oleh:
Ar. Ir. Yohanes P. Erick A., S.T., M.Sc.
(Arsitek dan Pemerhati Tata Kota)
Kebijakan yang Menuai Tanya
Beberapa waktu terakhir, masyarakat Gorontalo dikejutkan oleh pernyataan Walikota yang memperkenankan pedagang berjualan di trotoar di ruas Jalan eks Andalas (John Ario Katili) dan Tanggidaa (Cokroaminoto). Pernyataan tersebut, meski berniat baik untuk membantu pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), justru menimbulkan pertanyaan di kalangan pemerhati tata kota, arsitek, dan masyarakat umum: Apakah kebijakan ini sejalan dengan aturan dan fungsi ruang publik kota yang telah ditetapkan?
Kebijakan ini, di permukaan tampak humanis, berpihak pada rakyat kecil, namun pada tataran hukum dan prinsip tata ruang, menunjukkan anomali kebijakan publik, di mana peraturan daerah yang disusun oleh pemerintah kota justru berpotensi dilanggar oleh kepala daerahnya sendiri. Peraturan Daerah Kota Gorontalo Nomor 2 Tahun 2017 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima secara tegas mengatur bahwa pedagang hanya boleh beraktivitas di lokasi yang telah ditetapkan pemerintah.
Dalam dokumen perda tersebut disebutkan bahwa pedagang kaki lima dilarang melakukan kegiatan usaha di ruang umum yang tidak ditetapkan untuk lokasi PKL, dan menggunakan badan jalan atau trotoar sebagai tempat usaha tanpa izin yang sah.
Aturan ini dipertegas dalam Peraturan Wali Kota Gorontalo Nomor 39 Tahun 2019 Pasal 18, yang berbunyi:
“Setiap orang baik penjual maupun pembeli dilarang melakukan transaksi jual beli di lokasi yang dilarang untuk usaha PKL, antara lain: bahu jalan depan RSUD, bahu jalan depan puskesmas, bahu jalan depan kantor instansi pemerintah, bahu jalan depan sekolah, trotoar, dan jembatan.”
Klausul ini bersifat imperatif, bukan opsional. Tidak ada pengecualian waktu seperti siang, malam, atau musiman, dan tidak ada frasa “selama tidak permanen.” Dengan demikian, apabila trotoar digunakan untuk berdagang, meskipun hanya sementara, hal itu tetap melanggar peraturan yang disusun oleh pemerintah kota sendiri.
Ketika kebijakan “izin berjualan di trotoar” muncul tanpa merujuk mekanisme regulasi yang telah disusun, maka muncul paradoks tata kelola: aturan yang dibuat untuk menertibkan justru diabaikan atas nama empati sosial. Dalam konteks tata ruang perkotaan, langkah ini berpotensi menimbulkan preseden yang membingungkan antara aturan, empati, dan kewenangan.
Fungsi Trotoar dalam Tata Ruang Perkotaan
Kota adalah ruang yang tumbuh dari keteraturan dan rasa adil. Dalam catatan arsitektur perkotaan modern, kebijakan ruang harus dikelola dengan keseimbangan: memberi ruang ekonomi tanpa mengorbankan hak pejalan kaki dan kualitas ruang kota.
Trotoar adalah simbol peradaban, tempat dimana kota memperlihatkan seberapa beradab ia memperlakukan pejalan kaki. Trotoar juga merupakan ruang demokrasi mikro, tempat setiap warga, tanpa memandang status ekonomi, dapat berjalan di atas hak yang sama.
Jika trotoar dibiarkan menjadi pasar, maka kota telah kehilangan wajahnya. Trotoar sejatinya bukan ruang dagang, melainkan ruang hak: ruang hidup bagi pejalan kaki, difabel, anak-anak, dan lansia dan sebuah infrastruktur sosial yang menjamin mobilitas warga tanpa hambatan.
Landasan hukumnya juga jelas.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 131 ayat 1: “ Pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyebarangan, dan fasilitas lain”.
Sementara itu, dalam Permen PUPR Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pedoman Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, tidak ada satu pun klausul yang mengizinkan aktivitas perdagangan di trotoar, baik permanen maupun temporer. Penafsiran bahwa “berjualan malam hari tidak melanggar” jelas keliru secara hukum dan tata ruang.
Permendagri Nomor 41 Tahun 2012 menegaskan bahwa pemerintah daerah wajib menyediakan tempat layak bagi PKL tanpa mengganggu fungsi ruang publik.
Dengan demikian, fungsi trotoar bersifat eksklusif untuk pejalan kaki, bukan aktivitas komersial apa pun.
