Oleh: Farhan Moh. Fahrurozi Bonde, S.Pd.
(Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Sultan Amai Gorontalo)
Banyak analisa politik yang memandang bahwa masyarakat sudah tidak lagi peduli dengan urusan ideologi yang tidak berdampak langsung dengan kebutuhan rill masyarakat seperti pemunuhan kebutuhan dapur, belangan, dan sejenisnya. Hal ini disebabkan kerana cara pandang para pegiat politik yang terlalu menilai rendah peran masyarakat sebagai pemilih.
Betapa tidak, masyarakat yang dimintai suaranya selama lima tahun tersebut, dinilai sebagai barang komoditas. Dimana suara-suara tersebut dibeli untuk mendukung dan memenangkan pertarungan. Bahkan wujud tawar-menawarnya pun beragam. Mulai dari jabatan, jaminan massa mendatang, yang hanya berlaku disegelintir orang, yang sejatinya mengabaikan basis kekuatan rakyat sebagai penentu kemenangan. Tanpa adanya kepedulian dan rasa tanggung jawab yang berarti, maka wajar setelahnya, masyarakat selama lima tahun diminta untuk tidak bersuara.
Padahal, definisi politik mencakup keseluruhan komponen dalam negeri, yang keterlibatannya tidak terelakkan, baik masyarakat pinggiran, masyarakat miskin kota atau desa, terpelajar maupun yang putus sekolah. Semuanya turut terlibat demi keberlangsunan masyarakat-politik yang rukun, berkemajuan serta bersemakmuran.
SUARA RAKYAT BUKANLAH HAL YANG REMEH-TEMEH.
Persoalan-persoalan yang demikian terbilang akut dan mengakar. Melahirkan ideologi baru dalam masyarakat. Dimana ideologi politik yang awalnya merupakan perhimpunan ide-ide, nilai, opini dan keyakinan yang menentukan rencana dan tindakan dalam pembuatan kebijakan publik, bergeser menjadi ajang unjuk gigi -tanpa mengabaikan tradisi selektif-feodalis, serta upaya mempertahankan status quo.
Cara pandang masyarakat yang sudah bergeser itu -jika itu benar- maka fungsionalisasi kaum terdidik pun dalam politik agaknya ikut bergeser dari fungsinya yang hanya sekedar pembungkus politik ke garamisasi politik. Soalnya bukan karena politik berbasis muatan intelektual itu buruk dan tidak laku jual. Tetapi janji-janji politik yang dijustifikasi dengan “kemampanan menganalisa kebutuhan massa rakyat”, tidak lagi menjadi pusat perhatian dan kebutuhan masyarakat rill dewasa ini.
Kesemuahan ini merupakan framing dalam berpolitik, sehingga kesadaran masyarakat tersebut ikut bergeser. Alhasil, keinginan rakyat pun bergeser. Rakyat terlanjur mengkultuskan figur-figur politik, serta mengesampingkan harapannya sendiri dalam pemenuhan janji-janji. Kenyataan ini telah dibuktikan oleh pengalaman sejarah dari waktu ke waktu.
Hampir tidak ada ruang bagi mereka yang terpelajar untuk menentukan arah perbaikan, akibat anggapan yang dibangun tersebut. Kesempatan berpartisipasi hanya bisa ditampung oleh mereka-mereka yang mapan dan memiliki ekonomi tinggi. Keterpanggilan untuk turut andil secara gradual mulai hilang bahkan tercerabut dari akar-akar perbaikan.
DILEMA MASYARAKAT.
Dilema masyarakat pinggiran terhadap menentukan sikap politiknya menjadi momen yang dinanti-nanti oleh figur politik untuk mengeksploitasi atau memanfaatkan hak pilihnya, tanpa memberikan edukasi tentang bagaimana suara rakyat harus digunakan. Padahal, menelisik kejadian, keterlibatan masyarakat; pemuda dan mahasiswa dalam memperjuangkan hak-hak yang sepatutnya, sejak gerakan 65, 74, 78, 98, sampai era reformasi, patut diapresiasi dalam wujud pengaktualisasian diri massa rakyat sebegai penentu arah demokrasi. Sehingga tidak berlebihan jika kebanyakan orang beranggapan bahwa "suara rakyat adalah suara Tuhan" yang wajib dijalankan.
Maka dari itu, seharusnya legitimasi rakyat adalah yang terkuat karena pemilihan langsung. Rakyat bisa dengan sendirinya menentukan kepada siapa harapan mereka pantas disematkan. Namun, realitas tetaplah realitas. Tidak dengan mengabaikan realitas sepenuhnya, akan tetapi, menafsirkan realitas sebagai upaya sadar betapa pengaruh rakyat sangat dibutuhkan, bahkan harus dibayar, bukan dengan uang, tetapi dengan pemenuhan janji-janji perbaikan kondisi sosial massa rakyat.