Oleh : M. Amier Arham (Ekonom Fakultas Ekonomi UNG)
Pasca pandemi covid rata-rata pertumbuhan ekonomi secara nasional telah mengalami recovery, tumbuh rata-rata 5 persen setiap tahun seperti capaian sebelumnya. Berbeda halnya keadaan pertumbuhan ekonomi di daerah belum rebound seperti tahun 2019, kecuali provinsi yang mengandalkan sektor industri pengolahan tetap tumbuh signifikan. Provinsi Gorontalo sebelum pandemi covid tumbuh rata-rata 6,5 persen, saat ini berada dikisaran 4 – 4,5 persen, bahkan di tahun 2024 mengalami perlambatan 4,13 persen dibanding tahun 2023 sebesar 4,50 persen. Perlambatan ini dipicu oleh kinerja sektor-sektor penunjang utama pembentukan PDRB, seperti sektor pertanian menurun dari 4,19 di tahun 2023 menjadi 3,11 di tahun 2024, sektor perdagangan di tahun sebelumnya tumbuh sebesar 9,88 persen menurun 7,48 persen di tahun 2024.
Sedangkan dari sisi pengeluaran, komponen konsumsi rumah tangga melambat, demikan halnya konsumsi (belanja) pemerintah sumbangannya dalam pembentukan ekonomi menurun. Gejala ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat merosot, sehingga berdampak terhadap kegiatan perdagangan (demand), padahal konsumsi rumah tangga menyumbang rata-rata 60 persen tiap tahun terhadap pembentukan PDRB. Pada tahun 2024 gelontoran belanja pemerintah lewat bantuan sosial telah mengalir deras menjelang Pemilu, serta kegiatan kepemiluan sejatinya memberikan efek konsumsi, namun faktualnya berbeda. Sehingga belanja sosial efek elektoralnya lebih menonjol ketimbang mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah. Atas fenomena tersebut gelontoran belanja sosial tidak dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, hanya untuk menolong kelompok rentan.
Menurut hemat saya belanja bantuan sosial non pangan perlu dipertimbagkan dinaikkan untuk mengerek konsumsi (permintaan agregat), tetapi belanja sosial tidak dalam kerangka melahirkan free rider dari kaum politisi dengan mengharapkan efek elektoral. Teori Keynes menjelaskan bahwa permintaan agregat diukur sebagai jumlah pengeluaran rumah tangga, bisnis (swasta) dan pemerintah menjadi kekuatan pendorong perekonomian. Karenanya pengeluaran pemerintah diharapkan yang memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan perkapita sehingga secara simultan menambah konsumsi, serta dapat menjalankan fungsi alokatifnya agar efisiensi dan efektifitas perekonomian tercipta. Apalagi pengeluaran swasta (investasi) masih terbatas, hanya saja kendalanya pengeluaran pemerintah daerah lebih besar untuk belanja pegawai.
Tanpa dilakukan reformasi struktural dan perbaikan belanja kecenderungan perekonomian daerah akan tetap melambat, apalagi kebijakan fiskal yang dijalankan pemerintah saat ini melakukan efisiensi anggaran (tepatnya realokasi anggaran dari belanja rutin dan belanja modal). Transfer ke daerah dipangkas mencapai 50 persen, padahal pada umumnya daerah sangat bergantung terhadap dana transfer, kegiatan dunia usaha (swasta) berharap banyak dari sektor konstruksi. Setali tiga uang sektor jasa-jasapun selama ini di-drive oleh kegiatan pemerintah, misalnya kegiatan di hotel dan jasa transportasi penggunanya adalah para aparat pemerintah yang dominan. Apalagi daerah seperti Gorontalo belum menjadi tujuan destinasi wisata, maka sektor yang terkait kepariwisataan dan transportasi akan terpukul, sehingga hal tersebut akan menambah tekanan ekonomi daerah. Survei dari PHRI menyebutkan bahwa penghematan anggaran yang mengikis aktivitas di perhotelan sekitar 88 % pelaku usaha mempertimbangkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Okupansi hotel terus turun hingga menyamai periode covid-19 yang hanya mencapai 20 %.
Efisiensi anggaran yang dijalankan pemerintah memang diperlukan pada pos-pos tertentu, tetapi idealnya dilakukan secara parsial sesuai data lokasi aktual dan tidak menggunakan ukuran yang sama (nasional) dengan kondisi daerah yang berbeda. Dengan tanpa melakukan efisiensi anggaran, pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan, sehingga pada tahun 2025 diyakini perlambatan ekonomi akan berlanjut, kendati pada Triwulan pertama (TW I) kemungkinan tetap tumbuh positif karena momen hari raya biasanya akan menjadi penggerak pertumbuhan akibat meningkatnya permintaan (konsumsi rumah tangga), apalagi sebagian penduduk mendapatkan THR. Pasca lebaran tentu akan berbeda situasinya, siklus belanja pemerintah pada Triwulan kedua (TW II) biasanya cenderung meningkat dibanding TW I untuk menggerakkan roda perekonomian, hanya saja saat ini belanja pemerintah terbatas maka potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi mulai akan terasa. Apalagi realokasi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah dengan memprioritaskan program MBG, serta suntikan modal ke super holding Danantara, kemungkinan efeknya kecil bagi daerah sepanjang tidak menggunakan bahan lokal segar.
