Catatan Refleksi Akhir Tahun 2021
Oleh Dr. Lestari Moerdijat, S.S., M.M
KITA tiba di penghujung tahun. Panta rhei kai uden menei, semua mengalir tidak
ada sesuatupun yang tinggal tetap. Tahun 2021 kita alami ragam pengalaman. Ada yang
tersimpan sebagai penyemangat, ada pula yang jadi pembelajaran. Akhir tahun menjadi
momen untuk merefleksi diri, sebagai individu dan bangsa Indonesia. Menjadi pribadi
maupun bangsa yang terus membarui diri, sikap ugahari menjadi titik berangkat.
Keugaharian menjadi prasyarat mengetahui diri sendiri, mampu memeriksa diri terkait
apa yang diketahui dan yang tidak diketahui. Mampu menyelami diri untuk berbenah,
memperbaiki kekurangan, menata potensi diri, untuk menatap kenyataan hidup.
Pandemi memberi pelajaran berharga. Bahwa kebersamaan dan persatuan-
kesatuan patut diandalkan dalam menghadapi tantangan bangsa. Tak dapat ditolak,
sejumlah pekerjaan rumah tersisa lintas sektor yang mendesak untuk segera
dituntaskan.
***
Tahun 2021 adalah tahun kedua pandemi. Meski secara umum manusia sudah
lebih siap dari tahun sebelumnya, kematian dan pertumbuhan jumlah kasus belum bisa
ditanggulangi. Secara agregat, jumlah kematian pada 2020 mencapai 1,9 juta orang di
seluruh dunia, sedangkan pada 2021 jumlahnya mencapai 3,5 juta orang. Artinya, angka
kematian pada 2021 hampir dua kali lipat lebih banyak ketimbang 2020. Salah satu sebab
meningkatnya angka kematian sepanjang 2021 adalah karena terjadinya gelombang
kedua pada bulan Juni-Juli dan munculnya beberapa varian virus baru.
Pandemi belum berlalu, bahaya belum usai. Pola hidup manusia belum banyak
berubah dengan tuntutan adaptasi pada kenormalan baru. Ungkapan terima kasih
berlimpah kepada paramedis sebagai garda terdepan yang tak lelah memberikan
pelayanan terbaik kepada masyarakat terdampak. Terus mengingatkan agar menaati
protokol kesehatan sehingga masyarakat tergerak untuk tetap saling menjaga. Vaksinasi
berhasil mengatasi lonjakan kasus dan menekan angka kematian. Namun, kekhawatiran
akan munculnya varian-varian baru bakal menjadi beban tambahan yang harus
diantisipasi. Tidak semua negara mampu melaksanakan program vaksinasi. Indonesia
baru mampu menyuntikkan vaksin sebesar 53% kepada warganya. Selama mayoritas
masyarakat belum divaksin, selama itu pula kita hidup dalam kekhawatiran.
Memang, pandemi Covid-19 telah memporak-porandakan perekonomian bangsa.
Dampaknya tak terkira, pengangguran dan kemiskinan meningkat. Selain itu, defisit
neraca perdagangan, defisit transaksi berjalan dan defisit neraca pembayaran
berdampak pada meningkatnya hutang pemerintah. Pengalaman kejatuhan orba dimulai
dari krisis ekonomi yang merambat kemana-mana. Tahun mendatang akan menjadi ujian
berat tetapi diperlukan rasa optimis menyaksikan pemerintah mengambil kebijakan baik
penanggulangan penyebaran wabah, vaksinasi dan stimulus pemulihan ekonomi menjadi
segumpal harap di tengah krisis.
Apresiasi kepada pemerintah yang terus berupaya mengendalikan pergerakkan
masyarakat. Melalui ragam kebijakan pengendalian senantiasa mengupayakan yang
terbaik. Memaksimalkan pelayanan kesehatan, memperbaiki tata kelola dan sistem
pelayanan kesehatan mesti menjadi perhatian menyongsong pergantian tahun. Kita tentu
tak ingin berkutat pada persoalan yang sama di setiap pergantian waktu. Partisipasi dan
kerja sama masyarakat diharapkan untuk mencegah penyebaran wabah sekaligus
bergotong-royong mempertahankan kehidupan. Mempertahankan kehidupan berarti
melakukan yang terbaik untuk hidup yang lebih damai. Hidup yang menyenangkan,
penuh dengan rasa hormat pada integritas dan martabat manusia.
