Oleh: Muti’a, Mutiara Abdullah, Mutmainnah TS.Bullah, Indar Yabu, Fitria Gia, Virgita Julistya Hanapi, Sandi Anwar, Sasti Abdullah, Yusnita Umar, Sulisti Virya Saman, Dr. Pupung Puspa Ardini (Jurusan PG-PAUD, FIP UNG)
Istilah pendidikan inklusif atau pendidikan inklusi merupakan kata atau istilah yang dikumandangkan oleh UNESCO berasal dari kata Education for All yang artinya pendidikan yang ramah untuk semua, dengan pendekatan pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang tanpa terkecuali. Mereka semua memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh manfaat yang maksimal dari pendidikan. Hak dan kesempatan itu tidak dibedakan oleh keragaman karakteristik individu secara fisik, mental, sosial, emosional, dan bahkan status sosial ekonomi. Inklusif pun bukan hanya bagi mereka yang berkelainan atau luar biasa melainkan berlaku untuk semua anak
Praktik pendidikan inklusif di dunia telah menjadi agenda internasional di antaranya melalui SDGs yang mengamanatkan agar semua anak tanpa kecuali dipenuhi hak sosial dan pendidikan yang bermutu di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan, serta telah menjadi agenda utama dalam pendidikan untuk semua di satuan pendidikan reguler. Di Indonesia, praktik pendidikan inklusif telah berkembang pesat sejak tahun 2003 dan sampai sekarang telah tercatat lebih dari 36.000 satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.
Penyelenggaraan pendidikan inklusi di Indonesia masih dalam kategori rendah bahkan masih menjadi sebuah fenomena (Darma & Rusyidi, 2015). Salah satunya berdasarkan dara menurut PBB yang menunjukkan bahwa 90 % anak-anak disabilitas di negara berkembang masih tidak bersekolah. Situasi ini di akibatkan oleh kebijakan pemerintah (Efendi, 2018).
Data penelitian menunjukkan bahwa sebesar 67,85% peserta didik berkebutuhan khusus memilih bekerja setelah lulus Sekolah Menengah Atas, sebesar 17,85% memilih kuliah, dan sebesar 3,57% ingin bekerja dan kuliah (Rizky, 2014). Kondisi itu didukung penelitian lain yang menunjukkan bahwa memberikan layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus berdampak pada perkembangan yang signifikan (Tarnoto, 2016). Perkembangan ini dapat di tinjau dari kemandirian dalam menentukan pilihan bagi kebutuhan pribadinya sebagai wujud reformasi pendidikan tanpa deskriminasi (Mulyadi, 2017).
Provinsi Gorontalo memiliki luas wilayah 66.25 km2 (0,55% dari luas Provinsi Gorontalo) dan berpenduduk sebanyak 180.127 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 2.719 jiwa/km2. Menurut data dari dinas sosial provinsi gorontalo tahun 2019 terdapat 5.816 jiwa penyandang disabilitas yang membutuhkan pelayanan yang memadai. Akan tetapi jumlah lembaga yang menangani disabilitas masih terkendala menjangkau sebagian besar penyandang disabilitas yang bertempat tinggal di pedesaan dan jauh dari jangkauan pelayanan dan rehabilitasi sosial keliling yang merupakan bagian dari program Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Provinsi Gorontalo.
Sejauh ini pemerintah provinsi gorontalo telah berupaya menjamin pendidikan bagi penyandang disabilitas dengan menerbitkan Peraturan Gubernur Gorontalo Nomor 31 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi Gorontalo. Peraturan ini bertujuan untuk melaksanaan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan potetnsi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Pendidikan inklusif pada Pergub ini di lakukan pada satuan pendidikan mulai dari PAUD, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK, MA/MAK baik negeri maupun swasta. Pada Pasal 5 ayat (1) di dalam Pergub ini mengatur bahwa: “Setiap kecamatan di kabupaten/kota paling sedikit memiliki 1 (satu) PAUD, 3 (tiga) SD/MI, dan 1 (satu) SMP/MTs yang menyelenggarakan pendidikan inklusif” dan ayat (2) bahwa: “setiap kabupaten/kota paling sedikit memiliki 1 (satu) SMA/SMK/MA/MAK yang menyelenggarakan pendidikan inklusif.” Berdasarkan ketentuan pada pasal tersebut pemerintah telah berupaya menjamin penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat terselenggara di semua kabupaten/kota. Kendala yang kemudian terjadi adalah apakah ketentuan pada Pasal 7 bahwa: “setiap satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusif pada semua satuan pendidikan wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus” dan Pasal 8: “setiap satuan pendidikan yang akan Peningkatan kualitas layanan publik Bagaimana pengaruh pendataan? Data yang Kredibel Peningkatanproses perencanaan dan penganggaran Kesehatan Pendidikan Kesejahteraan sosial Administrasi Kependukan Program/ kegiatan yang terencana dan teranggarkan menyelenggarakan pendidikan inklusif paling sedikit memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) tersedia guru pembimbing khusus yang dapat memberikan program pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus; dan (b) tersedia sarana dan prasarana bagi peserta didik berkebutuhan khusus serta memperhatikan aksesibilitas dan/atau pendukung kebutuhan peserta didik”. Ketersediaan tenaga pendidik/guru pembimbing khusus dan ketersediaan sarara sarana prasarana berdasarkan kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus (Pasal 8), serta kurikulum khusus (Pasal 10) juga harus terpenuhi ketentuan di dalam Pergub ini. berdasarkan hasil Observasi yang pernah penulis dapatkan dilapangan, Di Kota Gorontalo hanya terdapat satu sekolah inklusi di PAUD. Hal ini menjadi satu PR bagi pemerintah daerah untuk memberikan Pelayanan yang lebih memadai untuk anak berkebutuhan khusus terutama pada pendikan inklusi di PAUD.(*)