Oleh : Funco Tanipu
(Mengajar Teori Kritik di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo)
Sebenarnya, saya jarang menonton pidato dan juga diskusi Rocky Gerung (Roger) akhir-akhir ini. Tapi, sejak Roger tampil di salah satu kampus swasta di Gorontalo hari ini, membuat saya mesti sedikit menyimak apa yang sedang terjadi.
Jauh sebelum ini berlangsung, nama Roger sudah saya dengar sejak akhir tahun 90 an. Roger saat itu banyak terlibat pada aktifitas kemanusiaan, hak asasi dan demokrasi. Roger ikut mendirikan Setara Intitute, Forum Demokrasi dan ikut memperkuat gerakan feminisme di Indonesia.
Pada masa-masa menjelang Pemilu 2019, nama Roger kembali berkibar dan “dipertengkarkan”. Roger tampil dan diberi ruang “lebih” oleh Karni Ilyas di ILC TV One. Roger dan termasuk TV One memanfaatkan ruang itu untuk melakukan manuver-manuver atas nama akal sehat dan sebagainya.
Di kalangan filsafat, apa yang Roger sampaikan adalah hal-hal yang standar. Pilihan kata, diksi hingga kalimat yang ia utarakan bukan sesuatu yang luar biasa. Itu adalah sesuatu yang normal dalam diskusi filsafat dan akademik. Namun, Roger adalah sedikit dari filsuf di Indonesia yang berani tampil untuk berada dalam posisi yang berseberangan dengan kekuasaan. Roger yang khatam soal isu kiri, Marxist dan lainnya membuat posisinya tampak lebih “seksi” di mata publik.
Pertanyaannya kenapa Roger banyak mendapat sambutan dan pujaan? Sebab, Roger tahu bahwa pasca Orde Baru, minat literasi di Indonesia menurun drastis. Masyarakat Indonesia lebih suka pada “quote-quote”, video satu menit, dan potongan story di media sosial dibanding membaca buku-buku tebal karya pemikir filsafat atau ilmuwan lainnya. Roger tahu bahwa bukan saja di kalangan awam, di lingkungan akademik pun tradisi literasi dan kritis itu semakin menurun.
Bagi kalangan awam yang jauh dari tradisi itu, pasti akan terpukau dengan lontaran kata dan ujaran Roger. Semacam ada oase pemikiran baru. Padahal, apa yang Roger sampaikan adalah kepingan-kepingan pembacaan dan respon soal fenomena sosial. Roger, sebagaimana jika kita melihat karya akademik yang ia produksi, belum pada tahap menyusun konstruksi gagasan ; konseptual, sistematis, terukur, dan bisa direalisasikan. Dia jika kita simak dalam penampilan di kanal media sosial lebih pada merespon fenomena-fenomena sosial-politik yang sedang terjadi, khususnya “blunder-blunder” yang dilakukan dari pemerintah. Roger sederhananya hanya melakukan “snapshot-capture-posting”, tidak lebih dari itu. Pada level itu, publik terkesan gagap dalam merespon fenomena Roger.
LITERASI DAN RATING
Fenomena Roger pada intinya adalah kemunduran literasi. Kemunduran ini beriringan dengan semakin banyak aplikasi dan variasinya yang berkembang di media sosial. Jika kita lihat data dari Indonesia Digital Landscape tahun 2018, terlihat sangat terang dari 265.4 juta penduduk Indonesia, terdapat sekitar 132 juta jiwa yang menjadi “internet users”, diantara itu ada sekitar 130 juta jiwa yang aktif di media sosial. Dari jumlah itu, rata-rata yang menggunakan internet menghabiskan lebih dari 8 jam sehari. Dari 2/3 waktu itu, lebih banyak digunakan untuk menonton Youtube, menyimak postingan di Facebook, mereview story Instagram dan WhatsApp, sehingga konversi literasi dari analog ke digital bukan membawa tradisi literasi menjadi semakin baik namun semakin rendah.
Selain itu, “Rockynisasi” ini adalah kemunduran kita dalam hal merawat demokrasi. Seakan-akan Roger adalah wakil dan juru bicara publik yang berada di kubu yang berbeda dari pemerintahan. Semua keluh kesah dan kekesalan diwakilkan pada Rocky untuk menyuarakan. Padahal, soal mengkritik pemerintahan, mengawasi rezim dan melakukan perlawanan (jika out of track) adalah tugas semua rakyat, bukan Roger saja. Yang membahayakan jika Roger telah berubah menjadi representasi sikap publik Indonesia yang kritis. Pada tahap itu, gairah kritis publik akan semakin menurun, karena menganggap ada yang telah merepresentasikan atau mewakili suara publik.
Pada titik itu, publik terjebak pada pada keindahan tutur kata Roger dalam bentuk kritik. Publik lalu kemudian secara massif lalu berebut dan waktu untuk membagikan video, menuliskan quote dalam media sosial dan banyak “perayaan” lainnya atas “lahirnya” idola baru ini.
