang kompleks.

Gelar pahlawan bukan sekadar pengakuan formal; ia membentuk apa yang diajarkan di sekolah, dibaca generasi muda, dan bagaimana bangsa menafsirkan sejarah. Dengan memilih simbol seorang penguasa yang menutup mulut rakyat, bangsa ini seolah menyatakan bahwa stabilitas bisa dibeli dengan pembungkaman, sensor, dan penutupan narasi alternatif. Sebaliknya, menghormati mereka yang mempertahankan kebebasan berpikir dan berekspresi adalah fondasi bagi demokrasi yang jujur, adil, dan manusiawi. Dengan kata lain, normalisasi represi yang dijelaskan Arendt juga membentuk pemahaman nilai kepahlawanan bagi generasi berikutnya, sehingga pengukuhan Soeharto menimbulkan implikasi moral dan pendidikan yang serius bagi bangsa.

Siapa yang Layak Disebut Pahlawan?

Pengukuhan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bukan sekadar prosedur administratif, melainkan keputusan simbolik yang menentukan bagaimana sejarah dan kepahlawanan dilihat publik. Keputusan ini menegaskan dominasi satu narasi resmi dan berpotensi membungkam ruang refleksi kritis yang memungkinkan masyarakat menilai masa lalu secara objektif. Fakta sejarah menunjukkan bahwa di bawah Orde Baru, sastrawan-penulis ditahan tanpa proses hukum, media dibredel, musik dan teater disensor, dan praktik korupsi sistemik jarang diusut tuntas. Semua ini menunjukkan bahwa kebebasan berpikir dan berekspresi dibatasi secara sistemik, dan kekuasaan digunakan untuk menihilkan ruang publik.

Keputusan simbolik ini bukan hanya soal legitimasi formal, tetapi juga nilai moral yang ditanamkan pada generasi muda dan memori kolektif bangsa. Gelar pahlawan menentukan siapa yang layak dihormati dan siapa yang menjadi teladan dalam menghadapi kekuasaan. Hari Pahlawan seharusnya menjadi momen refleksi moral dan pendidikan sejarah, menghargai keberanian figur seperti Marsinah, Wiji Thukul, Munir, Gus Dur, dan banyak individu lain yang mempertaruhkan nyawa demi kebebasan berpikir dan memori kolektif bangsa.

Mengukuhkan Soeharto sebagai pahlawan, sementara ia memimpin mesin represi budaya dan menutup ruang publik, justru membalik nilai kepahlawanan. Keberanian dipinggirkan, ketaatan buta pada kekuasaan dipuji, dan sejarah kompleks disederhanakan menjadi narasi tunggal.

Pada akhirnya, ‘yang pantas disebut pahlawan’ kemudian bukanlah mereka yang menutup ruang berpikir dan membungkam kritik, melainkan figur yang membuka ruang kebebasan, mempertahankan integritas, dan menanggung risiko demi kebenaran. Keputusan simbolik semacam ini mengirim pesan terselubung bahwa penutupan ruang publik dan pembungkaman wacana bisa dibayar dengan stabilitas politik. Pertanyaannya tetap menohok dan relevan: pantaskah sebuah bangsa menempatkan penguasa yang membungkam rakyatnya sejajar dengan mereka yang berani menegakkan kebenaran dan mempertahankan martabat kolektif bangsa, bahkan dengan nyawa sebagai taruhan?[]

Talaga, 11//11/2025


Share