Go-Pena Baner

Tuesday, 17 September, 2024

Refleksi Kemerdekaan RI ke-78, 'Menakar Kebebasan Berekspresi dalam Negeri'

Responsive image
Farhan Moh. Fahrurozi Bonde

Oleh: Farhan Moh. Fahrurozi Bonde, mahasisa Magister IAIN Sultan Amai Gorontalo semester III, Prodi Pendidikan Bahasa Arab

GO-PENA.ID-Diskursus tentang kebebasan berekspresi sebagai salah satu komponen yang manakar indeks demokrasi di Indonesia, merupakan suatu hal yang patut diberikan perhatian. Pasalnya, terdapat beberapa kasus pemidanaan bagi para aktivis serta pekerja-pekerja media belakangan ini. Kebanyakan mereka dijerat dengan pasal pencemaran nama baik melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Misalnya, kasus yang menimpa Haris Azhar, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan Fatiah Maulidiyanty yang didakwa melakukan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinvest), Luhut Binsar Pandjaitan.

Adapula kasus tentang pelaporan Bima Yudho Saputro yang mengkritik pemerintah daerah Lampung di media sosial. Pelaporan tentang penggunaan kata yang dinilai menfandung ujaran kebencian dan penghinaan padan unsur suku agama, ras dan antar golongan, yang hingga viral tersebut, kemudian dilaporkan ke Kepolisian Daerah (Polda) Lampung dengan tuduhan pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tenrang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Kejadian serupa yang berkenaan dengan statement yang disampaikan didepan publik, dengan tumpukan-tumpukan kritik terhadap kinerja pemerintah, yang kalau itu dianggap provokatif, maka akan dicarikan semua pasal yang bisa menjerat seseorang tersebut. Rocky Gerung misalnya, mulai dari pencemaran nama baik, namun karena sifatnya delik aduan, sementara Jokowi sendiri tidak menggubris secara berlebih, maka digeser menjadi penyebaran berita bohong yang termuat dalam pasal 14, 15 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 terkait KUHP, serta laporan-laporan lainnya.

Respon pemerintah dalam hal ini terbilang arogan dalam menanggapi hal-hal yang berbau kritik. Dengan berfokus pada pernyataan-pernyataan yang go public, yang dinilai menimbulkan keonaran serta mengganggu ketertiban bermasyarakat, sementara mengabaikan hal-hal yang bersifat substansial terkait demokrasi serta keutuhan dalam negeri.

Pasca pelaporan Sekjend PDIP, Hasto Kristiyanto, yang menyasar Rocky Gerung terhadap ujaran kebencian yang dinilai menyebarkan berita bohong, menimbulkan fitnah, dan sebagainya, yang menimbulkan sistem pro-kontra dari masyarakat. Terdapat aksi solidaritas membela Rocky Gerung oleh aktivis HMI pada Jum'at, 4 Agustus 2023, di Jalan Cikini Raya, Menteng, Jakarta Pusat. Aksi tersebut jelas menandakan betapa publik sangat menyangkan arogansi partai politik yang menganggap bahwa pernyataan Rocky Gerung tersebut telah menghina kader partai.

Aksi itu dibarengi dengan pembakaran bendera partai politik yang berlogokan banteng tersebut. Atas tindakan para demonstran itu, Badan Bantuan Hukum & Advokasi Rakyat (BBHAR) PDIP melaporkan aksi pembakaran bendera PDIP oleh kader HMI ke Polda Metro Jaya. Kasus ini pun menimbulkan pro-kontra dikalangan masyarakat. Ada yang menyayangkan tindakan demonstrasi tersebut, ada pula yang mengiyakan bahkan mengecam arogansi partai politik terhadap kasus ini.

Proses demonstrasi yang berujung pada pembakaran bendera partai politik tersebut tidak semata-mata menampilkan ketidaksenangan terhadap partai penguasa itu, melainkan karena adanya rentetan peristiwa yang mempengaruhi proses jalannya keharmonisan berdemokrasi. Tidakkah partai penguasa tersebut menyadari bahwa betapa masyarakat teramat muak dengan tindakan-tindakan yang mengatasnamakan ketertiban masyarakat demokrasi tersebut? Bukankah keonaran dan kegaduhan masyarakat lahir dari arogansi-arogansi semacam ini?

