Go-Pena Baner

Saturday, 01 November, 2025

Menata Ulang Akal Sehat Hukum: Dari Trotoar ke Tatanan Nalar Bernegara

Responsive image
Rahmad Mokodompit

Oleh : Rahmad Mokodompit
(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo)

Baru-baru ini, saya menyaksikan secara penuh sebuah diskusi publik di salah satu media lokal Gorontalo. Dalam forum tersebut, Bung Andri Gani pada pernyataan penutupnya menyebut bahwa Peraturan Menteri yang mengatur tentang trotoar memiliki kekuatan hukum mengikat karena bersifat spesifik. Argumentasinya berpijak pada asumsi bahwa Pemerintah Provinsi Gorontalo belum memiliki Peraturan Daerah yang secara khusus mengatur persoalan trotoar. Pernyataan ini, sejatinya, telah disanggah oleh Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Gorontalo pada pernyataan penutupnya dengan mengutip Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan sebagai dasar hukum yang lebih relevan.
Namun, terlepas dari perdebatan tersebut, pandangan Andri Gani menarik untuk dikaji lebih kritis karena mengandung potensi kekeliruan tafsir pada tataran asas hukum. Dalam hierarki norma, asas lex specialis derogat legi generali tidak dapat berdiri sendiri tanpa memperhatikan keselarasan dengan norma umum yang sederajat. Suatu aturan spesifik baru dapat diberlakukan secara maksimal apabila selaras dengan aturan umum yang memiliki tingkat kekuatan hukum yang sama. Sementara itu, dalam konteks ini, sudah terdapat Undang-Undang yang secara eksplisit mengatur fungsi dan kewajiban penyediaan trotoar, dan secara hierarkis berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada Peraturan Menteri. Pertanyaan pentingnya kemudian: apakah spesifikasi teknis dalam Peraturan Menteri dapat mengesampingkan norma dalam Undang-Undang?
Untuk menjawabnya, kita perlu menempatkan diskursus ini dalam ruang akademik yang sehat, bebas dari bias populis. Mengutip Jurgen Habermas, sebuah argumen hanya dapat dianggap benar jika ia mampu diuji kebenarannya secara rasional dalam ruang publik yang bebas dari dominasi kepentingan. Tulisan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menegakkan etika diskursus tersebut, sekaligus membersihkan ruang publik dari banalitas berpikir hukum yang dangkal.
Dari Sejarah ke Normatif: Memahami Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali
Jejak historis asas ini dapat ditelusuri sejak Corpus Juris Civilis yang disusun pada masa Kaisar Justinianus I (533 M). Dalam Digest atau Pandectae, terkandung pandangan Papinianus dalam 33 Quaestiones (Dig. 50.17.80):
“In toto iure generi per speciem derogatur et illud potissimum habetur, quod ad speciem derectum est.”
(Dalam seluruh sistem hukum, yang bersifat umum dikesampingkan oleh yang bersifat khusus, dan yang utama adalah aturan yang secara khusus ditujukan untuk hal tersebut).
Prinsip ini kemudian melandasi tradisi civil law Eropa, yang turut memengaruhi sistem hukum modern termasuk Indonesia. Edward Mussawir dalam The Term Species in Justinian’s Digest menegaskan bahwa konsep species (kasus khusus) menjadi dasar bagi penerapan asas lex specialis, yang memungkinkan norma khusus mengesampingkan norma umum selama keduanya berada dalam tingkat hukum yang sama.
Hans Kelsen kemudian memberikan kerangka sistematis atas konflik norma melalui Allgemeine Theorie der Normen. Menurutnya, konflik norma terjadi ketika dua aturan hukum mengatur objek yang sama dengan perintah yang berbeda. Dalam situasi ini, salah satu norma harus dikesampingkan untuk menjaga konsistensi sistem hukum. Namun, lex specialis hanya dapat digunakan untuk mengatasi konflik antar-norma yang sederajat bukan antara norma tinggi dan norma rendah.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hierarki norma hukum di Indonesia menempatkan Undang-Undang di atas Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri. Maka, asas lex specialis tidak dapat dijadikan justifikasi bagi Peraturan Menteri untuk mengesampingkan Undang-Undang.
Pandangan ini sejalan dengan penjelasan Prof. Bagir Manan yang menegaskan tiga pedoman penting:
Ketentuan dalam aturan umum tetap berlaku kecuali telah diatur khusus dalam aturan yang sederajat.
Lex specialis hanya dapat diberlakukan jika memiliki derajat yang sama dengan lex generalis (misalnya, antara dua Undang-Undang).
Kedua aturan tersebut harus berada dalam lingkungan hukum yang sama.
Sebagai contoh, UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (norma umum) dan UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN (norma khusus) keduanya merupakan Undang-Undang. Ketika terjadi konflik pengaturan, maka norma dalam UU ASN yang lebih spesifik dapat mengesampingkan norma umum dalam UU Administrasi Pemerintahan.
Sebaliknya, Peraturan Menteri PUPR tentang trotoar, meski bersifat teknis, tidak dapat menegasikan Undang-Undang yang lebih tinggi kedudukannya. Ia hanya berfungsi sebagai instrumen pelaksana, bukan sumber norma baru. Oleh karena itu, klaim bahwa peraturan teknis dapat menggeser Undang-Undang adalah kekeliruan konseptual sekaligus pelanggaran asas hierarki hukum.
Menimbang Alternatif: Lex Superior Derogat Legi Inferiori
Sebagai alternatif, pandangan lex superior derogat legi inferiori justru lebih relevan untuk memahami relasi antara Undang-Undang dan Peraturan Menteri. Asas ini secara tegas menyatakan bahwa “peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.” Dalam sistem hukum nasional, Peraturan Menteri adalah produk hukum eksekutif yang harus tunduk pada Undang-Undang sebagai sumber kewenangannya.
Dengan demikian, Peraturan Menteri tidak dapat menambah, mengubah, apalagi meniadakan substansi yang telah diatur oleh Undang-Undang. Prinsip lex superior memastikan keteraturan hierarki hukum dan mencegah fragmentasi norma. Oleh karenanya, kekhususan (spesialitas) hanya sah diterapkan di antara peraturan yang sederajat sementara peraturan yang lebih rendah harus senantiasa tunduk pada norma yang lebih tinggi.
Maka, dalam konteks perdebatan mengenai fungsi sosial trotoar di Gorontalo, kita sepatutnya berhati-hati untuk tidak tergoda oleh tafsir populis atas asas hukum. Sebab, hukum bukan sekadar alat legitimasi argumen, tetapi sistem rasional yang menuntut konsistensi antara norma, hierarki, dan asas. Diskursus hukum harus menjadi ruang berpikir yang jernih, bukan arena retorika yang memanipulasi asas demi pembenaran pandangan tertentu.(*) 


Share