Dr.Funco Tanipu, ST,MA
(Penulis Adalah Dosen Sosiologi UNG)
Deretan penghargaan Adipura hingga adanya tugu Adipura bukan lagi kebanggaan jika kita menyimak persoalan pengelolaan sampah dari hari ke hari. Kita seperti sedang dikelilingi sampah, hampir di setiap ruas jalan selalu ada sampah yang berserakan dan menumpuk.
PERUBAHAN TAFSIR ATAS PAANGO
Perubahan sosial di Kota Gorontalo terjadi secara drastis, termasuk pendefinisian soal “paango”. Paango adalah halaman rumah atau pekarangan.
Dulu, batas paango bagian depan adalah batas jalan, bagian kiri, kanan dan belakang berbatasan dengan pekarangan orang lain, bisa juga jalan. Kini, setelah Kota berubah, lebih “modern” dan “maju”, tafsir soal paango lebih menyempit. Paango ditafsirkan hanya dibatasi oleh pagar rumah, depan pagar rumah yang berbatasan dengan jalan dianggap bukan lagi paango, tapi dalalo atau jalan.
Seiring waktu berjalan dan ada perubahan tafsir soal batas paango, efeknya pun berantai. Halaman depan pagar rumah yang dianggap bukan paango, bukan lagi “urusan” tuan rumah/bangunan, itu sudah urusan publik yang kemudian ditafsirkan sebagai urusan pemerintah.
Tafsir yang berubah itu berimbas pada pengelolaan sampah di luar paango yang dianggap bukan lagi urusan privat, tapi publik (pemerintah). Hal yang sama berlaku pada soal pengelolaan got dan saluran air.
Makanya, jika kita berjalan-jalan di seputaran Kota, banyak sampah menumpuk dan berserakan di pinggir jalan, termasuk got dan saluran air yang tidak mengalir karena tersumbat sampah.
KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH YANG BURUK
Data dari Dokumen Jakstrada (Kebijakan dan Strategi Daerah Pengelolaan Sampah Rumah Tangga) Kota Gorontalo tahun 2018 menyebutkan bahwa total timbulan sampah Kota Gorontalo sebanyak 49.939 ton dengan asumsi produksi sampah per jiwa adalah sebesar 0.7 kg/hari. Dari total timbulan sampah tersebut hanya 26.819 ton yang terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir. Jadi, ada sekitar 23.120 ton per tahun yang tidak terangkut.
Untuk mengangkut 26.819 ton ini, dipekerjakan 300 orang petugas kebersihan Kota Gorontalo yang bekerja sejak pukul 05.00. Biaya yang dikeluarkan Pemerintah Kota Gorontalo untuk urusan sampah ini hampir mencapai 6 milyar rupiah/tahun.
Jakstrada Kota Gorontalo ini menjadi bagian urgen dari peta jalan pengelolaan sampah perkotaan, yang juga termasuk dokumen prasyarat utama Adipura.
Karena itu, dalam peta jalan pengelolaan sampah menjadi penting untuk menekankan prioritas pengurangan dan penanganan sampah. Khusus pengurangan menjadi urusan ranah privat (rumah tangga) untuk memulai mengurangi sampah di lingkungan termasuk paango. Untuk penanganan menjadi ranah publik atau urusan pemerintah termasuk penyediaan TPS3R, Bank Sampah dan hal hal lainnya.
Namun, peta jalan yang telah disusun tersebut bukan lagi panduan dalam pengelolaan sampah di Kota Gorontalo hari ini. Entah apa yang menjadi panduan hari ini, yang pasti kota Gorontalo sudah bukan seperti kota yang dianugerahi Adipura.
Maka, kedepan perlu ada penafsiran dan penegasan kembali soal paango. Kekeliruan soal tafsir akan memakan biaya yang tidak sedikit. Pelurusan kembali soal tafsir paango berefek pada pengelolaan sampah Kota dari publik ke private, sehingga biaya yang harus ditanggung Pemerintah akan bisa diminimalisir, termasuk soal got dan saluran air yang selama ini membuat Kota sering banyak terjadi genangan. Begitu juga dengan cadangan modal sosial-lokal yang mulai menipis huyula sebagai upaya kolektif dalam kebersihan lingkungan.
Konsekuensi mahal akan kita terima sebagai warga Kota kedepan, sebab saat ini saja ada sekitar 23.120 ton yang tidak terangkut karena keterbatasan armada, tenaga dan biaya. Apalagi misalnya jika tidak ada perubahan pola konsumsi warga dalam memproduksi sampah, maka sampah bisa menjadi bencana Kota Gorontalo di masa akan datang.