***
Pada kenyataannya, masih terjadi ragam kekerasan karena perbedaan ideologi
atau konflik sosial, konflik kepentingan dengan titik akhir marjinalisasi. Di titik ini
kebijakan inklusif adalah jawaban untuk mengakomodir seluruh anak bangsa tanpa
membedakan atas dasar kemampuan atau gender. Para sahabat difabel sering dilihat
sebagai kelompok berkebutuhan khusus sejatinya ketika persepsi diletakkan pada
kemampuan berkontribusi, maka para sahabat difabel memiliki kemampuan yang dapat
dioptimalkan untuk menyelesaikan ragam persoalan sosial. Bahwa keterbatasan fisik
merupakan cara mendobrak kenormalan, memperkaya persepsi berpikir dan bekerja.
Masil lekat dalam ingatan korban kekerasan seksual di beberapa daerah yang
berujung pada keputusan bunuh diri karena depresi. Masih terjadi ragam kasus
kekerasan seksual yang tak pernah selesai diproses. Perkosaan merupakan bentuk
kekerasan seksual terhadap perempuan yang paling banyak terjadi di Indonesia
sepanjang 2016-2020, yakni 7.338 kasus atau 29,61% dari total kasus kekerasan seksual
terhadap perempuan. Bentuk kekerasan seksual paling banyak berikutnya adalah
pencabulan, yakni 6.186 kasus (24,96%) dan inses sebanyak 3.318 kasus (13,39%).
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(KemenPPPA), per November 2021, kekerasan pada anak di 2019 terjadi sebanyak
11.057 kasus, 11.279 kasus pada 2020, dan 12.566 kasus. Kekerasan yang dialami
perempuan, juga mengalami kenaikan.
Manusia sejagat tiba di ujung tahun, nasib RUU TPKS tak jelas ujungnya.
Membiarkan RUU TPKS tak diakomodir pimpinan DPR RI adalah sinyal butanya nurani.
Prinsip moral tidak bertaring atas kejahatan dan kebaikan jadi kabur. Martabat kaum
perempuan dilecehkan. Mengapa RUU TPKS harus secepatnya disahkan menjadi sebuah
produk undang-undang? Ini adalah desakan moralitas dan infrastruktur untuk
perlindungan menyeluruh. Kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan
adalah penyerangan terhadap martabat kemanusiaan. Maka kekerasan seksual adalah
kejahatan kemanusiaan yang dikutuk oleh prinsip moral agama, kepercayaan, dan
ideologi manapun. Ini alasan mendasar di balik Deklarasi Universal HAM pada 1948,
Pembukaan UUD 1945 aline ke-4 dan batang tubuh, dam UU Nomor 39 Tahun 1999.
Di dalam kondisi subordinasi, represi, dan dominasi sistematis seperti ini,
kebisuaan, depresi, dan atau air mata korban adalah bukti paling kuat. Membisu adalah
berkata-kata tanpa kata. Air mata adalah protes tanpa pemaksaan. Wajah depresi adalah
kejujuran paling telanjang. Sayangnya, pimpinan DPR RI belum sampai pada tahap
kontemplasi atas realitas. Mengesahkan RUU TPKS adalah tindakan memihak korban,
mewujudkan keadilan dan kebenaran. Fraksi-fraksi partai di DPR RI boleh berbeda
kepentingan politik pragmatis, tetapi harus bertumpu di atas prinsip moral yang sama
untuk mengesahkan RUU TPKS. Tertundanya pengesahan RUU TPKS adalah lubang
kekurangan yang dibiarkan mengaga, menodai kinerja parlemen sejak digagasnya RUU
ini. Kenyataan ini menuntut kita segera dan harus merealisasikan undang-undang
perlindungan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
RUU TPKS dan RUU PPRT bermuara pada sebuah masalah sosial yang terus
digaungkan setiap tahun. Kesetaraan gender. Mungkin saja para pembahas undang-
undang melihat kedua draft undang-undang sangat bernada perempuan. Melupakan
keadaan hakiki perempuan dan laki-laki adalah setara. Melupakan bahwa urusan tenaga
kerja domestik bukan melulu persoalan perempuan. Paradigma berpikir bias mestinya
tak mendapat tempat dalam dinamika pengambilan kebijakan apalagi yang berkaitan
dengan tujuan bernegara dan menjawab aspirasi publik.
Di tengah jerit kelompok yang tak henti mencari keadilan, sebagian dari kita justru
berteriak untuk amandemen konstitusi yang nyatanya bukan representasi suara publik.
