Go-Pena Baner

Thursday, 21 November, 2024

Apa Jadinya Sastra Indonesia Tanpa Jassin

Responsive image
Dr (HC) Rachmat Gobel Tokoh Masyarakat Gorontalo dan Wakil Ketua DPR RI

Oleh Dr (HC) Rachmat Gobel
Tokoh Masyarakat Gorontalo dan Wakil Ketua DPR RI

Judul kata pengantar ini terlihat agak sedikit jemawa meninggikan HB Jassin. Namun fakta itu memang tak terbantahkan. Ada tiga hal yang dilakukan Jassin. Pertama, Jassin adalah seorang kritikus sastra terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Kedua, Jassin mungkin satu-satunya kurator sastra terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Istilah kurator dalam dunia sastra mungkin terasa ganjil, karena dalam dunia sastra galibnya hanya mengenal istilah kritik sastra. Namun apa yang dilakukan Jassin tak sekadar melakukan kritik sastra, seperti yang dikenal dalam ilmu sastra, tapi juga Jassin melakukan kurasi. Pada titik inilah ia kemudian mendapat julukan sebagai Paus Sastra Indonesia. Julukan ini awalnya ledekan dari Gayus Siagian, karena apa saja yang ditulis Jassin selalu diterima oleh publik sebagai sebuah kebenaran. Namun ledekan itu justru kemudian bermakna positif. Berkat kerja-kerja kritik sastra dan kurasi sastra itulah, kita mengenal periodesasi sastra Indonesia seperti Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 45, dan Angkatan 66. Juga kita mengenal Chairil Anwar sebagai pelopor Angkatan 45 dan Amir Hamzah sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Berkat Jassin pula kita dibimbing tentang karya sastra mana saja yang baik. Ajaibnya, semua diterima publik. Tentang periodesasi sastra yang antara lain dikemukakan Jassin memang langsung dibuat dalam judul-judul buku yang ditulis Jassin.

Setelah Jassin tak lagi aktif melakukan kritik dan kurasi sastra, kita tak lagi cukup familiar mengenal periodesasi sastra sesudahnya, bahkan tak cukup mengenali karya sastra dan sastrawan yang baik. Bukan tidak ada upaya untuk melakukan itu, namun kurangnya legitimasi publik yang membuat upaya itu tak cukup familiar.

Ketiga, dan ini yang paling utama, Jassin melakukan dokumentasi sastra yang luar biasa. Ia mengumpulkan naskah-naskah sastra, baik yang tulis tangan, maupun yang masih berupa oret-oretan yang belum selesai. Tulisan tangan itu misalnya milik Chairil Anwar dan Amir Hamzah. Tentu saja, dan apalagi, naskah sastra yang sudah diterbitkan di berbagai media maupun buku. Ada kliping koran atau majalah, ada skripsi, ada pidato, ada pula rekaman suara. Ia juga mendokumentasikan surat-surat pribadi sastrawan. Inilah dokumentasi terlengkap tentang sastra. Hingga 1996 koleksinya adalah buku fiksi 15.916 judul, buku nonfiksi 11.990 judul, buku referensi 457 judul, naskah drama 772 judul, map biografi pengarang 750 nama, kliping 14.422 map, foto pengarang 610 nama, majalah 391 judul, makalah 571 judul, skripsi 630 judul, dan rekaman suara 732 kaser. Pada 1996, Jassin terkena stroke, dan kemudian wafat pada 11 Maret 2000.

Data 2011, seperti dimuat di buku karya Oyon Sofyan, Mengenal Lebik Dekat Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, koleksinya adalah buku fiksi 33.125 judul, buku nonfiksi 17.352 judul, buku referensi 575 judul, majalah 246 judul, naskah drama 797 judul, biografi pengalang 6.000 map, foto pengarang 4.000 map, foto peristiwa sastra 799 map, kliping sastra dan budaya 17.357 map, skripsi dan disertasi 1.789 judul, makalah 500 judul, rekaman suara 900 kaset, dan rekaman video 60 video. Setelah kepergian Jassin, jumlah dokumentasi bertambah secara beringsut.

