UKURAN kemajuan ekonomi Provinsi Gorontalo yang kerap dibicarakan oleh banyak kalangan masih berputar pada isu kemiskinan, karena indikator lain memang nampak abstrak mengukurnya, meskipun BPS dapat menghitung secara numerik, seperti pertumbuhan ekonomi, peningkatan PDRB, IPM maupun pengelolaan keuangan yang diberi ganjaran piagam Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Kemiskinan menjadi seksi dibicarakan oleh hampir semua pihak, karena ia nampak secara kasat mata, dilihat dari kepemilikan aset, sarana produksi, kelayakan tempat tinggal, keterbatasan akses pendidikan. Lewat potret itu lalu kemudian orang dengan sangat fasih mendeskripsikan keadaan kemiskinan, bahkan tidak sedikit isu kemiskinan ditarik ke area politik. Jika isu kemiskinan sudah masuk ke area politik, maka pasti akan menjadi panjang perdebatannya seolah tak berujung, masing-masing pihak bernarasi dengan berpijak pada asumsi yang dibangun berdasarkan perspektif dan kepentingannya.
Kemiskinan dapat menjadi perisai sekaligus palu godam. Perisai pada pihak tertentu karena merasa ia memiliki andil menurunkan angka kemiskinan bila dibandingkan dengan ketika Gorontalo masih gabung dengan Sulawesi Utara. Menjadi palu godam, memukul bagi pemerintahan yang dianggap tidak bisa menggeser Provinsi Gorontalo keluar dari lima atau enam besar daerah termiskin di Indonesia. Namun demikian, isu kemiskinan seolah menjadi liar begitu saja karena nyaris memang tidak pernah dibicarakan secara serius dengan melibatkan banyak pihak, mengenai penyebabnya. Di banyak artikel yang saya tulis sebelum-sebelumnya, ada dua faktor determinan makin lambannya menurunkan angka kemiskinan, yakni produktivitas tenaga kerja (SDM) dan sektor ekonomi didominasi oleh lapangan usaha minim nilai tambah.
Angkatan kerja didominasi oleh lulusan sekolah dasar ke bawah, profil tenaga kerja seperti ini paling banyak terserap di sektor non produktif, karena mereka akan sulit bekerja di sektor sekunder dan tersier, dimana kedua sumber ini secara umum lebih memberikan jaminan sumber pendapatan tetap. Rendahnya produktivitas tenaga kerja tidak lain karena efek dari kinerja sektor pendidikan yang lemah, hal itu tercermin dari rendahnya IPM. Rata-rata IPM secara nasional di tahun 2021 sebesar 72,29 sementara IPM Gorontalo baru mencapai 69. Komposit pembentukan IPM dari dimensi pendidikan diukur dari rata-rata lama sekolah, secara nasional sebesar 8,54 tahun sedangkan rata-rata lama sekolah di Gorontalo baru mencapai 7,9 tahun lebih rendah dari Sulawesi Barat.
Merujuk dari angka tersebut di atas, alhasil masih banyak anak usia sekolah berhenti ditingkat sekolah dasar atau tidak menuntaskan jenjang pendidikannya di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bisa jadi karena ketidakmampuan orang tuanya untuk membiayai pendidikan, namun masalah ini tidak lagi menjadi alasan yang tepat karena ia dapat diatasi lewat Biaya Operasional Sekolah (BOS). Akan lain halnya jika mereka berhenti sekolah karena membantu orang tuanya mencari nafkah, maka disinilah fungsi-fungsi pemerintahan sejatinya berjalan jika ditemukan anak putus sekolah. Selain itu, akses pendidikan juga faktanya masih belum merata, serta kualitas lulusan sekolah yang begitu lebar disparitasnya. Masih cukup banyak sekolah yang kekurangan guru dan fasilitas, serta guru mata pelajaran ditingkat sekolah menengah tidak tersebar dengan baik. Akibatnya tidak sedikit guru mengajar bukan pada bidangnya, namun karena kekurangan guru mata pelajaran tertentu, sehingga guru-guru yang ada merangkap mengampu mata pelajaran yang berbeda.
UNG Mengabdi dan Mengajar Di Desa
Sektor pendidikan tidak boleh hanya sekedar dibunyikan sebagai sektor unggulan diberbagai kesempatan. Boleh jadi outcome pendidikan belum dibicarakan secara serius oleh pemangku kepentingan, apalagi membicarakan strategi percepatan peningkatan rata-rata lama sekolah. Dalam konteks ini diperlukan sinergi dan kolaborasi antara pemerintah dan perguruan tinggi. Masih rendahnya rata-rata lama sekolah faktor determinannya tidak tunggal, bisa karena faktor ekonomi, aksesibilitas, sarana maupun kekurangan guru.
