Go-Pena Baner

Thursday, 19 September, 2024

Tradisi Pa'Iya Lohungo Lopoli di Bone Bolango/Kota Gorontalo

Responsive image
Taufik Hidayat Malii, Yanuar dwiyanto

Oleh

Taufik Hidayat Malii,

Yanuar dwiyanto,

Mardiah Bin Smith

(Jurusan Bimbingan dan Konseling UNG) 

taufikhidayatkonseling22@gmail.com

 

INDONESIA memiliki beraneka ragam suku bangsa yang masing-masing mempunyai nilai budaya mereka tersendiri, setiap suku di daerah memiliki kebudayaan yang di kembangkan secara turun-temurun. Keragaman budaya sejatinya dapat dijadikan modal untuk memperkuat identitas kebangsaan di samping itu juga keragaman budaya termasuk kesenian yang mungkin dapat di jadikan sebagai komoditas nasional yang dapat memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. 

Salah satunya yaitu budaya takbenda atau yang lebih di kenal dengan istilah budaya lisan, budaya ini sifatnya dapat berlalu dan hilang termakan oleh waktu seiring dengan perkembangan zaman seperti misalnya pantun, nyanyian Panjang, dongeng legenda serta syair yang merupakan tradisi lisan, berbicara tentang tradisi lisan di Gorontalo juga ada tradisi tersebut yakni sejenis pantun yang bisa dilagukan dan masih di gunakan hingga sekarang ini walaupun sangat sulit untuk di temukan, tradisi lisan ini sangat sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal antara lain keteguhan hati, kerjasama, kepedulian dan kejujuran sehingga penting untuk di lestarikan kembali agar tradisi ini tidak tergerus terus oleh budaya lain khususnya budaya luar yang masuk ke Indonesia dengan mudahnya. 

Tradisi lisan dari Gorontalo ini di kenal dengan nama Lohidu atau nama lain dalam Bahasa daerahnya yaitu Paiya lohungo lopoli yang mana kata “pa’iya” artinya melempar dan “lohungo” adalah kata sambung sedangkan “poli” yaitu sejenis pohon yang buahnya ringan. Lohidu ini adalah pantun yang di ungkapkan dengan menggunakan Bahasa Gorontalo dalam bentuk dendang atau tembang tradiosonal yang dilagukan dan dapat di sajikan secara individu atau dalam bentuk berbalas-balasan pantun, lohidu ini atau pa’iya lohungo lopoli telah di tetapkan sebagai salah satu warisan budaya takbenda dari suku Gorontalo, tradisi lisan ini biasanya dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan dan dapat dilaksanakan kapan saja tradisi ini juga bisa dilakukan oleh anak-anak, remaja sampai dengan orang dewasa, orang-orang dahulu di Gorontalo biasanya memainkan lohidu dengan di iringi oleh aktivitas sehari-hari mereka seperti menjaga kebun, memancing ikan dan juga sehabis membajak sawah.

Lohidu ini memiliki karateristik khas dalam bentuk Bahasa, ritme, dan melodi yang di gunakan. Biasanya, lohidu di sampaikan dalam Bahasa Gorontalo dengan menggunakan gaya Bahasa yang indah dan berbunga-bunga. Pencerita lohidu akan menggambungkan unsur-unsur puisi, musik, dan Gerakan tubuh untuk menghidupkan cerita yang mereka sampaikan

Isi cerita dari lohidu juga bervariasi, namun seringkali mengangkat tema-tema sejarah, mitologi, kehidupan sehari-hari dan nasihat moral, cerita-cerita dalam lohidu ini atau pa’iya lohungo lopoli juga seringkali mengandung nilai-nilai kehidupan yang di wariskan dari generasi ke generasi

Lebih lanjut lagi tradisi ini ternyata sangat penting dalam budaya Gorontalo karena di anggap sebagai sarana untuk melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya yang ada, melalui tradisi lohidu pengetahuan lisan dari masa lampau dapat terus hidup dan di teruskan kepeda generasi selanjutnya 

Tradisi ini juga kadang dilakukan secara berpasangan dan di iringi oleh alat musik tradiosonal Gorontalo yaitu Gambusi, namun sayangnya tradisi ini sudah mulai hilang di karenakan tidak banyak disukai oleh anak milenial dari Gorontalo selain itu juga para penuturnya sudah banyak yang lanjut usia dan bahkan telah wafat salah satunya adalah risno ahaya maestro Gambusi asal Gorontalo.

Meskipun tradisi lohidu masih dilestarikan di beberapa komunitas di Gorontalo, tetapi demikian, perubahan sosial dan perkembangan zaman dan teknologi yang semakin pesat saat ini telah memberikan dampak terhadap tradisi ini, dalam beberapa tahun terakhir, upaya yang telah dilakukan untuk mempromosikan dan melestarikan tradisi lohidu melalui pertunjukan dan festival budaya yang ada namun usaha tersebut ternyata masih belum mampu memberikan dampak yang bagus.

Selain itu kenapa tradisi ini tak lagi diminati di karenakan pengembangan pariwisata di Gorontalo masih lebih mengarah pada daya Tarik alam atau destinasi wisata saja di bandingkan dengan daya Tarik budaya khususnya yang berbentuk tradisi lisan seperti lohidu ini atau pa’iya lohungo lopoli, di samping itu juga daya Tarik budaya yang telah lebih dulu di masukan dalam pengembangan parawisata Gorontalo masih berputar pada tari-tarian, pakaian adat, sulaman khas Gorontalo dan juga kuliner tradiosonal

Sementara warisan budaya tak benda seperti lohidu ini belum mendapat perhatian serius untuk di kembangkan atau di lestarikan sehingga bisa menjadi daya Tarik tersendiri bagi para wisatawan yang datang dari luar daerah maupun luar negeri, padahal tentunya tradisi ini memiliki peluang yang besar karena budaya ini memiliki keunikan tersendiri di bandingkan dengan budaya lainnya.

Sekarang ini tradisi lisan tersebut hanya dapat di temukan di wilayah pedalaman di kecamatan suwawa dan juga hanya pada rangkaian acara-acara hari ulang tahun provinsi, kabupaten maupun kota dan sebagai pengiring tarian tradisional Gorontalo yaitu dana-dana, terakhir kali tradisi ini di ikutkan pada festival budaya Gorontalo yang di laksanakan oleh radio republik Indonesia atau RRI Pada era tahun 1980-an yakni kurang lebih 40 tahun yang lalu.(*) 


Share