Go-Pena Baner

Sunday, 13 July, 2025

Efektif Cuma Punya 24 Bulan: Kepala Daerah Harus Kerja, Bukan Sekadar Gaya

Responsive image
Dr. Funco Tanipu, MA (Akademisi UNG)

GORONTALO - Dilantik pada Februari 2025, Kepala Daerah hanya memiliki ruang strategis sekitar dua tahun sebelum agenda politik dan masa transisi mengambil alih. Siklus anggaran dan hari kerja yang terbatas mempersempit ruang realisasi visi dan program.
Angka ini muncul dari hitungan kalender yang sederhana namun tegas. Dalam satu periode jabatan selama lima tahun — setara dengan 1.826 hari (Februari 2025 hingga Februari 2030) — hampir 1.000 hari akan hilang begitu saja karena hari Sabtu dan Minggu, libur nasional, cuti bersama, hingga hari besar keagamaan. Bila semua itu dikurangi, tersisa hanya sekitar 738 hari kerja efektif. Dan jika dihitung dalam konteks birokrasi dan tahapan pembangunan, angka itu bahkan bisa lebih kecil.
“Sering kali Kepala Daerah merasa punya waktu lima tahun, padahal realitasnya tidak seperti itu. Kalau kita hitung hari efektifnya saja, hanya sekitar dua tahun. Tapi kalau kita hubungkan dengan tahapan perencanaan dan kalender anggaran daerah, maka waktu real strategisnya itu tinggal sekitar 15 bulan,” ujar Funco Tanipu, akademisi dan pengamat kebijakan publik dari Universitas Negeri Gorontalo.
Ruang Kerja Kepala Daerah Dibatasi Siklus Anggaran, Tahun Efektif Hanya 2026 - 2027
Masalahnya bukan hanya pada hari-hari libur yang memang sudah terjadwal secara nasional, tetapi juga pada sistem pembangunan daerah yang bergerak dalam siklus tahunan. Setiap Januari hingga Mei, fokus pemerintah biasanya terserap pada proses penyusunan rencana — Musrenbang, forum konsultasi publik, rancangan awal RKPD, hingga penyusunan KUA-PPAS. Lalu masuk ke tahapan pembahasan RAPBD bersama DPRD dari Agustus hingga November. Sisa waktunya adalah penyesuaian dan evaluasi.
Artinya, Kepala Daerah yang dilantik Februari 2025 akan mewarisi APBD 2025 yang telah disusun pemerintahan sebelumnya. Ia tak bisa mengubah arah program secara drastis. Tahun anggaran 2026 menjadi kesempatan pertama bagi Kepala Daerah untuk mengeksekusi program yang benar-benar berasal dari visi dan arah kepemimpinannya sendiri.
Tetapi waktu tak menunggu. Setelah 2026 dan 2027, ruang strategis itu mulai menyempit. Tahun 2028 sudah diwarnai suhu politik nasional yang memanas menjelang Pemilu dan Pilpres. Tahun 2029 praktis menjadi ruang transisi dan konsolidasi akhir, karena masa jabatan akan berakhir pada Februari 2030, setahun sebelum Pilkada 2031 digelar.
“Jadi kalau benar-benar dihitung, waktu produktif hanya ada di 2026 dan 2027. Itulah masa emas. Setelah itu, fokus mulai pecah. Politik mulai menekan. Legitimasi mulai melemah. Maka, dua tahun itu harus dipakai seolah-olah Anda hanya punya dua tahun. Kalau mengikuti "kebiasaan" dalam tubuh pemerintah daerah, biasanya ada  "pica kongsi" antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, konflik politik lokal, masalah krusial di birokrasi yang menghambat. Nah, itu semua bisa semakin memperkecil ruang gerak untuk merealisasikan janji politik,” tegas Funco yang memiliki pengalaman menjadi tim kerja, tenaga ahli dan staf khusus Pemerintah Daerah termasuk DPRD sejak tahun 2005.
Program Nyata Lebih Diperlukan Ketimbang Janji Besar
Kepala Daerah biasanya datang membawa visi besar: menjadikan kota religius, kabupaten mandiri, atau daerah sebagai pusat ekonomi jasa. Tapi pertanyaannya, seberapa banyak dari visi hingga misi itu yang realistis dikerjakan dalam waktu yang sempit dan birokrasi yang lambat?
Funco mengingatkan agar Kepala Daerah tak terjebak dalam euforia gagasan tanpa menyusun strategi operasional yang terukur.
“Kalau tidak bisa bangun infrastruktur yang memakan biaya besar, bangun dulu datanya. Kalau tidak bisa tuntaskan angka kemiskinan yang bombastis, turunkan dulu biaya hidup rakyat. Mulailah dari yang bisa dikerjakan cepat, berdampak langsung, dan bisa diukur,” katanya.
Menurutnya, Kepala Daerah tak butuh ribuan program tapi tidak fokus. Cukup dua atau tiga program prioritas yang menjadi identitas dan warisan. Program yang dapat diingat rakyat sebagai karya nyata, bukan sekadar baliho dan unggahan sosial media.
