Oleh : Hendri Iyabu
(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Gorontalo)
OTONOMI daerah yang diterapkan di Indonesia sejak tahun 2001 merupakan kebijakan besar yang bertujuan mendesentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah. Salah satu sektor yang terdampak secara signifikan adalah pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Sebelum penerapan otonomi daerah, pengelolaan lingkungan di Indonesia sangat tersentralisasi, di mana keputusan-keputusan penting mengenai pengelolaan alam sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat. Kebijakan ini menimbulkan berbagai masalah lingkungan, termasuk deforestasi besar-besaran dan polusi yang tak terkendali. Namun, setelah otonomi daerah, meskipun ada sejumlah kemajuan, tantangan baru muncul, terutama dalam hal koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah serta penerapan kebijakan yang tidak merata.
Pada masa sebelum otonomi daerah, Indonesia mengadopsi sistem pemerintahan yang sangat terpusat, di mana semua keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam dan kebijakan lingkungan diambil oleh pemerintah pusat. Keputusan-keputusan ini sering kali tidak memperhitungkan kondisi lokal atau kebutuhan komunitas di daerah, yang mengarah pada kebijakan top-down yang sering kali tidak efektif. Salah satu dampak langsung dari sistem ini adalah degradasi lingkungan yang signifikan, yang terlihat dalam bentuk deforestasi, pencemaran, dan kerusakan ekosistem lainnya. Hal ini disebabkan oleh dominasi pertumbuhan ekonomi yang lebih diperhatikan daripada keberlanjutan ekologi.
Setelah otonomi daerah diterapkan, pemerintah daerah mendapatkan kewenangan lebih besar dalam mengelola lingkungan dan sumber daya alam di wilayah mereka. Hal ini membawa sejumlah manfaat, termasuk lebih banyak inisiatif lokal untuk meningkatkan kualitas udara dan efisiensi pengelolaan hijau. Beberapa daerah berhasil mengimplementasikan kebijakan yang lebih ramah lingkungan, seperti pengelolaan hutan yang lebih berkelanjutan dan penanganan limbah yang lebih efektif. Meskipun demikian, perbedaan dalam kapasitas pemerintahan daerah dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah membuat dampaknya tidak merata di seluruh Indonesia.
Salah satu tantangan besar setelah otonomi daerah adalah munculnya konflik politik dan sosial dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam banyak kasus, kebijakan lokal bertentangan dengan kebijakan pusat, yang mengakibatkan ketidakpastian hukum dan konflik kepentingan. Selain itu, keberagaman kondisi daerah dengan kepentingan politik yang berbeda-beda menyebabkan fragmentasi kebijakan yang dapat memperburuk masalah lingkungan, seperti deforestasi dan polusi yang lebih sulit diatasi. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan lingkungan yang efektif memerlukan kerjasama yang kuat antara pemerintah daerah dan pusat.
Papua menjadi contoh penting dari implementasi otonomi daerah yang bersifat khusus, di mana pengakuan terhadap hak adat dan pengelolaan hutan adat diakui dalam kebijakan. Meskipun demikian, dalam praktiknya, pengakuan terhadap hutan adat masih terbatas, dan pemberdayaan masyarakat adat menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah tumpang tindih kewenangan antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan masyarakat adat itu sendiri. Meskipun sektor kehutanan di Papua memiliki potensi untuk dikelola secara berkelanjutan, risiko deforestasi tetap menjadi ancaman besar yang harus dikelola dengan hati-hati.
Salah satu keuntungan yang muncul dari otonomi daerah adalah peningkatan kemampuan daerah untuk mengelola sumber daya alam secara lebih mandiri dan adaptif. Pemerintah daerah yang lebih dekat dengan masyarakat memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai kebutuhan dan potensi wilayah mereka. Dengan demikian, mereka lebih dapat merancang kebijakan lingkungan yang sesuai dengan karakteristik lokal. Namun, tantangan muncul ketika kebijakan ini bertentangan dengan kepentingan ekonomi jangka pendek atau kurang didukung oleh kapasitas sumber daya manusia dan teknologi yang memadai.
Di sisi lain, otonomi daerah menghadirkan potensi besar bagi keberlanjutan ekologi di Indonesia. Dengan peningkatan kewenangan lokal, banyak daerah mulai mengembangkan kebijakan lingkungan yang lebih inovatif, seperti pelestarian kawasan hutan dan pengurangan emisi karbon. Namun, potensi ini dibarengi dengan risiko yang tidak bisa diabaikan. Beberapa daerah mengalami peningkatan eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali akibat minimnya pengawasan dan regulasi yang jelas. Hal ini menciptakan tantangan baru dalam mencapai keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
Dari sudut pandang ekologi politik, penerapan otonomi daerah juga memperlihatkan dinamika kekuasaan yang sangat politis dalam pengelolaan lingkungan. Kebijakan otonomi yang didorong oleh kepentingan politik tertentu kadang memperburuk ketimpangan dalam akses terhadap sumber daya alam, memperburuk ketidakadilan sosial, dan menghambat pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Pendekatan yang lebih sektoral dan teknokratis dalam pengelolaan lingkungan seringkali mengabaikan faktor-faktor sosial, budaya, dan politik yang memiliki dampak besar terhadap perubahan ekologi.
Koordinasi yang buruk antara pemerintah pusat dan daerah sering kali menjadi kendala utama dalam pengelolaan lingkungan yang efektif pasca-otonomi. Walaupun pemerintah daerah memiliki kewenangan lebih besar, tantangan muncul ketika kebijakan lingkungan yang diterapkan bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan sinergi antara kedua tingkat pemerintahan agar kebijakan yang diterapkan tidak hanya relevan dengan kebutuhan lokal tetapi juga sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan di tingkat nasional.
Untuk memastikan bahwa otonomi daerah dapat memberikan manfaat nyata bagi lingkungan, diperlukan penguatan kapasitas pemerintah daerah dan pemberdayaan masyarakat lokal, khususnya masyarakat adat. Otonomi daerah seharusnya menjadi sarana untuk memperbaiki tata kelola lingkungan, bukan justru memperburuk keadaan. Kolaborasi yang erat antara pemerintah pusat dan daerah, dengan dukungan kebijakan yang terintegrasi dan komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan, akan menjadi kunci untuk mewujudkan pengelolaan lingkungan yang lebih baik di masa depan. Otonomi daerah yang efektif dapat menjadi alat untuk mewujudkan keberlanjutan ekologis, namun hal tersebut memerlukan komitmen politik, kapasitas yang memadai, dan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan lingkungan. (*)