Hak Asasi Manusia (HAM) terabaikan karena kepentingan politik, misalnya hak-hak
masyarakat adat yang sampai hari ini belum juga diakomodir dalam sebuah payung
hukum perlindungan melalui RUU Masyarakat Hukum Adat. Terorisme masih dibiarkan
langgeng, menciptakan masalah di tengah kerukunan masyarakat yang semakin
menguat. Pada saat yang sama tuntutan menanamkan nilai-nilai kebangsaan terus
menggema, merangkul seluruh anak bangsa tanpa kecuali sesuai nilai luhur yang
terkandung dalam Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
***
Upaya menanamkan nilai luhur kebangsaan ditempuh melalui pembelajaran sejak
dini. Bahwa generasi milenial dan generasi Z adalah aset masa depan bangsa, generasi
penerus yang kelak menjadi pemimpin patut dibekali dengan pendidikan yang memadai
menyambut Indonesia Emas. Dampak pandemi pada dunia pendidikan menyisakan celah
yang perlu dibenahi, learning loss.
Kegiatan pendidikan masih dilakukan secara daring, meski sejak November
terdapat beberapa daerah yang sudah menerapkan pembelajaran tatap muka (PTM).
Pembelajaran daring tak serta memenuhi kebutuhan belajar para naradidik sehingga
diperlukan pembehanan dengan menyiapkan kurikulum adaptif, peningkatan
kompetensi guru dan perbaikan infrastruktur jaringan internet.
Kemudian masalah stunting masih menjadi tugas berat yang patut diselesaikan.
Pada 2019 persentase angka stunting nasional berada pada 27, 67%. Jumlah yang masih
jauh dari standar WHO, di bawah 20%. Covid 19 semakin menambah persentase di atas.
Masalah stunting tidak hanya menyerang fisik, melainkan membahayakan kemampuan
otak anak-anak dan kaum remaja. Kemampuan konsentrasi terganggu, memori melemah.
Dengan demikian, jika masa depan Indonesia ada di tangan generasi muda,
stunting sebenarnya tengah mengancam masa depan bangsa. Membiarkan stunting
merusak anak-anak dan kaum remaja sama dengan membiarkan bangsa ini berjalan
mundur. Maka mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanah Konstitusi harus dimulai
dengan memberantas stunting. Anak-anak dan kaum remaja bebas stunting, Indonesia
sehat dan tumbuh. Melirik angka persentase stunting yang masih tinggi, pemerintah dan
seluruh elemen bangsa harus berkewajiban untuk memberantas bahaya stunting di
tahun 2022.
***
Pandemi juga berimbas pada kehidupan politik. Berbagai studi tentang demokrasi
dan kebebasan melaporkan berlanjutnya tren penurunan demokrasi di banyak negara.
Indonesia tak terkecuali. Skor demokrasi kita terus turun sejak lima tahun terakhir dan
terus mengalami peredupan selama pandemi. Diperlukan penguatan demokrasi dari
prosedural ke substansial. Menurut laporan the Economist Intelligent Unit (EIU), secara
umum demokrasi Indonesia di atas rata-rata skor dunia, tapi skor penurunannya dalam
lima tahun terakhir termasuk yang terbesar.
Faktor utama penurunan itu bukanlah pandemi, tapi aturan-aturan yang
membatasi kebebasan warga, seperti UU ITE. Selama pandemi, kasus-kasus penangkapan
terhadap pengguna internet meningkat. Angka ini seiring dengan peningkatan jumlah
pengguna internet dan interaksi orang secara online yang sangat intens selama pandemi.
Sebagian besar kasus terjadi terkait penggunaan media sosial, baik akibat ujaran
kebencian, penyebaran hoax, maupun pencemaran nama baik.
Kemudian, Orkestrasi Politik legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2021 sangat
buram sebagaimana diketahui hanya mengesahkan delapan rancangan undang-undang
(RUU) dari 37 yang ditetapkan dalam Prolegnas. Delapan RUU tersebut diataranya revisi
UU Kejaksaaan, revisi Undang-Undang Jalan, revisi Undang-Undang Otonomi Khusus
Papua, RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, RUU Hubungan Keuangan Pusat dan
Daerah, serta tiga RUU mengenai Pembentukan Pengadilan di beberapa daerah.
Prolegnas bukan hanya sebatas deretan daftar RUU yang akan dibahas dalam satu
tahun, sehingga hanya terkesan dalam rangka memenuhi target dalam bentuk wishlist,
seharusnya penetapan prolegnas sebagai prioritas didasarkan pada tujuan bernegara
yang secara filosofis sesungguhnya telah tegas dinyatakan dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian prolegnas bukan hanya keranjang sampah yang
kemudian dipungut dengan dasar kesukaan lembaga pembentuk UU.
