Kisah Sunarty Suly Eraku Menjadi Professor
Penulis : Nurmawan Gusasi (Pimred Go-Pena.id)
GORONTALO – Di Auditorium Universitas Negeri Gorontalo (UNG) pagi itu, suara gamelan dan alunan musik khas Gorontalo berpadu dengan rasa haru dan kebanggaan. Di hadapan para guru besar, kolega akademisi, keluarga, dan mahasiswa, seorang perempuan melangkah pasti ke podium. Namanya: Prof. Dr. Sunarty Suly Eraku, M.Pd., yang hari itu dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Geografi Pariwisata.
Sorotan lampu tak sekadar menerangi panggung tempat orasi ilmiah itu disampaikan. Ia menjadi simbol bagi puluhan tahun dedikasi, perjalanan lintas disiplin, dan kesetiaan pada nilai-nilai lokal yang diwarisi dari tanah kelahirannya: Desa Talulobutu, Kabupaten Bone Bolango.
Langkah Kecil dari Tanah Talulobutu yang Mengalirkan Kehidupan
Talulobutu bukan hanya tempat lahir bagi Sunarty—ia adalah inspirasi abadi. Dalam bahasa setempat, “Talulobutu” berarti air yang keluar dari tanah, sebuah metafora yang mencerminkan perjalanan hidupnya: mengalir, memberi, dan menyuburkan. Dari SDN 2 Talulobutu, SMPN 1 Tapa, hingga SMAN 3 Gorontalo, ia menunjukkan semangat belajar yang tak pernah padam.
Tahun 1994, ia meraih gelar sarjana dari STKIP Negeri Gorontalo dengan fokus Fisika. Namun, garis hidup membawanya menyeberang ke Geografi. “Geografi membuat saya bisa bicara tentang ruang dan nilai-nilai yang hidup di dalamnya,” katanya suatu ketika.
Ia melanjutkan pendidikan ke Universitas Negeri Jakarta untuk S2 dan menyelesaikan doktoralnya di Universitas Gadjah Mada dalam bidang Geografi. Di sinilah ia mulai menyulam gagasan besar: bagaimana ilmu geografi bisa menjawab persoalan-persoalan sosial dan budaya di tingkat lokal.
Dari Fisika ke Geografi, Menyatu dalam Pemberdayaan Masyarakat
Meski awalnya dosen Fisika, Sunarty tak ragu mengejar panggilan jiwanya. Ia kemudian dipercaya mengemban berbagai jabatan strategis di UNG, mulai dari Kepala Laboratorium Fisika, Ketua Prodi Teknik Geologi, hingga Direktur Kerja Sama Badan Pengelola Usaha (BPU). Namun, di balik semua peran itu, ia tetap seorang peneliti lapangan—yang lebih sering berada di desa pesisir, pegunungan, atau pinggir danau, daripada di balik meja kantor.
Lebih dari 35 artikel ilmiah ditulisnya di jurnal nasional dan internasional bereputasi. Ia menulis 12 buku yang mendokumentasikan kekayaan Gorontalo: dari ekowisata Molotabu, toponimi desa religius Bubohu, hingga konservasi berbasis kearifan lokal. Buku-bukunya bukan sekadar literasi akademik, tapi juga jejak cinta pada tanah kelahiran.
Karya-karyanya bukan hanya berakhir di rak perpustakaan. Di Pantai Molotabu, misalnya, ia membantu warga menciptakan model ekowisata berbasis masyarakat, dengan wisata perahu, snorkeling,diving di pulau tenggelam SANKEN hingga festival Asyura yang sarat makna spiritual dan dijadikan LABORATORIUM PARIWISATA MOLOTABU. Di Botubarani, kehadiran hiu paus yang dulu hanya jadi tontonan alam kini menjadi tulang punggung ekonomi warga desa, berkat pendampingan ilmiah darinya.
Orasi Ilmiah: Pariwisata sebagai Jalan Peradaban
Dalam orasi ilmiahnya berjudul “Geowisata dan Kearifan Lokal sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Pesisir dan Pedesaan”, Prof. Sunarty menjelaskan bahwa pariwisata bukan hanya soal destinasi, tetapi tentang makna, identitas, dan transformasi sosial.