Belajar dari Kota yang Menata
Banyak kota telah membuktikan bahwa aktivitas ekonomi informal dapat hidup berdampingan dengan fungsi pedestrian—dengan penataan arsitektural dan regulasi yang tepat. Beberapa di antaranya:
Surakarta – Kawasan Gladag Langen Bogan (Galabo): Relokasi PKL ke area khusus malam hari dengan infrastruktur listrik, air, dan kebersihan.
Bandung – Skywalk Cihampelas dan Teras Cihampelas: PKL ditata di atas struktur skywalk yang menjadi daya tarik wisata kota, memperindah wajah kota, sekaligus menjaga fungsi trotoar di bawahnya.
Yogyakarta – Kawasan Malioboro: Penataan ulang PKL dengan zona waktu berjualan dan pembatasan lebar area dagang; pejalan kaki tetap memiliki ruang leluasa.
Semarang – Taman Indonesia Kaya: PKL difasilitasi di sekitar taman publik dengan desain kanopi dan modul kios yang estetik serta ramah ruang.
Tokyo – Takeshita Street, Harajuku: Aktivitas komersial kecil diatur dalam koridor khusus yang tetap memiliki jalur pedestrian terpisah dan lebar minimal 2 meter.
Seoul – Myeongdong Street Vendors Zone: Pemerintah kota membuat perizinan terjadwal dan kios modular dengan standar keselamatan dan jarak antar lapak yang presisi.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa PKL dapat hidup berdampingan dengan pedestrian, asalkan ada perencanaan arsitektural dan tata kelola ruang yang matang. Kuncinya terletak pada penataan zonasi dan desain spasial yang adaptif: Jalur pejalan kaki tetap memiliki ruang lebar dan aman; Area PKL ditempatkan dengan batas jelas dan waktu operasional yang diatur; dan Desain urban mengakomodasi aktivitas ekonomi sekaligus mempertahankan ketertiban kota. Pendekatan seperti ini bukan hanya solusi teknis, melainkan juga pendekatan sosial-arsitektural yang menghargai seluruh pengguna ruang kota: pedagang, pembeli, pejalan kaki, dan ruang parkir.
Kota untuk Semua: Perspektif Universal dan Inklusif
Kota pada dasarnya adalah milik bersama. Kota bukan milik penguasa, pebisnis, atau pedagang semata, melainkan milik semua warga yang melangkah di atasnya setiap hari. Demikian pula trotoar: ruang sederhana yang sering dilupakan, padahal disitulah wajah kemanusiaan kota tercermin paling jelas.
Trotoar bukan monopoli satu kelompok. Trotoar adalah ruang sosial universal yang menyatukan beragam jejak: anak sekolah yang berjalan pagi-pagi, difabel yang melintas dengan kursi roda, ibu hamil yang mencari pijakan aman, wisatawan yang menelusuri kota, hingga lansia yang menikmati udara subuh. Mereka semua adalah warga kota yang memiliki hak yang sama atas ruang aman, teratur, dan bermartabat.
Dalam semangat inclusive city dan universal design, penataan ruang publik semestinya menjaga keseimbangan antara kegiatan ekonomi dan hak aksesibilitas warga. Ketika fungsi utama trotoar dialihkan, bahkan hanya di malam hari, maka hak pengguna lain otomatis terampas. Kota yang sehat tidak mengukur empati dari seberapa banyak ruang publik dibagi, tetapi dari seberapa adil ruang itu dibagikan.
Kebijakan yang memihak UMKM tentu patut diapresiasi. Namun cara terbaik untuk membantu mereka bukanlah dengan membiarkan trotoar berubah menjadi lapak, melainkan menyediakan area berdagang yang manusiawi, bersih, dan terintegrasi dengan infrastruktur kota. Empati sejati bukan membiarkan pelanggaran ruang, melainkan menata agar semua dapat hidup berdampingan tanpa saling menyingkirkan.
Kita perlu membedakan antara “membantu rakyat kecil” dan “membiarkan kekacauan ruang.” Kebijakan yang membiarkan penyalahgunaan fungsi ruang bukanlah bentuk empati, tetapi bentuk ketidakteraturan yang dilegalkan. Ketika trotoar berubah menjadi pasar bebas, itu pertanda tata ruang mulai kehilangan arah dan etika ruang mulai terkikis.
Menolong rakyat kecil adalah panggilan moral, tetapi melanggar aturan bukanlah solusi melainkan penundaan masalah yang lebih besar di masa depan. Solusi yang beradab bukan dengan memberi izin di ruang yang salah, melainkan dengan menyediakan ruang yang tepat dan tertata.
Empati sosial memang penting, namun empati tanpa tata kelola hanya akan melahirkan ketidakadilan spasial baru. Karena kota yang beradab bukan kota yang penuh empati tanpa aturan, melainkan kota yang mampu menata empati menjadi keteraturan yang adil. Bukan melarang, tapi menata. Bukan mengusir, tapi mengatur. Inilah esensi dari inclusive urban design, memberi tempat bagi semua tanpa merampas hak siapa pun.
