Program Makan Bergizi Gratis (MBG) resmi diluncurkan Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Ridwan Rakabuming Raka serentak pada 6 Januari 2025. Program MBG merupakan salah satu dari delapan Asta cita untuk menyongsong Indonesia Emas 2045.
Tujuan utamanya Program MBG ialah mengurangi angka malnutrisi dan stunting yang menjadi masalah paling serius di negeri ini, khusus bagi kelompok rentan.
Program ini pun bertujuan memastikan bahwa kebutuhan gizi harian masyarakat, terutama di kalangan anak-anak dan ibu, dapat tercukupi dengan baik sesuai dengan standar Angka Kecukupan Gizi (AKG).
Namun, program MBG tersebut dinilai mengesampingkan sejumlah aspek mulai dari aspek hukum, aspek teologis, dan aspek sosio-antropologi.
Akademisi Universitas Negeri Gorontalo, Funco Tanipu dalam Seminar Nasional dalam ranglka Hari Gizi ke 65 Tahun 2025 menyebut bahwa dasar hukum Program MBG masih bersifat umum dan belum diterjemahkan kedalam peraturan teknis.
Landasan hukum program MBG yang dimaksud masig bersifat makro dan terkesan umum. Landasan MBG masih menggunakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar kunci. Lalu diterjemahkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional. Padahal Perpres tersebut hanya dikhususkan untuk membentuk Badan Gizi. Pada Perpres pun, kata Funco, tidak disebutkan kata “gratis”, namun hanya dasar pembentukan kelembagaan Badan Gizi Nasional semata. Menurutnya, bahwa pada kedua dasar tersebut, khususnya UUD 1945 hanya menyebut kekuasaan Presiden, dan diterjemahkan dalam pembentukan Badan Gizi Nasional.
“Jadi kedua dasar tersebut menjadi landasan Program MBG hingga tanggal 10 Februari 2025, dan nanti pada 10 Februari 2025 barulah diterbitkan Perpres RPJMN sebagai dasar program MBG, itupun masih bersifat umum karena harus diterjemahkan lagi dalam dokumen perencanaan yang lebih teknis untuk panduan K/L dan dokumen perencanaan Pemda”, papar Funco.
Funco juga menyebutkan ada aspek teologis yang diabaikan dalam program MBG. Padahal, konteks makan dan makanan dalam agama sangat penting, khususnya bagi kalangan umat Islam yang sangat menuntut kehalalan makanan.
Funco menyampaikan bahwa pada aspek sosio-historis pra-Islam misalnya, saat itu Ka’bah yang dikelola Qushay bin Kilab (leluhur dari Nabi Muhammad SAW), Mekkah makin mencorong. Qushay melakukan banyak perubahan pada sistem pengelolaan Kakbah. Leluhur Nabi Muhammad SAW ini dikenal sebagai Bapak Pembangunan Kota Mekkah. Pada masanya, pengelola Kakbah menyiapkan makan gratis pada para peziarah Kakbah. (Tahun 400 an M). Hal ini bisa dijadikan dasar untuk menelusuri secara historis bagaimana program makan gratis di era pra Islam dan Islam sehingga dasar program MBG menjadi lebih kuat.
Dalam seminar nasional dalam rangka hari gizi tersebut, Funco telah menelusuri betapa banyak pijakan teologis yang bisa dijadikan dasar teologis program MBG seperti beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang berkaitan tentang makanan dan distribusinya yakni “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridha'an Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kalian maupun ucapan terima kasih. (Al-Insan ayat 8-9).
