Go-Pena Baner

Saturday, 25 October, 2025

Dari Trotoar ke Tata Kelola: Pelajaran dari Polemik Hukum di Gorontalo

Responsive image
Novendri M. Nggilu

oleh : Novendri M. Nggilu
Ketua Wilayah APHTN-HAN Gorontalo

Beberapa hari terakhir, publik Gorontalo disuguhkan perdebatan hangat mengenai pemanfaatan trotoar di eks Jalan Andalas dan Jalan Hos Cokroaminoto. Isu ini bermula dari rilis resmi Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Wilayah Gorontalo yang memuat delapan poin pandangan. Jika ditelaah secara mendalam, rilis tersebut sesungguhnya merepresentasikan tiga gagasan utama: konstitusionalitas kewenangan, potensi pelanggaran norma tata ruang jalan, dan tawaran solusi rekonsiliatif antara kepastian hukum dan kemanfaatan sosial.

Membaca Kewenangan secara Konstitusional


Pertama, rilis APHTN-HAN menegaskan perlunya pembacaan konstitusional terhadap pembagian kewenangan antara gubernur, bupati, dan wali kota sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dan dijabarkan secara rinci dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, termasuk Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang 2004 tentang Jalan. Regulasi tersebut telah memetakan urusan pemerintahan secara tegas, termasuk dalam penyelenggaraan jalan berdasarkan statusnya—nasional, provinsi, atau kabupaten/kota. Dalam konteks ini, Jalan Eks Andalas dan Jalan Hos Cokroaminoto merupakan jalan provinsi, sehingga kewenangan penataan dan pemanfaatan trotoar secara hukum berada di bawah tanggung jawab Gubernur Gorontalo.
Kedua, APHTN-HAN menyoroti potensi pelanggaran sejumlah ketentuan, baik dari sisi kewenangan administratif maupun aspek keselamatan publik. Trotoar, sebagai ruang pejalan kaki, memiliki fungsi perlindungan yang dijamin oleh hukum. Penggunaan ruang tersebut untuk kepentingan ekonomi tanpa dasar kewenangan yang sah dan prosedur yang benar berpotensi melanggar prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Ketiga, APHTN-HAN menawarkan solusi yang tidak bersifat konfrontatif, melainkan rekonsiliatif. Gubernur disarankan untuk mengkaji pembentukan zona khusus bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sehingga fungsi sosial dan ekonomi dapat berjalan beriringan dengan fungsi utama trotoar. Ide ini lahir bukan dari semangat penolakan terhadap UMKM, melainkan dari upaya harmonisasi antara kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Sayangnya, pandangan yang bersifat akademis dan konstruktif ini justru ditafsirkan sempit oleh sebagian pihak sebagai bentuk serangan terhadap Wali Kota Gorontalo.


Menjawab Serangan, Menjaga Etika Akademik


Sebagai Ketua APHTN-HAN Gorontalo, saya telah berupaya menahan diri untuk tidak menanggapi berbagai pernyataan kontra yang berkembang di media massa. Rilis APHTN-HAN sejatinya sudah menjelaskan posisi dan argumentasi hukum secara konstruktif dan objektif, dan bahkan telah diperkuat melalui tulisan Ahmad, Wakil Sekretaris Umum APHTN-HAN, yang menegaskan substansi tersebut.
Namun, ketika pada tanggal 20 Oktober 2025 Wali Kota Gorontalo melontarkan pernyataan yang menyebut “dosen UNG paham hukum seperti anak TK”, maka tanggapan akademik perlu diberikan bukan sebagai bentuk reaksi emosional, melainkan klarifikasi intelektual.
Jika yang dimaksud adalah Saya dan Ahmad—keduanya dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo—maka izinkan kami menjadi “Anak TK” yang selama ini dipercaya sebagai peneliti pada projek riset oleh lembaga-lembaga negara dan pemerintahan seperti Biro Pengkajian MPR RI selama tiga tahun berturut-turut (2019–2021), Mahkamah Konstitusi dalam riset kompetitif pada tahun 2017, Kompolnas dalam riset nasional di tahun yang sama, serta Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Kami juga adalah “Anak TK” yang hasil pemikirannya dipublikasikan dalam jurnal internasional bereputasi Scopus Q1 di berbagai negara seperti Chile, Kolombia, dan Brasil, serta saya pribadi yang menempuh studi doktoral di Universitas Padjadjaran dengan IPK sempurna dan masa studi di bawah tiga tahun. Jika dedikasi akademik dan kontribusi riset semacam ini dianggap sebagai “tingkat taman kanak-kanak”, maka mungkin dunia akademik memang memerlukan redefinisi baru atas kedewasaan intelektual.