Terdapat banyak kasus yang berkenaan dengan kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, dan lain sejenisnya. Kejadian-kejadian tersebut, bergulir dari waktu ke waktu mempengaruhi persepsi masyarakat publik tentang kinerja pemerintah.

Dari kejadian-kejadian tersebut, publik dapat menilai gejolak politik atau keamanan, terutama dalam menangani kasus yang berkenaan dengan kebebasan berekspresi. Tidakkah inu mempengaruhi indeks demokrasi dalam negeri?

Indeks Demokrasi Indonesia

Dari beberap survei menunjukkan bahwa indeks demokrasi Indonesia cenderung menurun. Kepalan Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri (BKSDN) Kemendageri menyatakan bahwa pada februari 2023, indeks demokrasi di Indonesia mencatat skor 6.71. Hal ini disampaikan oleh sekretaris Kurniasih dalam Forum Diskusi Faktual Pemenuhan Hak Pilih Kelompok Rentan pada Pemilu Serentak 2024 secara virtual, Senin (21/2/2023).

Sejak tahun 2022 sebagaimana data yang disusun oleh The Economist Intelligence Unit menyebutkan skor Indonesia 6.71. Untuk aspek kebebasan sipil, 6.18. Nilai tersebut menunjukkan bahwa baik total keseluruhan maupun kebebasan sipil yang diraih terbilang stagnan, persis pada tahun 2021. Hal ini menandakan bahwa peringkat demokrasi di Indonesia pada tataran global menurun, dari peringkat 52 menjadi 54 dengan kategori negara cacat demokrasi (Flawed Democracy).

Melihat data-data tersebut diatas, menurunkan apresiasi masyarakat terhadap pemerintah yang menjamin kebebasan berpendapat, sebagaimana pasal 28E ayat 3 Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945. Atas kasus yang bergulir secara terus-menerus dengan jeratan yang sama telah menimbulkan persepsi masyarakat publik akan kekhawatiran bahkan ketakutan dalam menyuarakan pendapat yang dianggap benar.

Belakangan ini, dimana media senantiasa mengabadikan respon pemerintah serta Aparat Penegak Hukum (APH) yang berkenaan dengan pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong, kritik personal, dan yang lain sebagainya, yang dalam fokus tersebut, ada beberapa kasus yang tidak lagi menjadi perhatian bagi masyarakat. Entah, niatannya ingin menyelesaikannya secara satu per satu, atau memang hendak menenggelamkan kasus tersebut? Padahal, jelas-jelas kasus suap Harun Masiku lebih merugikan rakyat Indonesia, ketimbangan kasus-kasus di atas sebelumnya.

Kalaupun pemerintah benar-benar hendak menciptakan ketertiban bernegara, maka seyogyanya pemerintah fokus menindaklanjuti kasus dalam negeri, berupa kasus suap Harun Masiku, ataupun kasasi terhadap pelaku pembunuhan alm. Brigadir J. Kasus yang demikian ini jelas-jelas mengganggu stabilitas demokrasi.

Pemerintah serta Aparat Penegak Hukum (APH) kali ini lebih serius menanggapi hal-hal yang oleh pemerintah dianggap sebagai penyebab adanya kericuhan ditengah masyarakat. Yang demikian itu sejatinya mencidrai hak dan kewajiban masyarakat dalam bertparistisapi serta turut menjaga kestabilan bernegara yang demokratis.

Pada akhirnya, masyarakat cenderung abai terhadap kasus suap Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2019-2024, yang menyasar pada Harun Masiku sebagai kader PDIP yang diduga menyuap Komisoner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Wahyu Setiawan, untuk menetapkannya sebagai anggota DPR RI Dapil I Sumatera Selatan, pasca sepeninggal-dunianya anggota legislatif terpilih, Nazaruddin Kiemas. Harun Masiku yang menduduki urutan keeanam malah diajukan sebagai pengganti alm. Nazaruddin Kiemas, yang ternyata pengajuan tersebut meliputi agenda penyuapan sebesar Rp 600 juta.

