Gorontalo – Polemik dugaan ijazah palsu Wakil Bupati Gorontalo Utara (Gorut), Nurjanah Yusuf, kembali menjadi perhatian publik. Ketua Umum Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Mahasiswa Hukum (Permahi) Gorontalo, Sahrul Lakoro, menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawal kasus ini agar penegakan hukum berjalan transparan dan tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Kegiatan Dialog Publik tersebut dibuka oleh Rektor Universitas Gorontalo, Dr Rifai Ali, S.KM., M. Kes, di ruangan Auditorium Kampus Universitas Gorontalo, Selasa (30/9/25).
Menurut Sahrul, kegiatan diskusi publik yang digelar pihaknya merupakan bentuk inisiatif untuk menjawab tantangan sekaligus mencari solusi atas carut-marut informasi yang beredar. Dalam forum tersebut, hadir narasumber penting, di antaranya Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada, Prof, Nyarwi Ahmad, Ph. D, Perwakilan dari Polda Gorontalo khususnya Direktorat Reskrimum, serta Ketua Komisi Informasi Publik Provinsi Gorontalo. Kegiatan itu dibuka secara resmi oleh perwakilan Universitas Negeri Gorontalo.
“Kami mendapatkan informasi bahwa kasus dugaan ijazah palsu ini sudah masuk tahap penyelidikan di Polda Gorontalo. Oleh karena itu, forum ini hadir sebagai bentuk kontrol agar proses hukum benar-benar transparan,” kata Sahrul.
Ia menegaskan, bila hasil penyelidikan membuktikan bahwa tidak ada unsur pemalsuan, maka Polda Gorontalo harus segera menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) agar situasi politik dan sosial di Gorut kembali kondusif. Namun sebaliknya, apabila terbukti ada bukti yang kuat, maka kepolisian diminta segera menetapkan tersangka tanpa pandang bulu.
“Jangan sampai kasus ini hanya jadi propaganda politik. Kalau memang tidak terbukti, keluarkan SP3. Tapi kalau terbukti, segera tetapkan tersangka. Itu saja tuntutan kami,” tegas Sahrul.
Lebih jauh, ia mengungkapkan adanya sejumlah kejanggalan terkait dokumen pendidikan yang dimiliki Wakil Bupati Gorut. Salah satunya terkait ijazah tahun 2002 dari salah satu SMA di Gorontalo yang memiliki cap basah Dinas Pendidikan Provinsi. Namun, pada saat bersamaan, muncul juga ijazah Paket B dan Paket C yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Manado pada tahun 2012.
“Kalau memang ijazah SMA itu hilang, seharusnya ada surat keterangan kehilangan. Kenapa malah muncul Paket C? Ini jadi pertanyaan besar,” ungkapnya.
Sahrul juga menyinggung daftar riwayat hidup yang pernah digunakan Nurjanah Yusuf saat mendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 2013. Menurutnya, terdapat inkonsistensi antara dokumen ijazah yang terlampir dengan ketentuan yang berlaku dalam Permendikbud Nomor 35 Tahun 2012 Pasal 3. Ia menilai, dari segi formil, terdapat banyak kecacatan administratif.
“Dalam regulasi itu jelas, untuk mendapatkan ijazah Paket C ada syarat usia minimal dan tes IQ. Pertanyaannya, apakah Wakil Bupati saat itu mengikuti prosedur tersebut? Sampai hari ini tidak ada bukti yang bisa menjelaskan hal itu,” ucap Sahrul.
Pihaknya bahkan menyebut adanya indikasi keterlibatan oknum dalam dugaan pemalsuan dokumen pendidikan. Beberapa bukti berupa ijazah formal, paket C, hingga surat pernyataan saksi sudah diserahkan ke pihak berwajib.
“Kami menduga ada ‘gudang pemalsuan’ di balik kasus ini. Kami masih menyimpan bukti-bukti lain yang lebih kuat. Kalau bukti sementara saja sudah simpang siur, bagaimana dengan yang lebih dalam lagi? Itu sebabnya kami desak Polda Gorontalo untuk transparan,” lanjutnya.
Sahrul menambahkan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, penggunaan ijazah palsu bisa berimplikasi pada pidana, dengan ancaman denda hingga Rp1 miliar.
“Jangan main-main dengan persoalan ini. Kalau benar ada ijazah palsu, ini bukan hanya mencederai dunia pendidikan, tapi juga merusak tatanan demokrasi kita. Bagaimana masyarakat bisa percaya pada pejabat publik jika dokumen dasarnya saja bermasalah?” pungkasnya.
Kasus ini kini tengah menjadi perhatian serius masyarakat Gorontalo Utara. Publik menunggu langkah tegas dari Polda Gorontalo untuk segera memberi kepastian hukum agar polemik tidak berlarut-larut dan daerah tetap kondusif. (*)