Menepis Framing dan Menjaga Integritas Organisasi


Tudingan bahwa rilis APHTN-HAN Gorontalo memiliki muatan politik karena audiensi bersama Gubernur Gorontalo pada 29 September 2025 adalah bentuk framing yang keliru. Pertemuan tersebut merupakan agenda resmi pasca pelantikan pengurus wilayah, yang membahas tentang gagasan strategis “Serambi Konstitusionalisme”—yakni upaya menjadikan Gorontalo sebagai episentrum dialog dan produksi gagasan konstitusionalisme nasional serta tata kelola pemerintahan yang baik di tingkat lokal. Tidak ada satu pun pembahasan terkait trotoar dalam pertemuan tersebut.
Silaturahmi APHTN-HAN juga tidak hanya dilakukan dengan Gubernur, melainkan juga dengan berbagai tokoh nasional dan daerah seperti anggota DPD RI, dan telah diagendakan silaturahim dengan beberapa kepala daerah lainnya. Bahkan jika dibaca secara utuh, rilis APHTN-HAN Gorontalo justru ditujukan kepada Gubernur dalam kapasitasnya sebagai pemegang kewenangan jalan provinsi, disertai dengan rekomendasi pembentukan zona khusus bagi UMKM agar keadilan bagi pejalan kaki tetap terjamin. Oleh karena itu, menuding rilis tersebut sebagai alat kepentingan politik adalah tuduhan yang tidak hanya keliru, tetapi juga keji bagi organisasi profesi akademik yang berpegang pada integritas keilmuan.
Lebih disayangkan lagi, perdebatan ini justru menyeret nama Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo, seolah-olah institusi kampus terlibat langsung dalam polemik. Padahal, rilis tersebut murni dikeluarkan oleh APHTN-HAN sebagai organisasi profesi, tempat dimana para pengajar APHTN-HAN di berbagai kampus di Gorontalo berhimpun, bukan rilis institusi perguruan tinggi. Karena itu, jika ada yang tidak sepakat terhadap rilis tersebut, maka semestinya kritik diarahkan kepada APHTN-HAN, bukan kepada kampus yang sama sekali tidak memiliki kaitan struktural dengan organisasi APHTN-HAN.

Niat Baik Tidak Selalu Cukup


Secara substansial, langkah Wali Kota untuk memfasilitasi pelaku UMKM patut diapresiasi sebagai bentuk empati sosial. Namun dalam perspektif Hukum Administrasi Negara, niat baik tidaklah cukup; tindakan pemerintahan harus berlandaskan kewenangan yang sah, prosedur yang benar, dan tujuan yang proporsional.
Apabila Wali Kota ingin memfasilitasi UMKM di atas jalan provinsi, koordinasi dengan Gubernur menjadi hal yang harus dilakukan, karena kewenangan pengelolaan jalan berada pada pemerintah provinsi. Demikian pula, Gubernur perlu menampung aspirasi tersebut dengan tetap memperhatikan ketentuan teknis seperti lebar jalur minimal lima meter, jarak aman antara area berjualan dan area pejalan kaki, pembagian waktu penggunaan, hingga larangan berada di sisi jalan arteri atau kolektor dengan kecepatan kendaraan tinggi. Artinya, jika kebijakan ini diambil, maka sebaiknya didahului dengan studi teknis, yang setelahnya dapat disahkan oleh pejabat yang berwenang. 
Sebaliknya, jika Wali Kota ingin menunjukkan komitmen nyata terhadap pemberdayaan UMKM, maka langkah paling tepat adalah menyediakan zona khusus yang berada dalam wilayah kewenangannya sendiri. Dengan demikian, aspek kemanfaatan bagi pelaku UMKM dapat berjalan seiring dengan kepastian hukum dan keadilan bagi pejalan kaki. Jika kebijakan itu ditempuh oleh Walikota, kita bukan saja sedang melihat bagaimana kebijakan inklusif diwujudkan, melainkan kita juga sedang melihat kebijakan publik yang merefleksikan nilai kepastian, keadilan, dan kemanfaatan secara simultan.


Belajar dari Trotoar


Pada akhirnya, polemik trotoar ini memberi pelajaran penting tentang kedewasaan berdemokrasi dan bernegara. Tata kelola pemerintahan bukan hanya soal asas umum pemerintahan yang baik, melainkan juga tentang kemampuan dan kedewasaan untuk mendengar, memahami, dan menghormati batas. Dari trotoar eks Jalan Andalas dan Hos Cokroaminoto kita sedang belajar tentang bagaimana menenun aspek kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan dalam satu kebijakan publik pemerintah.


Share