Dalam prinsip universal design, trotoar adalah bagian dari wajah kota yang harus dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang menggunakan kursi roda, alat bantu jalan, atau kereta bayi. Ruang kota yang adil adalah ruang yang tidak menyingkirkan siapa pun. Ketika trotoar diubah menjadi area dagang tanpa tata kelola, yang hilang bukan hanya estetika kota, tetapi juga hak warga untuk bergerak dengan aman dan bermartabat.
Kota kehilangan etikanya ketika ruang bersama diambil alih oleh satu pihak, betapa pun mulia niat yang melatarinya. Karena pada akhirnya, keadilan ruang adalah wujud tertinggi dari empati yang tertata.
Menjawab Polemik dengan Arsitektur
Walikota menyebut bahwa trotoar berada di wilayah kota dan karenanya menjadi domain kebijakan lokal, hal itu benar secara administratif. Namun, kewenangan lokal tetap dibatasi oleh aturan lokal dan prinsip nasional. Kebijakan yang tidak menyesuaikan regulasi eksisting justru menciptakan ketidakpastian hukum dan konflik kebijakan. Larangan transaksi di trotoar (pasal 18 Perwako 39 tahun 2019) adalah bukti bahwa pemerintah kota sebelumnya telah menyadari potensi konflik fungsi ruang dan berupaya menetapkan batas (threshold) ruang dagang vs ruang pejalan kaki. Ketika regulasi yang dibuat dilanggar oleh pembuatnya, wibawa tata kelola perkotaan ikut terkikis. Kota kehilangan arah, dan ruang publik kehilangan makna. Sudah saatnya kebijakan publik kembali berpijak pada prinsip “keseimbangan antara fungsi sosial dan fungsi ruang”.
Sebagai jalan tengah, arsitektur perkotaan dapat memberikan solusi implementatif yang adil bagi semua pihak:
Desain Modul PKL dan Kanopi Minimalis: Pemerintah dapat membangun urban kiosk modular di zona yang tidak mengganggu jalur pedestrian. Modul ini bisa multifungsi, fleksibel dan tidak mengganggu trotoar.
Zonasi Waktu dan Ruang (Time-Sharing Space): Seperti di Surabaya dan Jogja, trotoar di daerah tertentu yang telah direncanakan dapat difungsikan untuk PKL pada jam-jam tertentu, sementara ruang pedestrian tetap tidak terganggu.
Integrasi dengan Fungsi Urban Edge: Area tepi bangunan (setback) yang fleksibel dan zona buffer dapat dirancang sebagai ruang interaksi antara kegiatan komersial dan publik tanpa menyalahi fungsi jalan.
Galeri pedestrian dan bazar temporer: Membangun galeri di sisi jalan atau koridor bawah gedung untuk menampung aktivitas dagang, sementara trotoar tetap murni sebagai jalur pejalan kaki.
Revitalisasi Koridor Niaga Tradisional: Penataan ulang koridor pasar atau jalan lama dapat menjadi daya tarik wisata urban, meningkatkan ekonomi lokal, sekaligus menjaga estetika kota.
Pendidikan Tata Ruang dan Desain Partisipatif: Melibatkan komunitas PKL, arsitek, dan perencana kota untuk merancang ruang jualan yang kontekstual dan layak guna.
Kota yang baik bukanlah yang memberi izin semaunya, melainkan yang menata dengan rasa adil. Dengan menerapkan solusi arsitektural dan perencanaan ruang yang inklusif, kota tidak perlu memilih antara memihak UMKM atau melindungi pejalan kaki, keduanya bisa berjalan seiring.
Seperti diungkapkan oleh Jan Gehl, “First life, then spaces, then buildings, the other way around never works.” Secara sederhana dapat dipahami kota yang beradab adalah kota yang dirancang untuk manusia, bukan manusia yang menyesuaikan diri dengan kekacauan ruangnya.
Penutup
Mendukung UMKM adalah tugas mulia, tetapi menata ruang kota dengan bijak adalah tanggung jawab yang jauh lebih besar. Karena sejatinya, keadilan ruang adalah fondasi dari peradaban kota yang beradab. Kebijakan publik seharusnya menjadi orkestrasi antara niat baik dan nalar ruang, membantu pedagang kecil tidak harus berarti mengorbankan pejalan kaki. Keduanya dapat hidup berdampingan jika ditata dengan ilmu, empati, dan visi arsitektur kota yang beradab. Sudah saatnya kebijakan publik di Kota Gorontalo berpijak kembali pada kesadaran ruang dan regulasi yang utuh. Karena pada akhirnya, kota yang baik bukan hanya indah dilihat, tetapi adil dirasakan.(*)