Penetapan tersangka 9 Januari 2020 dalam kasus ini yang juga melibatkan 3 orang lainnya, dan ketiganya sudah lebih dulu ditahan KPK. Sementara, Harun Masiku tidak diketahui keberadaannya pada saat itu. Dilansir dari Liputan6.com, Rabu (9/8/2023), menyebutkan bahwa setelah dikabarkan berada di Kamboja, Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri, Irjen Krishna Murti mengungkap keberasaan buronan KPK tersebut berada di Indonesia. Seharusnya, jika benar Harun Masiku berada di indonesia maka sudah dengan mudah ditangkap. Sebab, oleh Yudi Purnomo, sebagai mantan penyidik KPK mengatakan bahwa status buron selama 3.5 tahun sudah diluar batas kewajaran.

Kasus yang merugikan rakyat semacam ini selayaknya menjadi fokus perhatian untuk diseriusi, sebab ini menyangkut sistem keadilan dalam bernegara. Ataupun misalnya, putusan majelis kasasi Mahkamah Agung (MA) yang menganulir vonis terdakwa Ferdy Sambo atas kasus pembunuhan berencana, dari hukuman mati menjadi seumur hidup. Kemudian juga keterlibatan lainnya yang vonis mendekap dipenjaran dengan masing-masing jumlah masa tahanannya, yang kemudian disunat atau memperoleh pengurangan jumlah masa tahanan.

Peristiwa-peristiwa tersebut, seyogyanya diberikan perhatian berlebih, bukan sekadar mengurusi hal-hal yang menyangkut harga diri pribadi, kelompok, atau yang dianggap menimbulkan kegaduhan terhadap masyarakat. Masyarakat mana yang gaudh terhadap pernyataan-penyataan di atas tadi? Terlalu banyak kejadian yang lebih memprihatinkan dibanding urusan-urusan yang mengatasnamakan harkat, martabat, atau bahkan keonaran yang entah dalam bentuk apa itu.

Demokrasi dalam Pusaran Arus Politik

Menyambut kemerdekaan Republik Indonesia ke-78, hendaknya seluruh komponen bangsa dan negara berbondong-bondong merajut kesatuan serta kebersamaan mempertahankan keutuhan bernegara.

Menelisik sejarah, sejak mendirikan negara Indonesia, muncul perdebatan terkait sistem ketatanegaraan seperti apa yang hendaknya mewakili seluruh rakyat Indonesia, oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Forum tersebut melahirkan perjanjian atau kesepakatan hasil sistem ketatanegaraan yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berparlemen, dan demokrasi perwakilan.

Kesepakatan ini merupakan bentuk ijtihad para pejuang kemerdekaan, the founding fathers, serta ulama-ulama Indonesia yang patut dipertahankan sampai detik ini. Sebab Indonesia merupakan negara demokrasi, maka perlu diadakan pemilihan umum (Pemilu). Berdasarkan hal itu, pemerintah mengeluarkan maklumat Wakil Presiden pada tanggal 3 November 1945, yang mempersilahkan rakyat Indonesia untjk membentuk partai-parta politik untuk menyalurkan aspirasi masyarakat.

Lepas Pemilu tahun 1955, terbentuklah lembaga negara Konstituante untuk meremuskan konstitusi baru atas pertimbangan-pertimbangan kesepakatan sebelumnya yang berkenaan dengan pancasila dan piagam jakarta. Maka timbullah perdebatan -mulai dari bulan maret 56 hingga bulan juli 59, tentang perubahan ideologi yang menimbulkan krisis politik bangsa Indonesia, serta tidak menimbulkan kesepakatan final. Dari situ, keluarlah dekrit presiden tentang pembubaran Konstituante, serta mengembalikan kesemuaanya pada Undang-Undang Dasar 1945.