Funco juga menambahkan bahwa saat ini sedang dalam tahap penyusunan RKPD tahun 2026, sekaligus juga penyusunan RPJMD. Untuk menyiasati keterbatasan waktu efektif selama 24 bulan, Kepala Daerah perlu segera memetakan visi dan misi ke dalam program prioritas yang realistis, terukur, dan langsung menyentuh kebutuhan publik. Langkah pertama, dalam dokumen RPJMD secara ringkas namun strategis, selaras dengan siklus perencanaan dan anggaran, sehingga program unggulan bisa masuk dalam dokumen KUA-PPAS dan APBD sejak tahun kedua menjabat. Fokus utama sebaiknya diberikan pada program quick win dengan dampak luas, seperti perbaikan layanan dasar, digitalisasi birokrasi, atau intervensi langsung pada kemiskinan dan harga kebutuhan pokok. Kolaborasi cepat dengan DPRD, Bappeda, dan OPD kunci menjadi penentu agar agenda pembangunan tidak terhambat ritme birokrasi dan dinamika politik.
Selain hal itu, Funco juga menambahkan bahwa RKPD 2026 harus menjadi dokumen transformatif yang menjembatani visi-misi Kepala Daerah baru dengan kebutuhan nyata masyarakat, sekaligus menyesuaikan arah kebijakan nasional, terutama Instruksi Presiden (Inpres) tentang Efisiensi Pengelolaan Anggaran dan Program Daerah. Dengan waktu efektif hanya sekitar 24 bulan, RKPD 2026 perlu menekankan program prioritas yang berdampak langsung, berbasis data, dan hemat anggaran. Agenda seperti pengendalian harga kebutuhan pokok, pelayanan publik digital, penyediaan air bersih, serta reformasi layanan kesehatan harus dirancang secara efisien dan terukur. Penyusunan RPJMD pun harus dipercepat agar KUA-PPAS 2026 dapat langsung menyerap arah pembangunan Kepala Daerah yang baru dilantik.
Funco menambhakan bahwa dalam integrasi prinsip efisiensi dalam RKPD 2026 juga mencakup realokasi belanja operasional ke program pembangunan yang produktif dan memiliki efek berganda terhadap kesejahteraan masyarakat. Inpres Efisiensi dapat menjadi pijakan untuk merasionalisasi belanja rutin, memangkas duplikasi program antar-OPD, serta memperkuat sinergi antarinstansi. RKPD harus mengadopsi pendekatan quick win yang tidak membebani APBD, seperti intervensi terhadap UMKM, digitalisasi pelayanan dasar, dan transparansi belanja publik. Seluruh proses perencanaan harus bersifat partisipatif dan terbuka, menjadikan forum konsultasi publik dan musrenbang sebagai arena penyaringan aspirasi yang berbasis bukti. Dengan ketepatan strategi ini, RKPD 2026 bukan hanya responsif terhadap tantangan lokal, tetapi juga selaras dengan arah efisiensi nasional yang dicanangkan Presiden.
Instruksi Presiden tentang Efisieinsi Belum Menyentuh Substansi Perubahan Anggaran Daerah
Dengan realitas waktu yang sangat terbatas, Kepala Daerah hanya punya satu pilihan: bekerja secara efisien, fokus pada prioritas, dan wariskan sistem, bukan sekadar proyek.
Namun dalam konteks efisiensi, Funco Tanipu juga menyoroti bahwa pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2023 tentang percepatan tindak lanjut hasil pengawasan—yang kerap disebut bagian dari agenda efisiensi nasional—masih menyisakan banyak persoalan di lapangan. Menurutnya, Inpres ini belum sepenuhnya terintegrasi dalam siklus perencanaan dan penganggaran daerah, dan sering kali hanya dijalankan sebatas pelaporan administratif.
“Banyak pemerintah daerah hanya menindaklanjuti Inpres dalam bentuk dokumen. Tidak ada pergeseran nyata dalam cara kerja atau struktur anggaran. Jadi efisiensi yang terjadi bukan substansi, tapi administratif,” ujar Funco.
Ia menambahkan bahwa budaya birokrasi yang resisten terhadap perubahan, minimnya pengawasan lintas lembaga, dan tidak adanya insentif atau metrik evaluasi yang jelas turut membuat semangat efisiensi ini tidak berdampak langsung bagi publik.
Karena itu, Funco menekankan bahwa efisiensi seharusnya tidak berhenti pada kewajiban laporan, tetapi menjelma dalam pengurangan program mubazir, pemangkasan duplikasi kerja antar-OPD, dan pengalihan belanja ke program prioritas masyarakat. “Kalau kita serius bicara efisiensi, maka ukurannya bukan tumpukan laporan, tapi air yang mengalir ke rumah warga dan harga beras yang masuk akal,” pungkasnya.
 
Warga Menuntut Hasil, Bukan Kehadiran di Media Sosial
Dalam era digital, agar terlihat memiliki kinerja, banyak Kepala Daerah tergoda menampilkan diri dalam balutan pencitraan digital. Tiap hari hadir di Facebook, tampil di Instagram, memberi komentar di TikTok. Namun apakah itu benar-benar cerminan kerja?
“Kita harus jujur. Banyak yang tampak sibuk di Facebook, tapi datanya kosong. Padahal warga tidak butuh Kepala Daerah yang viral. Mereka butuh air bersih, harga beras yang masuk akal, layanan kesehatan yang cepat, dan birokrasi yang manusiawi,” tegas Funco.
Dengan realitas waktu yang sangat terbatas, Kepala Daerah hanya punya satu pilihan: bekerja secara efisien, fokus pada prioritas, dan wariskan sistem, bukan sekadar proyek.
“Sejarah tidak mencatat Anda menjabat berapa tahun. Sejarah mencatat, apakah saat Anda menjabat, ada perubahan yang dirasakan rakyat,” tutup Funco. (*)


Share