Roger dan selanjutnya layaknya sinetron yang penuh dramaturgi. Sebab, dibalik itu adalah media yang bekerja dalam skema produksi, dengan jajanan yang memanfaatkan sentinmen dan pembelahan kubu jelang Pilpres. Dalam konteks makro, Rocky adalah bagian dari skema industri media yang tujuan akhirnya adalah naiknya rating dan keuntungan. Hasilnya apa, beberapa waktu silam, Indonesia Lawyers Club yang digagas TV One berada pada tingkat paling tinggi untuk acara Talkwshow di Indonesia, ILC memperoleh nilai 3.08 dari penilaian yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Hasil yang sama juga bisa dilihat dari Program Talkshow Berita terfavorit Panasonic Gobel Awards 2018, ILC TV One berhasil mengungguli Kick Andy Metro TV, Mata Najwa Trans TV dan Rosi Kompas TV.
MERAYAKAN KRITIK
Namun, apa yang telah Rocky lakukan sendirian perlu mendapat apresiasi, khususnya soal sikap kritis, walaupun tidak semua mesti diterima dengan akal yang sehat tentunya. Apa yang dia sampaikan soal “kedunguan” adalah hal yang perlu dinalar dan diperiksa lagi, apakah itu semacam perilaku kolektif atau hanya menjangkiti kalangan tertentu. Termasuk jika misalnya itu perilaku umum, bagaimana bisa berlaku dan terjadi, utamanya soal respon publik terhadap situasi sosial-politik.
Bahwa jika ada yang keliru dan salah terhadap pemerintahan memang mesti diawasi, dikritik dan dilawan jika memang perlu. Persoalan Rocky mendaratkan pilihan politik yang berseberangan adalah hal lumrah dalam demokrasi, perlu ada pihak yang melakukan oposisi untuk menjaga kesembangan demokrasi.
Pernah suatu ketika Rocky dilapor ke Kepolisian terkait istilah fiksi yang ia lontarkan. Memang Rocky “terpeleset” soal itu, walaupun ia yakin dengan itu. Kitab suci, khususnya Al Qur’an bukan sesuatu yang fiksi, ada juga fakta-fakta lampau yang termaktub dalam kitab suci. Apalagi dalam Al Qur’an berisi ketentuan-ketentuan yang pasti untuk diyakini. Ketentuan termasuk aturan bukan sesuatu yang imajinatif, karena akan dan pasti berlaku. Dalam konteks kewaktuan memang belum terjadi, tapi fakta-fakta historis telah menjadi bagian untuk mengukuhkan ketentuan dan aturan yang berlaku di masa akan datang. Walaupun, hampir semua maklum bahwa kejadian pengucapan “fiksi” ini terjadi di waktu yang telah lama, begitu pun dengan laporan Lapian yang tertanda April 2018, namun yang uniknya pemeriksaan Roger baru dilakukan pada Februari 2019, itupun saat Roger sudah pada puncak “memekakkan” telinga.
Bagi saya pribadi, perayaan kegirangan atas “Rockynisasi” ini mesti direnungkan kembali. Roger sebagai “aktifitas politik” tidak boleh dibiarkan sendirian dan berdiri tunggal. Mesti diproduksi “Roger-roger” yang lain dan berjumlah banyak, dalam rangka menjamin keseimbangan politik di negeri ini. Bukan saja pada periode saat ini, tapi pada setiap periode dan pada setiap skala dan termasuk level.
Yang keliru misalnya jika Roger hanya diversuskan Presiden Jokowi saja, seolah-ola misalnya alamat kesalahan di negeri ini cukup ditujukan pada Presiden Jokowi, pada elit yang lain tidak, atau pada kepala daerah yang memiliki otoritas kekuasaan yang cukup besar malah tidak, walaupun misalnya mengelola negara dengan pola yang timpang, tidak adil, dan jauh dari harapan publik.
Perlu sikap fair juga dalam melihat segala aspek kritik, tanpa kemudian menghilangkan makna dan tujuannya. Agar sikap kritik yang dikembangkan itu bukan dalam maksud “asal bukan”.
Saya berbeda dengan alm. Cornelis Lay yang pada pidato pengukuhan dirinya menjadi Guru Besar Ilmu Politik UGM pada 2019 silam, menyatakan bahwa ada jalan ketiga dimana peran intelektual adalah bersahabat dengan kekuasaan dengan syarat menjaga kewarasan dan akal sehat. Pada konteks itu saya agak berbeda, dalam kondisi yang tidak stabil, perlu juga ada barisan intelektual yang terus berada diluar pemerintahan untuk mengawasi dan melakukan kritik secara terus menerus (day to day critic). Hal tersebut seperti apa yang Roger sedang lakukan saat ini.
Sebagai penutup, merawat akal sehat bukan saja ditafsirkan dengan mengaduk adonan kebijakan bersama pemerintahan, tapi memanggang api semangat kritis juga perlu untuk terus dilakukan dan dirawat.
Bagaimana Gorontalo kita? Tentu kehadiran Roger di Gorontalo perlu kita lihat juga dari perspektif kritis, tidak sekedar asal tepuk tangan. Apakah kemudian akan bisa melahirkan refleksi mengenai sikap kritis terhadap pemerintahan daerah? Atau kemudian bisa membentuk dan menggerakkan jangkar intelektual lokal dalam mengawasi jalannya pemerintahan? Atau hanya menjadi bagian dari skenario elit yang tujuannya menggerakkan “suara kritis” yang pada akhirnya bermuara pada pembajakan demokrasi itu sendiri? Walllahu a’lam. (*)