Go-Pena Baner

Thursday, 25 April, 2024

Mengenal Klientelisme, Bibit Politik Dinasti yang Tidak Disadari Namun Langgeng

Responsive image
Fanridhal Engo

GO-PENA.ID-Selain money politik, politik identitas, politik dinasti, hal yang bahayanya sama namun tak disadari banyak orang adalah Klientelisme. Seberapa berbahayanya? Simak uraian berikut!

Tahun politik di depan mata, narasi-narasi politik identitas lazim kita dengar banyak di gaungkan para elit. Hal ini terjadi mengingat sebuah anggapan bahwa aspek etnisitas mujarab dalam meraih simpati massa utamanya kelas menengah dan bawah.

Politik identitas tentu menjadi senjata laras panjang para elit guna membidik suara masa sampai kelas bawah. Berkaca dari pemilu 2019 kemarin, pasangan capres-cawapres Jusuf Kalla dan Wiranto (JKWIN) mengidentifikasi mereka sebagai kelompok Jawa dan non-Jawa. JK yang berasal dari Makassar sebagai “si non-Jawa” dan Wiranto yang lahir di Jogja sebagai “si Jawa”.

Model seperti ini terbukti ampuh untuk bisa meraih suara terbanyak pada pemilu, sebab secara psikologis para calon pemilih di Indonesia akan lebih memilih para kandidat yang menurut mereka lebih dekat secara kultur, etnis, maupun agama.

Namun, selain politik identitas, ada juga pola yang sering digunakan oleh para elit. Mobilisasi pemilih yang tidak melalui narasi identitas, melainkan oleh aktor/elit penyedia dukungan. Dalam politik, ini disebut sebagai perilaku “klientelisme”.

Apa itu Klientelisme?

Klientelisme Politik menurut Profesor di Departemen Ilmu Politik Universitas of Michigan, Allen Hicken, mendefinisikan klientelisme sebagai hubungan timbal balik dan hierarkis yang terbentuk melalui pertukaran sumber daya materiil dan nonmateriil antara kandidat dan pemilih. Nah, biasanya pertukaran sumber daya itu dimediasi oleh tokoh/elit penyedia dukungan, yang dalam masyarakat umumnya dilakukan oleh pemimpin etnis—di Gorontalo khususnya, biasanya dilakukan oleh tokoh ustadz yang dituakan atau orang kaya raya, tokoh adat dan agama.

Sebagai contoh, seoran calon legislatif atau kepala daerah mendatangi seorang tokoh/elit tadi kemudian memberikan sejumlah uang atau janji kepada tokoh/elit terhormat disuatu wilayah penyedia dukungan. Syaratnya adalah, penyedia dukungan itu wajib memastikan bahwa masyarakat memilih dalam pemilu.

Profesor yang fokus meneliti institusi politik negara-negara berkembang itu melanjutkan, praktik klientelisme memiliki perbedaan dengan politik identitas, sebab ia tidak berbasis pada ikatan primordial ataupun sentimen. Melainkan ia melibatkan kalkulasi rasional (untung-rugi) antara kandidat dan pemilih.

Dengan jaringan klientelisme kontrol terhadap birokrasi, lembaga, dan pemimpin etnis yang para kandidat lakukan hampir tak terhindarkan. Ini mengingat kandidat maupun penyedia dukungan merasa bodo amat soal ikatan primordial etnis yang penting adalah kepentingan di pemilu nanti.

Praktik klientelisme sendiri, sadar tidak sadar, ini langgeng diamalkan para elit politk di Indonesia, Gorontalo Utara—salah satu kabupaten di Gorontalo yang masih kental dengan nilai kultur dan etnisitas—khususnya. Kebanyakan ini dilakukan oleh petahana yang memiliki kuasa dalam mengontrol para birokrasi. Sebab ia memiliki otoritas untuk mengarahkan aparatur sipil negara (ASN), dari kabupaten hingga desa.

Mengapa Ini Buruk Bagi Demokrasi?

Belakangan ini, klientelisme ini menjadi umum digunakan para politisi (petahana khususnya) karena memang hal ini mempermudah jalan kepentingannya agar bisa kembali menang di pemilu berikutnya.

Hal yang disayangkan adalah, praktik ini akan mengunci ruang kebebasan para calon pemilih nanti untuk memutuskan dengan sendirinya siapa yang akan ia pilih di politik elektoral. Kebebasan pemilih akan terhambat oleh elit penyedia dukungan yang menghubungkan mereka dengan kandidat, utamanya konsentrasi politik hanya terfokus pada elit politik.

Sisi buruknya lagi adalah, membuka potensi lahirnya kekuasaan politik alias dinasti politik. Dukungan yang terbangun melalui klientelisme akan berlanjut di internal keluarga, lalu akan berguna dan berlanjut pada saluran mobilisasi dukungan bagi anggota keluarga yang lain.

 

 

 


Share