Oleh: Farhan Moh. Fahrurozi Bonde, S.Pd.
(Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Sultan Amai Gorontalo)
Menelisik sejarah, pasca reformasi, dua isu besar keagamaan yang ramai dibincangkan publik adalah tentang penegakan syari’at Islam dan terorisme. Dimasukkannya terorisme sebagai isu agama, karena sejauh hasil investigasi pihak kepolisian, para pelaku yang diduga kuat dan tampak dipermukaan adalah sebagai “kelompok agama”, paling tidak pada kasus Bali dan Botel JW Marriott. Bahkan yang kedua ini telah menjadi isu global dan menjadi trend dunia kontemporer. Sungguhpun yang demikian itu tidak terkait secara substansial dengan misi agama, tetapi bentuk-bentuk keyakinan agama tertentu yang seringkali dipicu oleh problem sosial, politik, ekonomi, dan budaya, dianggap sebagai salah satu faktor penguatnya.
Sekalipun peristiwa di atas terjadi pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), namun dampaknya masih begitu nyata sampai era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Misalnya, pada era Jokowi pun masih mengupayakan strategi pencegahan berupa Soft Approach yang tidak dilakukan pada masa pemerintahan SBY. Dimana Soft Approach merupakan program deradikalisasi, dengan pendekatan lunak lagi lemah lembut, melalui pendekatan pemahaman tentang terorisme, serta menampilkan sikap kepedulian terhadap korban yang masih hidup dan juga terhadap keluarga atau anak-anaknya yang telah dieksekusi (Nur Hasanah, 2018).
Berdasarkan strategi tersebut, tindakan terorisme terbilang berkurang bahkan nyaris hilang. Upaya-upaya yang dilakukan dengan melerai berbagai pihak yang terlibat adalah bentuk ijtihad yang amat diperjuangkan. Alhasil, pemerintah berhasil menangkal radikalisme serta giat-giat fanatisme –yang mengatasnamakan agama- yang diduga sebagai pemicu adanya terorisme, bahkan berhasil mengubah stigma “negatif” terhadap Islam. Pertanyaan yang timbul setelahnya adalah benarkah aksi-aksi teror yang mengatasnamakan agama merupakan bukti adanya penganut agama yang fanatik? Benarkah aksi tersebut adalah aksi murni membela agama, sementara Islam tidak mengajarkan cara yang demikain?
Dilema Islam Moderat
Upaya pencegahan yang terbilang solutif tersebut, memberi dampak pada keberpihakan masyarakat Islam yang terombang-ambing. Mungkin tidak lagi dalam bentuk teror. Namun, tidak menutup kemungkinan, adanya mode berpikir masyarakat Islam di Indonesia yang lebih bersifat terbuka, pluralis, bahkan liberal, akan menjauhkan masyarakat Islam dari identitas serta autentis nilai-nilai keislaman yang tertanam sedari dini? Bukankah Islam sengaja diberi kesan yang demikian, sehingga perlu adanya sikap moderasi dalam beragama?
Abdul Mukti Rouf, di dalam Panorama Pemikiran Islam menyebutkan “toleransi adalah upaya mengikis ideologi”. Menakar upaya kemajumakan Islam moderat, atau yang disebut oleh Abdul Mukti Rouf sebagai “Islam liberal” dalam berbangsa dan bermasyarakat, sekurang-kuranya dibatasi pada membuka pintu-pintu dialog yang seluas-luasnya, bukan pada taraf konfrontatif berlebih terhadap barisan fundamentalis yang pada kenyataannya hanya membuka ekstrimitas baru.
Pada akhirnya, desas-desus keberpihakan masyarakat mencapai taraf yang paling dilematis, antara kubu nasionalis, kubu agamais, dan lain sebagainya, yang masing-masing punya peranan penting dalam mempertahankan serta memperjuangkan kemerdekaan rakyat Indonesia. Keberadaan kubu-kubu tersebut menjadi sekat nyata dalam dinamika beragama. Terlebih, ketika kenyataan tersebut terwakilkan oleh segenap parta-partai politik di Indonesia beserta ideologinya masing-masing.
Gairah Membela Agama: apa yang dibela?
Dampak yang begitu nyata tersebut merambat pada keseluruhan sektor dalam negeri, bahkan sampai ke wilayah-wilayah elektoral. Dimana rakyat mendapati kebimbangan dalam menentukan sikap kepada siapa rakyat mesti berpihak. Kita lihat, pasca pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017, bardampak langsung pada pemilihan presiden 2019, dengan gorengan isu yang bernuansa etnis, golongan, ras, suku, bahkan agama, demi mendapatkan dukungan dari masyarakat, yang berikut dinamakan dengan budaya "politik identitas".