Miris jika memperhatikan prolegnas 2021 karena, pertama, banyak RUU yang
memiliki relasi kuat (close engagement) dengan tercerabutnya pemenuhan hak
konstitusional rakyat justru tidak ditetapkan sebagai UU. Misalnya saja RUU Tindak
Pidana Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Masyarakat
Hukum Adat. Bahkan RUU tersebut tidak dapat ditetapkan hanya terkait dengan
persoalan-persoalan teknis harmonisasi kemudian menjadi terabaikan. Kedua, tidak ada
penentuan skala prioritas dalam setiap daftar prolegnas sehingga semakin melemahnya
semangat kebangsaan yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
Sebaiknya pemerintah segera membentuk pusat/badan regulasi nasional, yang
berada lansgung di bawah presiden agar dalam segi formal peraturan perundang-
undangan tidak berakibat disharmoni dan tertata dengan baik serta lebih efektif dan
efisien sehingga tidak menimbulkan preseden buruk seperti UU Cipta Kerja.
***
Pada saat bersamaan sebagian bisnis dan usaha masih menerapkan aturan work
from home (WFH). Beberapa sektor usaha tak mampu lagi meneruskan bisnisnya, dan
tutup di tengah jalan. Meski secara makro, ekonomi Indonesia mengalami rebound, angka
pengangguran dan kemiskinan melonjak naik. Upaya untuk terus mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional harus konsisten dilakukan setelah penyebaran Covid-19
relatif bisa dikendalikan. Upaya adaptasi di beberapa industri yang berdampak pada
pengurangan tenaga kerja, harus segera dicarikan solusinya. Selain itu, penguatan di
sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) penting dilakukan dalam rangka
menghidupkan kembali ekonomi masyarakat yang terimbas pandemi.
Indonesia memiliki Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang
keberadaannya sangat penting bagi perkembangan perekonomian Indonesia di tahun
2022. UMKM menyumbang 60% Produk Domestik Bruto Indonesia (Government Support
Encourages MSMEs and Creative Economy to Upgrade, 2021). Jumlah UMKM di Indonesia
pada tahun 2021 adalah sekitar 62 juta, yang berarti satu dari lima penduduk di
Indonesia memiliki UMKM. Sebagian besar dari UMKM di Indonesia adalah usaha mikro
jumlahnya adalah sekitar 61 juta, atau sekitar 98,75% (Indonesia’s SMEs are key to
development. How can they grow? | World Economic Forum, 2021). Dalam tahun 2021
untuk menghadapi tekanan akibat pandemi pemerintah telah mengucurkan Rp. 162,4
trilyun untuk membantu UMKM (Indonesia in Full Swing to Strengthen its Economic
Backbone, 2021). Banyak dari UMKM tidak memiliki rencana pertumbuhan strategis.
Dalam dua tahun terakhir fokus pengembangan UMKM terletak pada transformasi
digital UMKM, namun ternyata terdapat masalah yang lebih besar seperti bagaimana
meningkatkan kapasitas manajerial dan operasional untuk tumbuh dan berkembang.
Integrasi transformasi digital, peningkatan kapasitas manajerial dan kapasitas
operasional akan memberikan manfaat yang jauh lebih besar pada pengembangan
UMKM. Sebagian besar UMKM tidak memiliki pengetahuan tentang tahapan
pertumbuhan dari suatu bisnis yaitu pertama adalah pendatang baru, kemudian artisan,
lalu terdapat usaha sedang bertumbuh (emerging), berikutnya yang menantang dan
terakhir adalah mainstream. Menurut riset yang dilakukan oleh World Economic Forum
dan didukung oleh Evermos dan Shopee (2021) ternyata tiga tahapan pertama yaitu
pendatang baru, artisan, dan bisnis yang sedang bertumbuh adalah tahapan yang paling
penting untuk menjadi perhatian pengembangan UMKM di Indonesia karena jumlahnya
adalah 99,805% dari semua bisnis di Indonesia. Para pebisnis di tahapan ini kekurangan
pendekatan strategis untuk mengembangkan usahanya. UMKM di Indonesia 99% adalah
pada tahapan pendatang baru di mana seringkali usaha mereka terhenti karena mereka
tidak mengetahui bagaimana mengidentifikasi target pasar yang benar. Selain itu mereka
tidak mengetahui produk dan jasa yang dibutuhkan oleh pasar, lalu bagaimana
memenuhi permintaan tersebut dan memperoleh laba pada akhirnya. (Indonesia’s SMEs
are key to development. How can they grow? | World Economic Forum, 2021)
Sedangkan tahap artisan berjumlah 0,5% dimana pada tahapan ini suatu bisnis
telah menemukan kecocokan antara produk dan pasar namun kesulitan untuk
membesarkan skala usaha mereka. Pengembangan skala diperlukan untuk sistem,
sumber daya, dan proses. Di dua kategori ini transformasi digital tidak memberikan
manfaat yang besar. Tahapan ini para pendiri bisnis memerlukan latihan dasar
bagaimana menciptakan suatu nilai, bagaimana membangun suatu sistem, bagaimana
membuat preposisi nilai pelanggan, bagaimana membangun sebuah tim. Sedangkan
bisnis yang sedang tumbuh berjumlah 0,35%. Pada tahapan ini pemilik bisnis telah
mengerti bagaimana mencapai pertumbuhan yang mereka rencanakan, bahkan mereka
telah mendapatkan validasi dari industri. Banyak bisnis di tahapan ini stagnan karena
mereka seringkali berkesimpulan bahwa pasar sudah jenuh dan berusaha mencari bisnis
lain sehingga banyak yang kehilangan fokus.