Berdasarkan hal tersebut, Presiden, dalam hal ini Soekarno, dianggap melanggar konstitusi,hingga ia dijatuhkan pada tahun 1966, dimana partai politik sebagai hasil pemilu malah dibubarkan, dan yang berhak memberlakukan Undang-Undang Dasar ialah konstituante, bukan seoeang Presiden. Pertentangan ideologi semacam ini terus-terusan berdenyut kencang. Bahkan Bung Karno pernah mengatakan bahwa yang merusak Indonesia adalah maklumat Wakil Presiden yang menyeru pembentukan partai politik.

Benar saja, pada masa ini, dominansi partai politik tidak jarang mengangkangi pemangku kekuasaan yang merupakan utusan dari partai-partai politik. Misalnya, Kode-kode yang disampaikan oleh Ketua Umum PDIP kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang beberapa media menganggap hal itu merupakan sindiran terhadap Jokowi. Tidakkah hal tersebut menandakan betapa kekuatan partai politik lebih mendominasi dari pada pemangku kekuasaan itu sendiri?

Petanyaannya kemudian, adakah pembentukan partai politik selaras dengan apa yang dicita-citakan oleh Wakil Presiden pertama RI? Bukankah tindakan partai penguasa seperti yang disebutkan diatas tadi merupakan tindakan penghakiman terhadap masyarakat? Bukannya sistem politik di Indonesia malah menciptakan jarak yang berarti antara elit kekuasaan dengan masyarakat yang menerima dampak dari kekuasaan tersebut? Seolah masyarakat berada pada titik terendah dan tidak berdaya dalam mempersoalkan kebijakan-kebijakan yang ada.

Hal semacam ini sangat disayangkan terjadi dalam sistem bernegara yang demokrasi. Mengingat, fungsi partai politik terhadap negara antara lain adalah menciptakan pemerintahan yang efektif dan adanya partisipasi politik terhadap pemerintahan yang berkuasa. Bukan dalam taraf mengintervensi atau bahkan memdominasinya. Sehingga, merupakan kewajiban partai politik dalam mengusung figur yang mampu bertanggung jawab atas kestabilan masyarakat dalam berkehidupan, berbangsa dan bernegara.

Kemudian, dalam menanggapi kasus-kasus yang sering menjerat masyarakat tentang pencemaran nama baik dan sejenisnya. Pemerintah maupun APH sepatutnya tidak seenak jidat menjerat masyarakat atas perlakuan-perlakuan mereka dengan mencarikan pasal-pasal yang berkenaan dengannya. Haruslah benar-benar dimaknai komponen-komponen sebagai motif yang melatarbelakangi hal tersebut, tanpa mengabaikan konteksnya.

Terkait pembahasan di atas tadi, perlu diketahui bahwa dalam semua hal, pemaknaan terhadap konteks teramat penting untuk mencapai makna yang sesungguhnya. Pemahaman terhadap konteks merupakan syarat dalam studi hermeneutik, agar si pembaca teks (reader) bisa memahami kesemuan teks, baik itu peristiwa, tindakan, bahkan pernyataan, dalam memperoleh makna yang sebenar-benarnya. Sehingga, dengan pemaknaan yang demikian, tidak ada kesewenang-wenangan dalam menjerat seseorang, yang mungkin saja sekadar bermodalkan ketidaksukaan, atau bahkan kebencian terhadap masyarakat yang mengkritik, yang dinilai dapat meretakkan kelanggengan Status Quo.

Fenomena belakangan ini perlu dijadikan bahan renungan sebagai upaya reflektif terhadap perbaikan kondisi dalam negeri. Sebab, jika terus-terusan seperti ini, maka problematika dalam negeri enggan untuk terselesaikan, melainkan hanya menimbulkan kebencian demi kebencian yang berlarut-larut. Jangan sekali-sekali muncul pelarangan atau bahkan menampilkan arogansi terhadap masyarakat yang merasa dirugikan atas kebijakan-kebijakan pemerintah, kerana kritik masyarakat diajukan dalam bentuk memperbaiki tatanan kebijakan public policy yang dalam beberapa hal dirasa sangat merugikan masyarakat.

Editor: Fanridhal


Share