Ia memaparkan hasil-hasil risetnya yang menempatkan masyarakat sebagai aktor utama: dari siswa sekolah dasar yang diedukasi mitigasi bencana, hingga ibu-ibu nelayan yang kini menjadi pemandu wisata. Semua disusun dengan narasi kultural yang kuat. Ia mengutip kisah Meranti—sebuah desa penyangga Taman Nasional yang kini disulapnya menjadi kawasan ekowisata dan edukasi lingkungan.
Sunarty juga menekankan pentingnya sinergi antara sport tourism dan geopark. Ia belajar langsung dari Berlin, Chicago, dan London Marathon, di mana event olahraga menjadi panggung diplomasi budaya dan promosi ruang kota. “Saya ingin event lari di Gorontalo menjadi ajang memperkenalkan pesisir, desa, dan budaya lokal ke dunia,” ujarnya.
Dari Santorini ke Cappadocia: Dialog Sunarty dengan Alam dan Sejarah
Sebagai akademisi yang berpijak pada nilai lokal namun berpandangan global, Prof. Dr. Sunarty Suly Eraku, M.Pd. terus memperkaya wawasannya melalui berbagai kunjungan ilmiah ke situs-situs warisan dunia. Setiap tapak langkahnya bukan sekadar wisata akademik, melainkan bagian dari laku kontemplatif—membaca bumi, sejarah, dan peradaban manusia secara utuh melalui lensa geografi pariwisata.
Di Yunani, ia menyusuri Meteora, di mana biara Ortodoks berdiri anggun di atas pilar batu menjulang. Lokasi ini menjadi simbol bagaimana fenomena erosi dan tektonik dapat menciptakan ruang spiritual yang sakral. Ia kemudian menjelajah Santorini, pulau yang menyimpan jejak letusan purba gunung Thera, dan Olimpieion, situs peradaban kuno yang menunjukkan keterkaitan erat antara geologi, sejarah, dan kepercayaan masyarakat klasik. Dari kawasan ini, ia menangkap gagasan besar tentang integrasi geodiversitas dan spiritualitas dalam membentuk lanskap budaya yang hidup dan lestari.
Di Mesir, lawatannya ke Museum Egyptian Antiquities dan situs Abu Mena memperluas perspektifnya tentang geologi gurun dan arkeologi, serta bagaimana peradaban kuno beradaptasi dan berkembang di lingkungan ekstrem. Ia menemukan keterkaitan kuat antara pasir, batu, makam, dan nilai-nilai religius yang mengakar kuat dalam narasi budaya.
Tak berhenti di sana, eksplorasi ilmiahnya berlanjut ke Rusia, India Utara, Tiongkok, dan berbagai kawasan di Asia Timur. Di wilayah-wilayah ini, Prof. Sunarty mengamati karakteristik geomorfologi khas seperti bentang karst tropis, granit gunung tua, dan lembah subduksi yang memainkan peran penting dalam membentuk budaya komunitas dan potensi ekowisata. Pengamatannya menjadi referensi penting dalam membangun model ekowisata berbasis edukasi dan pelestarian alam.
Puncak penghayatannya terjadi di Cappadocia, Turki—sebuah wilayah yang menyajikan landskap vulkanik yang diukir oleh waktu dan angin, serta menyimpan jejak sejarah Bizantium dalam bentuk gua-gua, gereja batu, dan lorong-lorong bawah tanah. Bagi Prof. Sunarty, Cappadocia adalah perwujudan sempurna dari geowisata budaya, di mana bentang alam dan warisan sejarah saling menyatu tanpa kehilangan jati dirinya.
Seluruh perjalanan ini memperkaya pandangan akademiknya bahwa geografi bukan sekadar ilmu tentang ruang, melainkan juga cermin peradaban, spiritualitas, dan identitas budaya. Pengalaman lintas negara itu pun menguatkan pendekatan lintas disiplin yang selama ini ia tanamkan dalam riset dan pengabdian di Gorontalo—sebuah pembuktian bahwa dari desa kecil seperti Talulobutu, seorang perempuan bisa memahami dan menjangkau dunia.
Harmoni Akademik dan Rumah Tangga
Di balik keberhasilan akademiknya, ada sosok suami yang tak kalah menginspirasi: Prof. Dr. Moh. Karmin Baruadi, M.Hum, seorang intelektual yang juga guru besar di bidang humaniora. Mereka adalah pasangan sejajar, mitra berpikir, dan rekan dalam membangun peradaban melalui pendidikan.