Dokumentasi itu dilakukan atas prakarsa pribadi, dengan dana pribadi, dan itu dilakukan sejak 1933. “Siapakah kelak yang melanjutkan usaha tersebut dengan setekun Jassin, membeli surat-surat kabar hanya guna kepentingan dokumentasi melulu dari kantongnya sendiri, bahkan penawaran-penawaran menjadi dosen di berbagai universitas di luar negeri ditolaknya hanya untuk mengikuti perkembangan dan pertumbuhan sastra di negerinya sendiri. Jassin menjadi penjaga sastra Indonesia yang tidak ada lawannya, akan tetapi tidaklah fair, kalau semuanya dipikul sendiri,” kata Aoh K Hadimadja, seorang sastrawan pada 1971.

Pada 1975, WS Rendra, seorang penyair dan dramawan, menulis, “Saya sangat terkesan akan pribadi Jassin sebagai orang yang tidak mementingkan diri sendiri. Jassin sudah banyak merelakan waktunya, uangnya untuk membuat dokumentasi tentang sastra Indonesia sehingga hampir dia tidak punya apa-apa lagi dalam sosial ekonominya sehari-hari.” Rendra mencatat Jassin menjadi tak banyak memiliki teman karena fokus pada pendokumentasian. Ia juga berjuang keras hanya untuk membeli sebuah lemari, karena ia sedang kesulitan uang. “Masa krisis Jassin adalah sekitar tahun 1964. Di samping menyelamatkan dokumentasi itu supaya jangan dimakan rayap, dia juga harus berusaha keras agar dokumentasinya itu jangan disita Lekra/PKI untuk dibakar. Sebab waktu itu orang-orang Lekra memang mengincar-ngincar dokumentasi itu untuk dimusnahkan,” kata Rendra.

Karena Jassin berjuang sendiri untuk kerja dokumentasi itu, maka atas dorongan teman-temannya seperti Ajip Rosidi dibentuk sebuah yayasan pada 28 Juni 1976. Dengan begitu, mulai ada keterlibatan publik secara lebih luas. Kemudian, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, menyediakan tempat di Taman Ismail Marzuki pada 30 Mei 1977. Walau sudah ada bantuan dana dari Pemda DKI, namun besarannya naik-turun. Karena itu, kondisi PDS HB Jassin tetap memprihatinkan. Pada 1983, aliran listriknya dimatikan karena sudah tak mampu membayar iurannya. “Hati saya tergugah setelah membaca laporan lewat media massa yang menyebutkan bahwa pusat ini tidak memiliki alat pendingin dan sudah beberapa bulan listriknya dicabut karena tidak mampu membayar,” kata Adam Malik, pernah menjadi menteri luar negeri dan wakil presiden, saat itu.

“Saya merasa malu besar, sebab orang-orang di luar negeri yang saya tahu betul, ngiler melihat kekayaan PDS HB Jassin,” kata penyair Sutardji Calzoum Bachri, mengomentari putusnya aliran listrik tersebut.

Walau kemudian masalah listrik bisa teratasi, namun pada 2017 kondisi PDS HB Jassin tetap memprihatinkan. Atas prakarsa Gubernur DKI saat ini, Anies Baswedan, ruang PDS HB Jassin diperbaiki. Bahkan kemudian pengelolaan PDS HB Jassin diambil alih oleh Pemprov DKI Jakarta, mulai 2018. Kini, PDS HB Jassin sudah dikelola dengan jauh lebih baik, termasuk dilakukan digitalisasi. Tempatnya tidak lagi berantakan dan tidak memprihatinkan lagi. Kondisinya sudah lebih nyaman.

Jassin sendiri, sebelum terkenal menjadi kritikus sastra juga menulis puisi dan cerpen yang dimuat di berbagai media. Ia juga menerjemahkan Alquran, yang disebut terjemahan berwajah puisi, maupun menerjemahkan buku-buku sastra dunia.