Dalam surat Al-Maun ayat 1-3 pun telah disebut tentang orang yang mendustakan agama. Yakni orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Begitu pula dalam surat Al-Imran ayat 92 yang berbunyi “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan (mempersembahkan) sesuatu yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Ada pula beberapa hadis Nabi yang berkaitan erat dengan program MBG seperti dalam HR.Bukhari, No. 6236 yang menyebutkan bahwa orang terbaik di antara kalian adalah yang memberikan makanan kepada orang lain dan menyebarkan salam. Ada juga hadis lain yang menyatakan bahwa pernah suatu ketika seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Islam bagaimanakah yang baik?” Beliau menjawab, “Kamu memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan orang yang tidak kamu kenal.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada hadis lain (HR. Ibnu Majah dan Ahmad; shahih), Nabi pernah menyampaikan bahwa ; “Sebarkan salam/kedamaian, berilah makanan, sambunglah silaturahim, sholatlah di malam hari ketika orang lain sedang tidur, niscaya kalian masuk surga dengan penuh keselamatan."
Demikian pula dalam kitab Fathul Bari karya Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani, dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW kerap mengutamakan kebutuhan mereka (kaum miskin) meskipun beliau sendiri hidup dalam kesederhanaan.
“Jadi, tradisi memberikan makanan bergizi secara gratis di baik di masa pra Islam di era leluhur Nabi hingga masa Rasulullah SAW bukan sekadar amal, melainkan manifestasi dari ajaran Islam yang mengedepankan kesejahteraan bersama. Teladan ini relevan untuk diikuti di masa kini, terutama dalam membangun masyarakat yang lebih peduli dan inklusif”, terang Funco.
Dengan semangat berbagi, lanjut Funco, kita tidak hanya membantu sesama, tetapi juga meneladani sunnah Rasulullah yang mulia. Pada masa Nabi dan para sahabat, pemberian makanan dilakukan secara langsung oleh individu atau komunitas kecil dengan motivasi spiritual.
“Tidak ada sistem birokrasi atau program terstruktur; segala sesuatu didasarkan pada rasa tanggung jawab pribadi dan kolektif. Misalnya, Nabi dan para sahabat memberikan makanan kepada siapa saja yang membutuhkan, tanpa memandang latar belakang sosial atau politik”, katanya.
Bagi Funco, jika dasar teologis yang menjadi dasar program MBG, maka program ini tentunya akan mengundang partisipasi dari seluruh umat, hingga tidak akan membebani anggaran negara. Semua umat Islam pun merasa bertanggung jawab untuk menyukseskan program ini.
Selain aspek hukum dan teologis yang dikritisi, Funco mengatakan bahwa dari aspek sosio-antropologis, kegiatan makan seringkali dianggap sebagai kegiatan pemenuhan kebutuhan dasar semata, padahal dari sudut kajian antropologi, kegiatan makan merupakan suatu bagian dari tujuh unsur kebudayaan.
Tujuh unsur kebudayaan itu kata Funco, ada unsur bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian hidup dan ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religius, dan kesenian.
“Dari unsur Bahasa, misalnya; penyeragaman bahasa MBG dalam pelaksanaan telah menihilkan unsur bahasa daerah pada makanan lokal. Misalnya iloni, gudeg, rendang, coto, dsb”, paparnya.
Sementara, unsur sistem teknologi, cara memasak makanan pada program MBG dengan menggunakan dapur umum telah menihilkan unsur sistem teknologi lokal dalam memasak.
“Belum lagi pada unsur sistem mata pencaharian hidup dan ekonomi, MBG telah meniadakan kehadiran kantin-kantin di seputar sekolah dan mematikan ekonomi lokal”, paparnya.
Pada unsur organisasi sosial, pelaksanaan Program MBG yang hirarkis menggunakan perangkat negara telah menihilkan organisasi dan sistem sosial seperti huyula, guyub dan gotong royong termasuk organisasi ibu-ibu di setiap desa.
“Nah pada sistem pengetahuan, MBG cenderung menyeragamkan mengenai makan dan pola makan, sehingga kearifan lokal makanan bisa hilang dan dilupakan generasi masa akan datang.
Sementara, unsur religious ; Program MBG terkesan menyalahi unsur religius sebagaimana makan bergizi dan gratis seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW.
