Tingginya angka dispensasi nikah di bawah umur yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo menjadi sorotan serius dari kalangan akademisi. Sosiolog Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Dr. Funco Tanipu, menilai fenomena ini bukan sekadar persoalan hukum, melainkan mencerminkan persoalan sosial yang kompleks di masyarakat.
Menurut data terbaru dari Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo, jumlah permohonan dispensasi nikah anak terus mengalami peningkatan dalam dua tahun terakhir. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan normalisasi pernikahan dini yang dianggap wajar oleh sebagian masyarakat.
"Fenomena ini menunjukkan bahwa pernikahan di usia dini telah mengalami semacam pembenaran sosial. Ada anggapan bahwa pernikahan menjadi solusi dari berbagai persoalan, seperti kehamilan di luar nikah atau tekanan ekonomi, padahal ini justru membuka risiko baru dalam kehidupan rumah tangga," ujar Dr. Funco Tanipu, Senin (11/8).
Ia menyoroti minimnya peran orang tua dalam pengawasan dan pendidikan anak, serta hambatan dalam akses pendidikan dan kondisi ekonomi keluarga sebagai faktor utama yang mendorong pernikahan usia dini.
“Dispensasi nikah bukan hanya soal legalitas di atas kertas. Ada dampak sosial jangka panjang yang perlu dicermati, mulai dari tingginya risiko perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, hingga putusnya rantai pendidikan anak,” tegasnya.
Dr. Funco juga menilai bahwa implementasi hukum di tingkat lokal belum sepenuhnya menyentuh akar persoalan. Dispensasi yang seharusnya menjadi pengecualian justru kerap menjadi jalan keluar instan yang dilegalkan.
Sebagai solusi, Dr. Funco mendorong perlunya langkah terintegrasi dari berbagai pihak. Pemerintah pusat, katanya, harus memperketat regulasi dispensasi nikah dan memperluas pendidikan seksual di tingkat SMP dan SMA sebagai upaya preventif sejak dini.
"Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi sangat penting diberikan kepada remaja agar mereka mampu membuat keputusan yang tepat dalam hidupnya, bukan hanya karena tekanan sosial atau ekonomi," jelasnya.
Selain itu, ia juga mendorong Pemerintah Daerah (Pemda) untuk menggerakkan program pencegahan pernikahan dini berbasis komunitas, yang melibatkan tokoh agama, tokoh adat, dan organisasi masyarakat.
"Pengadilan Agama juga perlu memperketat proses persetujuan dispensasi. Tidak semua permohonan harus dikabulkan. Harus ada kajian menyeluruh terhadap kesiapan psikologis dan sosial anak," tambahnya.
Tak kalah penting, Dr. Funco menekankan perlunya program parenting bagi masyarakat, khususnya di daerah-daerah dengan angka dispensasi tinggi. Menurutnya, orang tua perlu dibekali pemahaman mengenai pentingnya peran keluarga dalam mendampingi tumbuh kembang anak, terutama dalam menghadapi masa remaja.
"Jika kita hanya melihat ini dari kacamata hukum, kita akan gagal melihat akar persoalannya. Pernikahan dini adalah persoalan sosial, dan solusinya juga harus sosial—melibatkan keluarga, sekolah, komunitas, dan negara," pungkasnya.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo mencatat sejak Januari hingga Agustus 2025, terlampir 347 kasus dispensasi nikah di enam kabupaten/kota.
Panitera Muda Banding PTA Gorontalo, Taufik Hasan Ngadi, menjelaskan bahwa meningkatnya permohonan ini berkaitan erat dengan faktor ekonomi, sosial, serta minimnya pengawasan orang tua terhadap pergaulan anak-anak. Menurutnya, sebagian besar pengajuan dilakukan oleh remaja yang masih di bawah umur.
"Masa SMP dan SMA itu rawan, banyak kasus baru terungkap saat keadaan sudah mendesak, termasuk yang melibatkan kehamilan di luar nikah," jelasnya pada Rabu (6/8/2025).
Sementara itu, data PTA Gorontalo menunjukkan, Kabupaten Gorontalo menjadi daerah dengan jumlah kasus tertinggi, (84 kasus), disusul Bone Bolango (80 kasus), Kota Gorontalo (76 kasus), Gorontalo Utara (50 kasus), Pohuwato (36 kasus), dan Boalemo (21 kasus). (Wan/Ren)