Go-Pena Baner

Friday, 22 November, 2024

Memperkuat Fungsi Legislasi DPRD Sebagai Format Policy Dalam Euphoria Otonomi Daerah

Responsive image
Ilustrasi DPRD Provinsi Gorontalo. (Foto : Google)

Oleh 

Sastro M Wantu 

(Universitas Negeri Gorontalo)

DALAM Era otonomi daerah yang didukung dengan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa lembaga legislatif daerah (DPRD) memiliki salah satu fungsi utama yaitu legislasi, dimana institusi tersebut mempunyai tugas dan wewenang untuk membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Pembentukan Perda itu sendiri didasari pada sisi kelembagaan dan kepentingan masyarakat daerah yaitu dengan memberikan dasar hukum dalam mengimplementasikan pelayanan kepada masyarakat. Meskipun pembahasannya melalui prosedur yang ada baik melalui rapat  komisi, rapat pansus dan rapat panitia, akan tetapi kenyataan dalam pembahasan tersebut terjadi tawar menawar kepentingan politik baik dalam DPRD itu sendiri  dan juga di luar dari lembaga itu. Bahkan lebih parah bahwa yang dibahas untuk dijadikan sebagai Perda tidak diketahui oleh masyarakat sehingga menimbulkan 
konflik dengan masyarakat. Isu yang penting terhadap implementasi otonomi daerah yang luas, nyata dan  bertanggung jawab adalah daerah memperoleh suatu kewenangan yang sangat luas yang sebelumnya tidak pernah diperoleh semasa Orde Baru, meskipun kewenangan tersebut masih menjadi perdebatan akibat emperikal problem yang dihasilkannya selama ini. 
Kebijakan itu sebagai sebuah reward dari proses transisi politik yang berlangsung sejak Era reformasi yang berdampak juga pada format hukum ketatanegaraan dan 
menimbulkan implikasi pada pergeseran “state formation” dan “social formation” baik pada aras daerah maupun nasional. Melalui fungsi legislasi tersebut secara jelas memperlihatkan bahwa DPRD bukan semata-mata sebagai lembaga perwakilan daerah (parlemen daerah), namun  juga sebagai lembaga legislatif daerah yang mempunyai fungsi dalam bidang pembentukan perda. Walaupun fungsi legislasi perda di bawah DPRD, namun fungsi tersebut bukanlah fungsi yang mandiri, dalam arti tidak dapat diimplementasikan secara mandiri oleh DPRD itu sendiri. Fungsi legislasi perda niscaya dijalankan secara bersamasama oleh DPRD dengan Kepala Daerah. 
Untuk menjalankan fungsi legislasi, anggota legislatif mengambil peran atau kedudukan menjadi mediasi antara para konstituen atau kelompok masyarakat tertentu. 
Akan tetapi juga mereka yang ditunjuk sebagai wakil rakyat memiliki tugas untuk memerankan sebagai wali amanat (trustee) bagi kepentingan umum. Untuk melaksanakan pembahasan rancangan Perda secara normatif maupun prosedural sangat terlihat bahwa pembahasan secara intensif, mendalam, dan menyeluruh terhadap suatu rancangan Perda dilakukan dalam rapat komisi, rapat pansus, maupun rapat panitia kerja.
Pelaksanaan fungsi legislasi DPRD di era desentralisasi dalam rangka meningkatkan produk hukum daerah yang akan menjadi implementasi kebijakan, perlu 
dimaksimalkan mengingat peraturan daerah tersebut digunakan sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat dan sekaligus menjadi landasan normatif dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dengan begitu banyaknya bentuk perda yang dihasilkan dan banyak menyalahi aturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga penggunaannya tidak efektif dan 
menjadi beban masyarakat setempat serta seringkali memunculkan gejolak bahkan konflik antara pemerintah setempat dan masyarakatnya. 
Produk legislasi daerah yang dihasilkan oleh DPRD seringkali dinilai merupakan hasil konspirasi antara aktor penguasa (kepala daerah, para legislator daerah 
sebagai decision maker dan aktor-aktor yang berkepentingan lainnya seperti para pemilik modal dan sebagainya yang menciptakan suatu rantai rent seeking yaitu sebuah birokrasi  pemerintahan daerah yang mencari rente yang mempertukarkan antara kewenangan berupa kekuasaan dan segala aturan termasuk Perda dengan sumber fasilitas, uang dan kenikmatan lainnya. (*)


Share