“Padahal dalam Pasal 49 ayat 1 (g) dalam UU No 7 Tahun 1996 menyebutkan bahwa Pemerintah melakukan pembinaan untuk mendorong dan meningkatkan kegiatan penganekaragaman pangan yang dikonsumsi masyarakat serta pemantapan mutu pangan tradisional. Termasuk pada pasal 20 dan 63 menyangkut pelestarian makanan tradisional”, tandas Funco.
Hilangnya Kearifan Lokal Gorontalo Akibat Program MBG
Program MBG yang telah digulirkan pun dinilai menghilangkan kebudayaan lokal. Di Gorontalo sendiri, kata Funco ada istilah Depita (sistem antar – mengantar makanan bagi yang kesulitan makanan), Bilohe (sistem yang dapat memantau dan mengawasi dalam jika ada yang kekurangan makanan), Dudula (sistem saling mendekati pada kerabat atau tetangga yang kesusahan), Huyula (sistem saling membantu dalam pekerjaan bersama di kampong), Tolianga (sistem saling sayang menyayangi dalam masyarakat), Pongorasa (sistem merasa atau peduli atas kesulitan bersama dalam Masyarakat), Heeluma (kesepakatan bersama dalam mendirikan organisasi yang dapat mendatangkan keuntungan bersama, seperti perdagangan maupun melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan), dan Himbunga (berhimpun saat mengerjakan sesuatu, misalnya, memasak bersama jika ada kegiatan atau perayaan di kampung)
Menurut Funco, bahwa ruh dan filosofi Program MBG harus berdasarkan pada kasih sayang dan kepedulian, bukan sekedar menjalankan program pemenuhan aspek gizi dan biologis manusia. Spirit agama, kata Funco, mesti dijadikan landasan dalam Program MBG agar nilai keberkahan dalam makan dan makanan hadir.
Lebih lanjut, ia mengatakan, bahwa penyeragaman makanan, pola masak dan distribusi hingga membangun hirarki program MBG secara struktural berakibat pada hilangnya nilai kultural yang berbasis pada kebudayaan daerah yang dapat menyebabkan hilangnya identitas daerah.
Apa Yang Harus Dilakukan Presiden?
Saat ini, ada tiga model kelembagaan organisasi yang menjadi kerangka kerja program MBG yakni model swakelola oleh Badan Gizi Nasional, model kerjasama institusi kementrian dan lembaga dan model Kerjasama dengan pihak swasta/pihak ketiga. Model ini dinilai Funco dapat meniadakan struktur organisasi paguyuban di tiap daerah (desa) sehingga menyebabkan nilai-nilai kebudayaan hilang dan rusaknya struktur kebudayaan lokal.
Saya menyarankan kepada Presiden Prabowo Subianto agar ada model alternatif harus dihadirkan, yakni model keempat dengan skema MBG yang berbasis partisipasi masyarakat, yang memberikan ruang pada inovasi masyarakat baik pada pengelolaan menu, keragaman sumber makanan, hingga pembiyaaan.
“Tiga model MBG dengan skema pembiyaan dari yang awalnya hanya 71 Triliun dan diprediksi akan menghabiskan 171 Triliun pada tahun 2025 telah berdampak pada pemangkasan kebutuhan belanja dari APBN hingga APBD dengan diterbitkannya Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi. Tetapi jika model alternatif 4 dengan skema partisipatif yang berbasis pada kearifan lokal, maka bisa menghemat anggaran untuk MBG”, tutup Funco.
Karena hal tersebut diatas, maka Funco memberi masukan kepada Presiden agar segera mengevaluasi kembali secara komprehensif perencanaan, pelaksanaan dan pembiyaan MBG, jika tidak Presiden bisa saja pada suatu kondisi akan sulit melaksanakan program ini. Imbasnya, rakyat akan tidak percaya pada Presiden.(*)