Go-Pena Baner

Friday, 11 July, 2025

Jabatan

Responsive image
Dr. Funco Tanipu, MA

Oleh

Dr. Funco Tanipu., ST., M.A 

(Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo)

Selama jabatan ada periodenya, selama itu pula jabatan ada batasnya. Kalau itu saja ada batasnya, kenapa kita melakukan sssuatu yang melampaui batas.

Jabatan bagi sebagian dari kita adalah kemewahan, fasilitas, "rezeki" dan status. Banyak yang sebagian dari kita menganggap bahwa kehormatan itu ada pada jabatan. Tanpa itu, kehormatan itu tidak ada alias sirna.

Maka, banyak dari kita yang menjadikan hidup adalah jabatan. Setiap hari hanya memikirkan jabatan, bagaimana bisa dikejar dan diraih, dan bagaimana pula jabatan itu harus digenggam, dipertahankan, dilanggengkan. Bahkan, jika perlu : diwariskan. 

Namun, namanya jabatan yang diserahkan manusia, membuat setengah kaki berada di keburukan, setengahnya di kebaikan. Jika niatnya untuk diri sendiri semata, maka kemungkinan arahnya menjadi buruk. Jika diniatkan untuk kemaslahatan, maka kemungkinan akan menjadi baik.

Mengejar jabatan tak membuat kita menjadi mulia, jika jabatan itu tdk memberi manfaat bagi orang lain. Jika sesuatu sudah dikejar, maka setengah niatnya sudah tercemar. Begitu pula yang kecewa tak dapat jabatan, niatnya pun sudah keropos.

Tanpa menjabat pun tak lantas kita tidak akan mulia juga. Sebab, masih banyak ladang untuk beramal dan berkarya, menjadi wahana untuk mencetak amal jariyah, jika niat dan caranya baik serta benar.

Menjabat dengan cara yang baik pun belum tentu membawa kemasalahatan jika bukan dengan cara yang benar. Sebab, cara yang baik belum tentu hasilnya benar, namun cara yang benar sudah pasti baik dan membawa kebaikan.

Sebagian besar dari kita memandang bahwa jabatan adalah juga pintu rezeki. Tanpa ada jabatan, rezeki pun akan sulit. Padahal, takaran dan porsi rezeki seseorang sudah diatur dan bahkan ditentukan jauh sebelum kita lahir. 

Bahkan cicak saja dengan modal lidah dan mulut sudah ditakdirkan untuk mendapat rezekinya hanya dengan menempel di dinding. Pun demikian dengan makhluk lain. Semua sudah ada takaran, termasuk batas. 

Banyak pula di antara kita, hanya karena jabatan semata, mesti menggergaji teman sendiri, memfitnah sahabat, memutus silaturrahmi, menghardik, memaki, dan bahkan menggunakan cara yang tidak semestinya, yang jauh dari ajaran mengenai adab. 

Tak sedikit pula, demi jabatan tertentu, sebagian dari kita mesti rela menadahkan tangan dan wajah ke sesama manusia, menghamba, hingga bentuk-bentuk yang tidak semestinya. 

Semoga kita semua bisa dihindarkan dari akhlak yang tidak semestinya, yang membawa kita menjauh dari apa yang semestinya kita teladani. Semoga kita pula menjadi pribadi-pribadi yang bisa belajar meneladani ajaran Nabi kita sekalian, yang ajaran tersebut diwariskan secara turun temurun hingga hari ini melalui ulama-ulama yang tersambung pada Nabi kita.(*) 


Share