Cukuplah bahwa rakyat tahu ada pemilihan umum. Rakyat yang memberi suara itu tidak memutuskan apapun. Orang yang menghitung suara itu yang memutuskan segala sesuatu (Lenin: 1870-1924).
Sebercanda itu demokrasi ? jawabannya memang selucu itu. Kita menelan mentah-mentah bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Pertanyaannya adalah rakyat yang mana ? tentu adalah rakyat yang elit dan bukan rakyat yang tidur di kolong jembatan atau rakyat yang punggunnya dibakar mahatahari saat menggarap tanh tuannya. Orang bodoh mana yang rela menderita 5 tahun lamanya hanya untuk merawat rakyat kudisan yang bahkan tidak bisa memberikan kontribusi apapun selain mengharap bantuan sosial ?
Atau siapa yang rela senyum-senyum sendiri ditengah ramainya orang kecuali politisi ? untuk apa ? ya, untuk apalagi kalau bukan supaya dibilang 'merakyat'.
Seorang teman memberi saran agar asumsi liar saya itu baiknya dibuang jauh-jauh, dia menawarkan untuk berfikri positif. Jawaban saya adalah dengan berfikir positif dihal-hal ini tidak akan membuahkan solusi kecuali jadi korban pembunuhan idealitas, toh kita sedang tidak belajar filsafat stoik atau sedang mengamalkan ajaran tasawuf, kita sedang memikirkan demokrasi yang cacat.
Agaknya kita perlu tanggalkan kacamata baca dan ganti dengan kacamata politik. Kacamatan politik yang saya maksudkan adalah politik sekotor-kotor politik yang sementara meradang di negeri yang kaya akan kapitalisasi ini.
Tidak sadar ? kita harus buka mata akan hal yang sementara terjadi ini bukanlah sebuah kebetulan yang tidak sengaja, saya pribadi tidak pernah percaya bahwa semua alasan politis di negeri ini adalah jawaban yang sebenar-benarnya, alias sengaja ditutup-tutupi.
Mari kita bertamasnya kewahana revolusi sejarah, baik revolusi Rusia pada 1917 yang berhasil menumbangkan rezim Tsar Nikolas II atau Revolusi Iran yang menumbangkan Reza Pahlevi atau mari kita lebih dekat ke revolusi para pemuda Indonesia berhasil melahirkan reformasi. Saya tidak ingin memberikan kuliah sejarah untuk pembaca, tetapi jika kita perhatikan bahwa semua revolusi disemua belahan bumi lahir dari keresahan rakyat akibat system yang dijalankan rezim tidak lagi ideal untuk menjalankan roda pemerintahan.
Melihat fakta sosial di negeri kita apakah revolusi adalah sebuah keharusan ? pertanyaan itu sontak mengerutkan dahi seorang teman dan disusul sebuah pertanyaan, apakah rezim kita tidak mampu lagi ? sebelum menjawab pertanyaan visioner itu saya terangkan bahwa sebuah ide untuk melakukan langkah revolusi diakibatkan tidak relevannya sistem pemerintahan yang digunakan oleh rezim sementara kehidupan rakyat yang makin modern dan kompleks tidak dapat dipenuhi oleh sistem yang digunakan rezim. Sebagai contoh tumbangnya Nikolas II bersamaan dengan ideologi Feodalnya diakibatkan rakyat yang ingin mengembangkan tanah dan industrinya namun hal itu dicekik oleh sistem yang diterapkan, inilah yang meledakkan emosi masa kemudian melakukan revolusi. Maka jawabannya adalah harus 'iya' atau mungkin 'tidak'.
Realitas negara dengan segala kemodernan memaksa setiap individu menguasai keterampilan yang sebelumnya tidak pernah ada, kemajuan teknologi yang dulunya menggantikan tenaga hewan, kini perlahan mengganti posisi manusia, maka sudah barang tentu jika kita masih belajar atau mengamalkan pola-pola abad ke-20 maka dipastikan akan tertinggal dan bisa saja mati atau lebih parah lagi dijajah, meskipun beberapa tokoh seperti Rocky Gerung mengatakan kita memang sudah dijajah-lewat fikiran.
Maka untuk menjalankan roda pemerintahan yang sehat dan relevan dengan perkembangan zaman dan kita dapat menepis ketertinggalan, perlunya perubahan baik gerak maupun fikiran, tidak lagi bagaimana membunuh lawan dengan taktik politik, tetapi mengalahkan lawan dengan menguasai keterampilan yang lebih modern.
Saya menyebutnya revolusi paradigma. Ini tidak seperti teori Revolusi Paradigma Thomas S. Kuhn yang mendunia, penulis hanya mencoba mengikuti jejak intelektual tokoh dunia itu. Revolusi paradigma yang saya maksudkan adalah sebuah revolusi tanpa pertumpahan darah, tanpa kamp konsentrasi ala Vladimir Lenin atau penculikan bagi mereka yang melawan. Perubahan cara pandang adalah hal yang fundamental untuk menerapkan revolusi paradigma yang saya maksudkan. Tidak lagi memandang bahwa rakyat adalah sebuah ladang basah untuk memperkaya diri.
Hal yang menjadi sebuah keresahan secara personal—mungkin juga bagi beberapa orang—bagi penulis yakni eksistensi para politisi yang berlomba mendapatkan simpati rakyat dengan janji kehidupan yang lebih baik, tetapi akhirnya tidak bisa memberikan sumbangsi apa-apa selain kekayaan pribadi. Hal itu bukan saja keinginan si politis untuk gagal dalam menjalankan amanah rakyat, tetapi karena memang ketidak kemampuan dalam memimpin ataupun menjadi wakil rakyat.
Tidak ada manusia yang benar-benar memiliki keinginan luhur untuk mengabdikan diri demi memakmurkan orang banyak di zaman ini, kalaupun ada siapa yang benar-benar siap? dicaci, dimaki bahkan difitnah hanya untuk melayani rakyat. Tidak ada.
Jika saja setiap politisi menguasai sebuah masalah yang dihadapi rakyat dan bisa memberikan solusi ideal untuk masalah demokrasi yang cacat ini tentu dialah sang penyelamat demokrasi dimana ekosistem pemerintahan akan dipimpin oleh mereka yang menguasai ekonomi dan teknologi tidak sebaliknya mereka yang memerintah adalah korban hawa nafsu yang haus akan kekuasaan dan tidak akan pernah terpuaskan.