Oleh: Fanridhal Engo, Jurnalis Gorontalo
GO-PENA.ID-Ada yang mempersepsi ka’bah secara berlebihan seakan-akan ia adalah benda keramat yang harus di ‘dewakan’. Bahkan tak jarang, kemudian mereka memperlakukan ka’bah seakan dia adalah bagian dari unsur ketuhanan. Apalagi, kita mengenal ka’bah sebagai baitullah atau rumah Allah, sehingga ada yang kemudian mengira Allah tinggal di dalamnya.
Lantas, terjadilah salah kaprah memuliakannya, sebagaimana memuliakan Allah. Mengagungkannya sebagaimana mengagungkan Allah, dan mensucikannya sebagaimana ‘mensucikan’ Allah. Saya kira kita harus melakukan klarifikasi.
Memang benar Baitullah adalah rumah yang diperintahkan Allah untuk mensucikannya. Tetap itu bukan dikarenakan Allah tinggal di dalamnya, melainkan ini adalah rumah tempat ummat islam melakukan ibadah. Persis diceritakan Allah di dalam al-Qur’an. Surah al-Hajj ayat 26-27.
“Dan (Ingatlah), ketika kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah: “Janganlah kamu ‘memperserikatkan’ sesuatu pun dengan aku dan sucikanlah rumahku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud”.
Jadi perintahnya sangat jelas, Nabi Ibrahim dan seluruh keturunannya sampai Nabi Muhammad diperintahkan untuk mensucikan Baitullah, karena ia adalah rumah yang dipakai sebagai tempat ibadah bagi seluruh umat muslim. Bukan karena Allah tinggal di dalamnya.
Karena itu, Allah menyertai perintah untuk mensucikan ka’bah itu dengan kalimat: jangan kamu memperserikatkan sesuatu pun selain aku...” Sebab memang ada kecenderungan sebagian jamaah haji untuk memperlakukan ka’bah dengan sangat berlebihan—mengultuskan dan mengeramatkannya.
Perintah untuk tidak memperserikatkan Allah itu termasuk tidak menuhankan ka’bah ataupun menjadikan ka’bah sebagai bagian dari unsur ketuhanan, dan disembah-sembah.
Dalam surah an-Naml ayat 91 Allah berfirman, “Aku (Muhammad) hanya diperintahkan untuk menyembah tuhan negeri ini (Mekkah) yang telah menjadikannya suci dan kepunyaannyalah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.
Namun demikian, dalam prakteknya kita sering menjumpai betapa banyaknya jamaah haji yang memperlakukan secara berlebihan. Cobalah perhatikan tingkah laku mereka saat berthawaf.
Banyak diantara mereka yang kemudian berhenti dan menyempatkan diri menempelkan badannya di dinding ka’bah, tangannya terlentang ke atas, juga menempel ke dinding ka’bah persis seperti orang-orang yang Yahudi yang menempel badannya di tembok ratapan di masjid al-Aqsa, Palestina. Dengan cara itu, seakan-akan para jamaah haji sedang merasakan begitu dekatnya dengan tuhan.
Yang demikian ini tidak dicontohkan rasulullaah SAW, Nabi Ibrahim maupun Nabi Ismail. Yang diajarkan adalah melakukan sholat dengan cara rukuk dan sujud serta bertawaf, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai macam ayat al-Qur’an.
Maka perbuatan mengkultuskan ka’bah secara berlebihan tidaklah baik, sebab itu dapat berpotensi mengikis iman dan ketauhidan kita sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas. Ka’bah tidak lain hanya sebuah titik tujuan atau pemersatu ummat Muslim dalam malakasanakan ibadah, sebab ia hanyalah bangunan yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Ismail, meskipun sebagian riwayat mengatakan keduanya hanya diperintahkan meninggikan pondasinya.