Faktor kekurangan guru dan keterbatasan guru mata pelajaran tertentu, sejatinya Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dapat mengambil bagian mengatasi masalah tersebut. Kegiatan mengajar yang telah berjalan selama dilakukan oleh LPTK masih sebatas praktek (PPL II). Seiring dengan luncuran program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang dilakukan pemerintah. Salah satu jenis kegiatan MBKM adalah mengajar disatuan pendidikan, lewat kegiatan ini antusiasme mahasiswa jurusan kependidikan cukup tinggi untuk mengikuti program MBKM. Akan tetapi sekolah yang dituju untuk kegiatan MBKM belum selektif, karena sekolah yang dipilih justru yang sudah maju dan tidak mengalami kekurangan guru. Bilamana program ini terus berjalan dengan tidak memprioritaskan sekolah yang mengalami serba keterbatasan, justru akan makin memperlebar kesenjangan kualitas pendidikan dan akses pendidikan.
Kesenjangan kualitas dan akses pendidikan berefek buruk terhadap disparitas ekonomi yang semakin melebar, alhasil angka kemiskinan makin sulit diturunkan, khususnya di wilayah perdesaan. Kedepannya perlu didesain pelaksanaan mengajar disatuan pendidikan (MBKM) dengan fokus di sekolah-sekolah daerah terpencil, terluar, tertinggal dan kekurangan guru yang dinamakan –Program Mengabdi dan Mengajar Di Desa--. Di Kawasan Teluk Tomini. Jika langkah ini dilakukan secara kontinu, dilaksanakan setiap semester dengan mahasiswa yang berbeda angkatan. Niscaya kegiatan MBKM akan memiliki manfaat yang sangat besar mengatasi problem pendidikan di Gorontalo. Namun demikian, kegiatan mengajar di desa dan di sekolah yang kekurangan guru harus berasifat mandatory, jika sifatnya kesukaarelaan (voluntary), mahasiswa akan cenderung memilih sekolah yang dekat. Langkah awal yang perlu dilakukan, yaitu peta sebaran sekolah disemua jenjang pendidikan yang kekurangan guru sudah harus tersedia dan dipegang oleh LPTK, dalam hal ini UNG. Pada saat pelaksanaan program mengabdi dan mengajar di desa, unit pelaksana tinggal mendistribusi mahasiswa yang menjalankan MBKM sesuai kebutuhan sekolah.
Tantangannya, jika MBKM bersifat mandatory dengan mengajar di daerah terpencil, terluar, tertinggal dan sekolah kekurangan guru, ia akan membutuhkan waktu, tenaga dan biaya. Hal ini pasti memberatkan, maka perlu ada insentif diberikan kepada mahasiswa. Sumber insentifnya dapat bersumber dari pemerintah daerah atau pemerintah pusat, dimana pembiayaannya tentu tidak akan sebesar tunjangan guru honorer, sehingga akan lebih efisien biayanya ketimbang mengangkat guru tidak tetap. Apalagi mulai tahun 2023 tidak lagi diadakan guru honorer, tapi diangkat lewat Pegawai Pemerintah Perjanjian Kontrak (P3K), dan kebijakan ini dipastikan tidak akan mengakomidir seluruh guru honor yang telah mengabdi bertahun-tahun, sehingga diyakini beberapa sekolah akan tetap kekurangan guru. Sementara pembiayaan yang bersumber dari pemerintah pusat dapat menggunakan dana yang dikelola layanan pembiayaan pendidikan, atau sumber lainnya.
Program mengabdi dan mengajar di desa diasumsikan tidak hanya mengatasi kekurangan guru, akan tetapi mahasiswa mendapatkan pengalaman di luar kampus. Pada saat yang sama mahasiswa berkolaborasi dengan dosen menghasilkan inovasi dalam rangka membangun desa. Sejalan dengan itu, capaian Indikator Kinerja Utama (IKU) yang menjadi target kinerja pendidikan tinggi akan melonjak, khususnya IKU 2 dan IKU 3. Setali tiga uang, tujuan SDGs desa akan tercapai, terutama pendidikan berkualitas dan mengurangi kesenjangan.(*)