Atas tiga pertimbangan itulah, kami mengusulkan kepada pemerintah untuk menetapkan HB Jassin sebagai Pahlawan Nasional. Proses administrasi sudah dilakukan oleh tim dan dilakukan secara berjenjang melalui Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Provinsi Gorontalo untuk diusulkan ke pemerintah pusat. Buku ringkas ini berisi kumpulan tulisan para sastrawan tentang kontribusi HB Jassin dalam tiga poin tersebut. Tulisan-tulisan tersebut merupakan tulisan lama. Buku ini hanya sebagian saja sebagai bahan referensi bagi pemerintah dan publik, selain penyelenggaraan seminar-seminar.

Sapardi Djoko Damono, penyair dan dosen sastra Universitas Indonesia, pada 1975, mengatakan: “Saya tidak bisa membayangkan kalau tak ada koleksi Jassin, saya akan belajar dari mana tentang sastra Indonesia.” Pada 1986, sastrawan dan wartawan Mochtar Lubis, mencatat: “Di samping terkenal sebagai kritikus sastra, Jassin juga terkenal di dalam dan luar negeri, terutama di pusat-pusat penelitian sastra di banyak perguruan tinggi, sebagai satu-satunya pengumpul dokumentasi sastra Indonesia modern yang terbesar dan terlengkap di dunia”.

Apa yang dilakukan Jassin adalah sumbangan yang sangat penting bagi ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan bagi peradaban Indonesia. Jassin mengabdikan sepanjang hidupnya bagi pengembangan dan pendokumentasian sastra Indonesia. Gagasan dan pemikirannya di bidang kritik sastra terwariskan hingga kini, tak hanya bagi peminat sastra dan pegiat sastra tapi juga bagi pelajar dan mahasiswa Indonesia. Apa yang ia lakukan telah melampaui zaman dan akan terus abadi. Dalam jagad sastra, baru Amir Hamzah yang dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Itupun, dengan mohon maaf, dimulai dari tragedi. Karena itu, sudah saatnya bangsa ini secara sungguh-sungguh dan serius menghargai pejuang sastra dan peradaban ke tempat yang lebih baik. Anugerah gelar Pahlawan Nasional terhadap HB Jassin akan menjadi cahaya baru, cara pandang baru, bagi bangsa Indonesia, dalam melihat makna kepahlawanan. Kepahlawanan bukan hanya dalam makna perang dan politik, tapi juga perjuangan di bidang kebudayaan dan peradaban.

Kita teringat pada kata John F Kennedy, mantan presiden Amerika Serikat, yang kata-katanya begitu masyhur. Katanya:

“When power leads man toward arrogance, poetry reminds him of his limitations. When power narrows the area of man’s concern, poetry reminds him of the richness and diversity of existence. When power corrupts, poetry cleanses.”
(“Ketika kekuasaan menuntun manusia menuju kesombongan, maka puisi mengingatkannya akan keterbatasannya. Ketika kekuasaan mempersempit ruang pandang manusia, maka puisi mengingatkannya akan kelimpahan dan keragaman. Ketika kekuasaan itu mengotori, maka puisi membersihkannya.”)

Pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk HB Jassin, jika kemudian diluluskan pemerintah, akan menjadi sejarah baru bagi Indonesia. Bahwa kita, sebagai bangsa Indonesia, memberikan tempat yang tinggi pada kepahlawanan peradaban, pada kepahlawanan kebudayaan, khususnya di bidang sastra. Apa yang dilakukan Jassin adalah mengawetkan ingatan publik tentang nilai-nilai, tentang visi, tentang kehalusan budi, dan tentang semangat para sastrawan yang berkontribusi pada zamannya, bahkan untuk ratusan atau ribuan tahun ke depan.

Jassin adalah persembahan masyarakat Gorontalo untuk Indonesia. Memang, sebagai manusia, tak semua hal yang dilakukan Jassin bisa kita setujui, yang hal itu sangat relatif dan subjektif. Namun Jassin adalah manusia yang positif, lembut, tekun, dan teguh pada pendirian. Karakter itulah yang membuat karya-karyanya menjadi hujjah, seolah kata-kata seorang Paus.
Jakarta, Februari 2022


Share