Hal tersebut terbilang budaya, sebab betapa mengakarnya isu tersebut yang senantiasa digaungkan disetiap tahun-tahun perhelatan. Bahkan masih berlangsung sampai detik ini, menjelang pilpres 2024. Tidak perlu panjang lebar dalam mendefinisikan budaya tersebut. Namun jelasnya, fenomena politik identitas dengan popularitas agama tetap menjadi menjadi barang komoditas, nan sekaligus menjadi ranjau bagi demokrasi, jika digunakan oleh pimpinan yang tidak cakap nan kurang memumpuni.
Ironinya terletak pada mainan-mainan isu yang bernuansa agama untuk mengais suara rakyat dalam memenangkan pemilihan. Bukan berarti politik yang demikian tidak laku jual atau bahkan buruk. Tetapi, hal-hal yang mengatasnamakan agama –bahkan berdalih membela agama- demi kepentingan sepihak jelas bertentangan dengan syariat-syariat keagamaan.
Premis membela agama ini kemudian menjadi mode dimana-dimana. Yang sejatinya, premis ini masih bersifat umum dan harus diberikan penjelasan secara mendetail. Sebab, harus di identifikasi secara radikal, bahwa praktik -yang bermuatan agama- semacam apa yang perlu di bela bersama?
Pertanyaan ini bukanlah upaya untuk mengkerdilkan solidaritas serta kebersamaan dalam hal-hal yang bernilai agama. Namun pertanyaan ini wajib diutarakan untuk menelaah secara mendasar lagi rasi rasional, dengan jawaban yang mendasar pula, tentang Apa yang seharusnya kita bela? Agamanya kah? Praktiknya kah? Ataukah agama semata dijadikan sebagai bingkai demi memperoleh dukungan suara?
Membaca Cita-Cita Agama
Sejatinya, yang dimaksud dengan gairah membela agama bukanlah membela Tuhan, sebab Tuhan tidak perlu dibela, melainkan diimani dan dipatuhi. Sebab, jika kita ingin membela Tuhan, maka secara tidak langsung kita meragukan ke-Maha KuasaanNya. Maka seyognya, slogan membela agama itu dialamatkan pada upaya membaca cita-cita agama.
Membaca cita-cita agama, artinya tegak lurus dalam syariat agama, -yang tidak sekadar tegak lurus terhadap konstitusi, sekalipun itu merupakan bahagiannya. Akan tetapi harus lebih dispesifikasi ke arah tindakan dan pengabdian terhadap Tuhan. Termasuk, mempertanggung jawabkan keberpihakan terhadap rakyat dalam menciptakan kerukanan dan persemakmuran.
Maka dari itu, perlu adanya kesadaran dari keseluruhan pihak -yang terbangun dan dalam rangka membangun- dalam menyikapi realitasnya, bahwa Politik Identias hanya akan memecah belah bahkan haram mempersatukan rakyat. Akan selalu saja ada perbedaan, yang bukan sebatas dinamika dalam berdemokrasi, namun mendarah daging bahkan terpatri dalam batang tubuh masyarakat demokrasi. Ditambah dengan gorengan-gorengan yang bersifat doktrinal, menjerumus pada anggapan biner dalam menapaki fenomena-fenomena yang ada. Bahwasannya, yang ada hanyalah kelompok yang salah atau kelompok yang benar. Sudah barang tentu, anggapan tersebut mencidrai hakikat demokrasi.
Jualan politik yang bernuansa agama harusnya dicukupkan pada upaya menegakkan cita-cita agama tadi. Tidak sekadar menarik simpati untuk menggalang massa demi mencapai tujuan yang lain, atau bahkan tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan rakyat. Keinginan rakyat sangatlah luhur, namun sukar dibahasakan. Rakyat mengharapkan bagaimana seorang figur harus terjun secara langsung dalam kemelaratan rakyat yang rawan diperhatikan. Bukan sekadar figur yang merangkak dari bawah, akan tetapi figur yang sudah selesai dengan diri dan kepentingannya sendiri -sebagaimana yang dicita-citakan Plato dalam konsep negara idealnya, sehingga fokus perhatian terhadap masyarakatnya bisa menyeluruh lagi kaffah.