Go-Pena Baner

Saturday, 04 May, 2024

Penanganan Kasus Kekerasan Pada Anak

Responsive image
Ilustrasi

Oleh :Sri Gina Fitri Arianto, Yusrin R. Mustapa, Sri Wahyuni S. Pongoliu, Asrianti S. Bonggu, Leysa Tagele, Fauzia Manoppo, Sri Asri Saramadi, Tiara E. Van Gobel, Mega Permatasari Bangol, Irmawati, Rosantira Paputungan, Siti Maulida Ambarwati, Sripati H. Abu, Dr. Pupung Puspa Ardini, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo (Jurusan PG PAUD - FIP - UNG)

 

KEKERASAN terhadap anak dalam kata sangat terkait dengan istilah penyalahgunaan yaitu kata yang biasa diterjemahkan sebagai kekerasan, penyiksaan, penganiayaan, atau perlakuan salah. Salah satu kata ini didefinisikan sebagai “Inappropriate behavior intended to cause physical, psychological, or finansial harm to a person or group” (kekerasan adalah sikap tak layak serta mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik yang di alami individu juga kelompok). Sedangkan kekerasan terhadap anak (child abuse) merupakan istilah yang biasa digunakan untuk menyebut kekerasan terhadap anak (Muhammad, 2019). Kekerasan terhadap anak terjadi karena dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari keluarga. Faktor keluarga ini berkaitan dengan perekonomian keluarga dan keadaan keluarga, kurangnya perhatian terhadap anak, keharmonisan keluarga, dan kesibukan orangtua. Sementara itu faktor eksternal lebih fokus pada pengeruh lingkungan sosial dan perkembangan teknologi ( Mulyani dkk, 2018). Akibat kekerasan pada anak bergantung pada jenis kekerasan yang dialami anak. Dampak kekerasan fisik terhadap anak menunjukkan sejumlah perubahan dalam kehidupannya. Anak[1]anak pendiam, berusaha berperilaku baik sehingga tidak ada alasan bagi penyerang untuk melakukan kekerasan fisik terhadap mereka. Namun, anak-anak lain mungkin menjadi agresif, menunjukkan perilaku bermasalah, dan berkonflik dengan orang dewasa. Perilaku agresif tersebut merupakan salah satu pembelaan diri, melindungi anak dari perilaku kekerasan orang lain. Perilaku agresif ini telah menjadi bagian dari pembelajaran anak-anak sebagian dari (pembelajaran sosial” karena orang dewasa telah memberi contoh bahwa agresi dan kekerasan adalah cara menghadapi dunia (Harni, 2019). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 yang membahas terkait dengan perlindungan anak. Anak harus dilindungi dan dihormati hak-haknya agar tumbuh dan berkembang secara normal, serta anak harus mendapat kesempatan berpartisipasi secara maksimal agar terlindungi dari tindak kekerasan. Saat ini anak-anak juga menjadi pelaku tindak kekerasan yang melanggar undang-undang tersebut. Atas dasar itu kepedulian terhadap anak dijelaskan dalam bentuk undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 yang mengatur tentang sistem peradilan pidana anak menggantikan undang-undang Nomor 3 Tahun 2012 yang mengatur tentang peradilan pidana anak dibawah umur(Alycia & Ridwan, 2019). Dalam menagani kasus kekerasan terhadap anak terdapat dua tahap penanganan, tahap yang pertama adalah pencegahan atau yang seringkita sebut dengan tindakan preventif, yaitu kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak. Lingukngan keluarga, masyarakat sekitar dan sekolah. Berikutnya adalah tahap pemulihan, tepatnya proses pemulihan atau sering disebut dengan penataan kembali keadaan korban baik psikis maupun fisik (Zahroo & Herawati, 2020). Implementasi Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak sangatlah penting. Peran KPAI adalah meningkatkan efektivitas kerja perlindungan anak, mensosialisasiakan undang-undang terkait perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan investigasi, dan mengikuti pemantauan, dan evaluasi(Melati, 2015). Penanganan kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak tidak hanya perlu berpedoman pada undang-undang perlindungan anak tetapi juga harus dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti undang-undang 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan ansional (UU mengacu pada sisitem pendidikan nasional) dan peraturan pelaksanaannya, namun UU perlindungan anak dan UU sistem pendidikan nasional tidak relevan untuk bersama-sama menjamin perlindungan anak dari tindak kekerasan. Karena adanya keterkaitan antara UU perlindungan anak dengan UU sistem pendidikan nasional bertujuan untuk meminimalisir kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan atau sekolah karena semua pihak terlibat langsung dalam perlindungan anak(Arylinda, 2013). Selain itu, untuk mengatasi kekerasan terhadap anak, orang tua berperan penting dalam menanganinya melalui teknik terapi keluarga. Intinya, dalam terapi keluarga, anggota keluarga dibantu untuk membuka alur komunikasi dengan mengungkapkan keinginannya secara jelas satu sama lain. Oelh karena itu, pendekatan ini meningkatkan perilaku komunikasi dan interaksi anggota keluarga sebagai suatu sistem(Sally & Siti, 2021). Pemerintah harus menjamin masa depan anak sebagai generasi penerus bangsa. Pemerintah dan masyarakat harus berperan aktif dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak melalui upaya sebagai berikut: (1) menjamin dan melindungi anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus untuk menjamin hak-haknya; (2) membangun sistem informasi untuk menyediakan data dan informasi kekerasan terhadap anak; (3) memperkuat daya tanggap seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat, dalam upaya mencegah pelanggaran hak anak dan melindungi anak ( Syarbain, 2016). Tentang peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan. Peraturan pemerintah No. 82 Tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan dilingkungan sekolah mengatur perlunya perlindungan anak dari tindakan kekerasan, pencegahan anak melakukan tindakan kekerasan, dan mengatur mekanisme pencegahan, pengendalian, dan sanksi. Misalnyasetiap pagi guru mengajar anak untuk menyapa siswa, setiap hari juga ada guru yang bertugas diluar kelas untuk memastikan dan mengawasi siswa diluar kelas, dan teru memanatu siswa diseluruh kelas, didalam dan diluar kelas (Khaerul, 2019). Selain itu juga dukungan orang tua ini diperlukan agar anak dapat beradaptasi dengan lngkungan baru agar anak merasa aman dan nyaman dilingkungan baru agar terhindar dari perasaan tidak aman. Dengan bantuan orang tua, anak akan lebih berani bermasyarakat dan risiko terjadinya kekerasan akan berkurang, karena anak akan tetap dalam pengawasan orang tuanya, sehingga kekerasan dari luar dapat diminimalisir(suryani dkk, 2023). (*)


Share