Tiga anak mereka tumbuh dalam atmosfer nilai-nilai akademik dan keteladanan. “Kami berdiskusi bukan hanya tentang rumah tangga, tapi juga jurnal dan pengabdian. Itu yang menguatkan,” kata Sunarty dalam sebuah sesi tanya jawab ringan usai orasi ilmiahnya.
Menjaga Jejak, Merawat Warisan
Kini, sebagai Guru Besar, Prof. Sunarty bukan hanya menjejakkan nama di puncak karier akademik. Ia mewakili sosok perempuan yang berani lintas disiplin, berdiri di garis depan riset-riset kebudayaan, dan tetap berpihak pada rakyat kecil. Ia adalah jembatan antara universitas dan desa, antara teori dan aksi, antara kearifan lokal dan tantangan global.
“Ilmu bukan untuk menara gading. Ia harus mengalir seperti air di Talulobutu—memberi hidup dan harapan,” ucapnya menutup pidato ilmiahnya.
Dan pada hari itu, di ruang megah nan khidmat, air mata haru mengalir. Bukan karena gelar, tapi karena perjalanan panjang yang ditempuh dengan ketulusan dan keberanian. Prof. Sunarty telah menjelma bukan hanya sebagai ilmuwan, tapi juga sebagai penjaga jejak budaya dan alam Gorontalo. (*)
CURRICULUM VITAE
Nama Lengkap: Prof. Dr. Sunarty Suly Eraku, S.Pd., M.Pd.
Tempat/Tanggal Lahir: Gorontalo, 3 September 1970
Suami: Prof. Dr. H. Moh. Karmin Baruadi, M.Hum
Anak:
Noorrahmat Adhitya Baruadi, S.Kom
Mohamad Noorhidayat Baruadi, ST, MT
Gladys Nurul-Ramadhani Baruadi
Jabatan Akademik:
Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Geografi Pariwisata
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Universitas Negeri Gorontalo, TMT Jabatan Guru Besar: 1 September 2024
Pendidikan:
S1 Pendidikan Geografi – STKIP Gorontalo
S2 Pendidikan Geografi – Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
S3 Geografi – Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta
Bidang Keahlian:
* Geografi Pariwisata
Pengalaman Penelitian dan Publikasi:
*Lebih dari 35 publikasi nasional dan internasional
*Peneliti utama dalam program hibah PDUPT, DRPM Ristekdikti dan PNBP UNG (2014–2024)
*Penyusun Model Ekowisata Berbasis Kearifan Lokal di Provinsi Gorontalo
*Penggagas revitalisasi toponimi dan cerita rakyat dalam wisata edukatif
*Peneliti penerapan UAV & GIS untuk mitigasi bencana di kawasan wisata
Program Pengabdian Masyarakat Unggulan:
*Merintis Laboratorium Pariwisata hidup di Kawasan wisata Pantai Molotabu
*Merintis ekowisata mangrove “Wulungo Botu” di Desa Hutamonu, Boalemo
*KKN-PPM Desa Bubohu Bongo – Pendekatan partisipatif berbasis edukasi wisata dan ekonomi kreatif
*KKN-Tematik Desa Tapadaa, Tutulo,Helumo,Botumoito, Hutamonu, Motilango, Bukit hijau dan Kaidundu
*KKN-RM Dulomo,Tabumela, Tilote dan Ilotidea, Polohungo, Tilihua, Bionga, dan Bongohulawa
*Kiprah Nasional dan Kolaborasi:
*Asesor Kompetensi Badan Sertifikasi Nasional (BNSP) Pemandu Geowisata
*Asesor Kompetensi Badan Sertifikasi Nasional (BNSP) Cagar Budaya
*Asesor Beban Kerja Dosen (BKD) Ristekdikti
*Editor in Chief Jambura Geo Education Journal (Jurnal Nasional Sinta 3)
*Reviewer Jurnal Nasional Geosfera (Jurnal Nasionl Penelitian Geografi Sinta 5)
*Kolaborator Komunitas GEMAWIRA & Kemenparekraf dalam program "DI BATAS"