Deretan penghargaan Adipura hingga adanya tugu Adipura bukan lagi kebanggaan jika kita menyimak persoalan pengelolaan sampah dari hari ke hari. Kita seperti sedang dikelilingi sampah, hampir di setiap ruas jalan selalu ada sampah yang berserakan dan menumpuk.
PERUBAHAN TAFSIR ATAS PAANGO
Perubahan sosial di Kota Gorontalo terjadi secara drastis, termasuk pendefinisian soal “paango”. Paango adalah halaman rumah atau pekarangan.
Dulu, batas paango bagian depan adalah batas jalan, bagian kiri, kanan dan belakang berbatasan dengan pekarangan orang lain, bisa juga jalan. Kini, setelah Kota berubah, lebih “modern” dan “maju”, tafsir soal paango lebih menyempit. Paango ditafsirkan hanya dibatasi oleh pagar rumah, depan pagar rumah yang berbatasan dengan jalan dianggap bukan lagi paango, tapi dalalo atau jalan.
Seiring waktu berjalan dan ada perubahan tafsir soal batas paango, efeknya pun berantai. Halaman depan pagar rumah yang dianggap bukan paango, bukan lagi “urusan” tuan rumah/bangunan, itu sudah urusan publik yang kemudian ditafsirkan sebagai urusan pemerintah.
Tafsir yang berubah itu berimbas pada pengelolaan sampah di luar paango yang dianggap bukan lagi urusan privat, tapi publik (pemerintah). Hal yang sama berlaku pada soal pengelolaan got dan saluran air.
Makanya, jika kita berjalan-jalan di seputaran Kota, banyak sampah menumpuk dan berserakan di pinggir jalan, termasuk got dan saluran air yang tidak mengalir karena tersumbat sampah.
KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH YANG BURUK
Data dari Dokumen Jakstrada (Kebijakan dan Strategi Daerah Pengelolaan Sampah Rumah Tangga) Kota Gorontalo tahun 2018 menyebutkan bahwa total timbulan sampah Kota Gorontalo sebanyak 49.939 ton dengan asumsi produksi sampah per jiwa adalah sebesar 0.7 kg/hari. Dari total timbulan sampah tersebut hanya 26.819 ton yang terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir. Jadi, ada sekitar 23.120 ton per tahun yang tidak terangkut.
Untuk mengangkut 26.819 ton ini, dipekerjakan 300 orang petugas kebersihan Kota Gorontalo yang bekerja sejak pukul 05.00. Biaya yang dikeluarkan Pemerintah Kota Gorontalo untuk urusan sampah ini hampir mencapai 6 milyar rupiah/tahun.
Jakstrada Kota Gorontalo ini menjadi bagian urgen dari peta jalan pengelolaan sampah perkotaan, yang juga termasuk dokumen prasyarat utama Adipura.
Karena itu, dalam peta jalan pengelolaan sampah menjadi penting untuk menekankan prioritas pengurangan dan penanganan sampah. Khusus pengurangan menjadi urusan ranah privat (rumah tangga) untuk memulai mengurangi sampah di lingkungan termasuk paango. Untuk penanganan menjadi ranah publik atau urusan pemerintah termasuk penyediaan TPS3R, Bank Sampah dan hal hal lainnya.
Namun, peta jalan yang telah disusun tersebut bukan lagi panduan dalam pengelolaan sampah di Kota Gorontalo hari ini. Entah apa yang menjadi panduan hari ini, yang pasti kota Gorontalo sudah bukan seperti kota yang dianugerahi Adipura.
Maka, kedepan perlu ada penafsiran dan penegasan kembali soal paango. Kekeliruan soal tafsir akan memakan biaya yang tidak sedikit. Pelurusan kembali soal tafsir paango berefek pada pengelolaan sampah Kota dari publik ke private, sehingga biaya yang harus ditanggung Pemerintah akan bisa diminimalisir, termasuk soal got dan saluran air yang selama ini membuat Kota sering banyak terjadi genangan. Begitu juga dengan cadangan modal sosial-lokal yang mulai menipis huyula sebagai upaya kolektif dalam kebersihan lingkungan.
Konsekuensi mahal akan kita terima sebagai warga Kota kedepan, sebab saat ini saja ada sekitar 23.120 ton yang tidak terangkut karena keterbatasan armada, tenaga dan biaya. Apalagi misalnya jika tidak ada perubahan pola konsumsi warga dalam memproduksi sampah, maka sampah bisa menjadi bencana Kota Gorontalo di masa akan datang.(*)