Kesimpulannya bahwa digital transformasi harus disertai dengan upaya-upaya
peningkatan kapasitas manajerial, sumber daya dan operasional agar manfaatnya dapat
dirasakan oleh sebagian besar UMKM di Indonesia. Memang, ekonomi dan dunia usaha
sangat bergantung kepada interaksi manusia. Sebagian besarnya memerlukan
pertemuan langsung. Oleh karena itu tempat-tempat usaha dan sentra bisnis tak akan
beroperasi secara leluasa jika angka vaksinasi belum mencapai target dan kekhawatiran
terhadap penyebaran virus masih terus berlanjut. Dalam dilema ini, kesehatan tetap
menjadi prioritas dan menjadi kunci bagi berlangsung dan pulihnya geliat ekonomi.
***
Belum juga tahun berganti dengan setumpuk pekerjaan rumah, sebagian politisi
ramai memantik isu terkait konstelasi politik tahun 2024. Siklus yang menyebabkan
masyarakat apatis terhadap politik yang ujungnya tak lain adalah ketidakpercayaan
public yang makin merosot. Kala politik tak lagi etis, yang terjadi adalah katastrofi moral.
Sebuah kegagalan manusia global. Surya Paloh tak henti mengingatkan kadernya, kerja
politik tak boleh meniadakan kemanusiaan. Bagi penulis, terdapat dua tesis dalam politik
yang tegas dijalani, be mindful politician dan become compassionate. Menjadi politisi tak
cukup mengisi ruang partisipasi tetapi menggunakan nalar, rasa dan sadar untuk
mengakomodir aspirasi, hadir bersama masyarakat, mengedepankan politik yang
berbelarasa.
Mengutip catatan United Nations (UN), setiap negara berhadapan ragam isu sosial
dan politik di tengah upaya melawan wabah. Salah satu ketidakadilan global tampak
dalam perbedaan harga yang harus dibayar di sebagian besar negara mau tidak mau turut
membedakan langkah menuju pemulihan. Belum hadir dengan bermacam varian juga
beragam ancaman. WHO kemudian meluncurkan COVAX sebagai upaya global untuk
melawan penyebaran wabah.
Tugas selanjutnya adalah pemulihan di berbagai sektor dengan catatan pemulihan
pendidikan dan kesehatan khususnya kesehatan mental, karena Covid-19 bukan
penyakit yang mudah dikalahkan dalam sekali tindakan. Tantangan terbesar bagi anak-
anak. Mereka tak lagi memiliki ruang belajar dan bermain yang menyenangkan. Mereka
“diharuskan” beradaptasi dengan ruang terbatas untuk bertumbuh. Kemampuan
membaca, menulis, berhitung diuji melalu pembelajaran daring tanpa didampingi guru
yang berkompeten, saat orang tua mengganti peran guru.
Hal yang tak dapat ditolak, jalan panjang upaya menanggulangi Covid-19, hampir
pasti mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Belum lagi dalam pertemuan G20 lalu, isu
utama yang dipersiapkan dan dilaporkan negara-negara maju masih seputar upaya
mencegah laju penyebaran virus. Di titik ini, satu frasa sepakat yang dibutuhkan adalah
merayakan harapan. Harapan untuk pulih. Tak perlu kembali ke keadaan semula,
setidaknya setiap negara mampu menelisik diri, mengoptimalkan kemampuan untuk
pulih, termasuk Indonesia.