Program MBG sebetulnya sudah banyak negara yang menjalankan, cukup baik untuk mempersiapkan SDM berkualitas, namun program MBG di Indonesia kurang tepat sasaran. Dikarenakan tujuan utama dari program ini adalah perbaikan gizi bagi anak usia sekolah, mengatasi stunting, sementara semua kelompok disasar tanpa pengecualian (tantiem, tidak memiliki standar yang tetap), ini berbeda dengan bantuan pemerintah lainnya kelompok sasaran memiliki kriteria penerima. Pada pelaksanaannya pun tidak melibatkan pelaku usaha yang selama ini sangat bergantung ekonominya pada usaha catering dan kantin sekolah. Mereka ini potensi kehilangan pekerjaan, pada akhirnya menghadapi tekanan ekonomi sehingga menambah angka kemiskinan, kendati pemerintah meyakini bahwa program MBG dapat mengatasi kemiskinan. Namun gejala itu dapat saja kontra aktual dalam implementasinya, penyebabnya antara lain; pelaksananya tidak melibatkan usaha kecil, kesiapan infrastruktur pelaksanan masih terbatas dan terpusat di perkotaan, institusi yang menjalankan di daerah kurang jelas, idealnya ini melekat di Dinas Kesehatan karena mereka punya jangkauan sampai ke bawah (Puskesmas dan Puskesmas Pembantu) dan Dinas Pangan. Sementara untuk daerah 3T atau perdesaan dengan melibatkan secara optimal TNI/Polri, paralel dengan penugasan TNI memperkuat ketahanan pangan karena masyarakat di daerah ini sangat rentan terhadap gizi buruk dan stunting,
Sejalan dengan itu program MBG diyakini oleh pemerintah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, namun dalam simulasi Dewan Ekonomi Nasional (DEN), program MBG efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi sangat kecil tidak sampai 1 persen. Sementara dana digelontorkan untuk program tersebut mencapai Rp. 171 triliun, linkage-nya ke sektor-sektor lain terbatas, seperti ke sektor jasa-jasa. Program MBG ini sejatinya dilakukan secara bertahap, terutama diprioritaskan pada daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi, namun uji coba yang dilakukan lebih fokus di perkotaan kebanyakan dari mereka yang mendapat manfaat adalah anak-anak dengan orang tua memiliki kemampuan ekonomi.
Menggeser anggaran ke program tertentu dengan pelaksanaannya dijalankan secara sentralistik tidak melibatkan secara optimal tangan pemda, maka fungsi distributif tidak berjalan. Meskipun fungsi distribusi untuk pengadaan barang publik (baca pembagian makanana gratis) masih menjadi perdebatan dikalangan para ekonom, apakah sebaiknya penyediaan barang publik dilaksanakan oleh pemerintah pusat atau didesentralisasikan?. Dengan mendiskusikan tentang kelemahan dan kekuatan dari masing-masing sistem, terpusat atau didaerahkan, maka Oates (1999) beranggapan bahwa yang paling baik fungsi distributif dijalankan oleh sistem desentralisasi.
Program MBG dengan menyasar semua kelompok rumah tangga tanpa melakukan diferensiasi, fungsi distribusi dari anggaran pemerintah berpotensi tidak menciptakan dimensi pemerataan. Padahal adanya diferensiasi sasaran program, anggaran akan lebih efisien untuk dialokasikan ke sektor-sektor yang dapat menjadi prime mover pertumbuhan ekonomi jangka pendek, misalnya pembangunan infrastruktur dasar di daerah, industri pengolahan atau pengembangan UMKM. Fungsi distribusi anggaran yang tidak berjalan optimal dengan fokus pada program tertentu justru akan melahirkan Pareto optimum, dimana kondisi ketika satu pihak mendapatkan keuntungan (manfaat), namun pihak lain akan mendapatkan kerugian dalam transaksi yang sama, misalnya alokasi anggaran program MBG yang jumbo akan mengorbankan program lain yang dapat menggerakkan roda ekonomi yang lebih kencang. Jika skema ini tidak diubah, potensi perlambatan ekonomi akan berlanjut, pemerintah daerah perlu mengantisipasi dengan mengoptimalkan anggaran yang ada, dengan cara melakukan intensifikasi pajak daerah. Sembari menunggu kesediaan pemerintah mendengar masukan pentingnya perbaikan sasaran, tidak mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Sampai hari ini saya masih percaya Okun’s Law, pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan negatif dengan tingkat pengangguran, dan sebaliknya jika terjadi kenaikan tingkat pengangguran menyebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi. Sayangnya kepala Bappenas meyakini bahwa MBG lebih penting daripada membuka lapangan kerja. Jika seseorang bagian penting dari pengambil kebijakan dengan menggunakan kacamata kuda dalam eksekusi kebijakan, tidak salah kemudian kalau muncul sarkasme dari publik, ---anak-anaknya kenyang, orang tuanya kelaparan---.