Oleh : Delvi A.S Pakaya, Sri Melianty Aliwu, Intan Seventari Bimbing, Indah Indriani, Mahgfirawati R. Lihawa, Tesya Mamonto, Ni Putu Sajiyanti, Cindy Alicia Humalidi, Agnes Tasya Nani, Rahmatia B. Salum, Rahmatila Amasi, Gia Putri Jumiati, Dr. Pupung Puspa Ardini
(Jurusan PG-PAUD FIP UNG)
Fenomena guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang cenderung didominasi oleh perempuan sudah menjadi hal yang dianggap lumrah dan dianggap wajar di masyarakat. Sampai kini peran profesi guru Pendidikan Anak Usia Dini dan Taman Kanak-Kanak (TK) masih terkesan lebih lekat pada kaum perempuan dan justru dianggap kurang sesuai bila dilakukan oleh laki-laki. Memang pada umumnya guru yang mengajar di PAUD ataupun TK didominasi oleh jenis kelamin perempuan, baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah. Bila diamati di lapangan,sulit bagi kita menemukan guru PAUD ataupun TK dari jenis kelamin laki-laki. Dari sekian banyak guru PAUD dalam suatu kecamatan barangkali laki-laki dapat dihitung dengan jari jumlahnya atau hampir tidak ada sama sekali. Di sebuah lembaga PAUD di Kabupaten Jember, seluruh tenaga pendidiknya adalah perempuan. Tak ada satupun tenaga pendidik laki-laki. Ini berbanding lurus dengan laporan data statistik PAUD yang dirilis oleh Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud RI, jumlah guru dan kepala sekolah TK laki-laki di Indonesia 10.330 orang, sedangkan jumlah guru dan kepala sekolah TK perempuan di Indonesia mencapai 303.317 orang. Artinya, perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan adalah 1 : 30 orang. Fenomena langkanya laki-laki yang menjadi guru PAUD atau TK menjadikan masyarakat beranggapan bahwa biasanya yang menjadi guru PAUD atau guru TK adalah perempuan. Artinya, terdapat anggapan baku di masyarakat kita terhadap kepantasan perempuan dalam mengajar anak-anak usia dini karena dianggap lebih mampu dari pada laki-laki, sehingga menjadikan guru PAUD laki-laki menjadi langka. PAUD masih menghadapi pekerjaan rumah yang serius dan tak kunjung usai terkait ketidak seimbangan peran laki-laki dan perempuan dalam praktik pendidikan di lembaganya. Di antara berbagai jenis pekerjaan dan profesi, guru PAUD merupakan salah satu yang mencolok karakternya karena cenderung diciterakan sebagai profesi yang selalu dijalankan oleh perempuan sejak dahulu hingga saat ini.
Fenomena langkanya laki-laki yang mengajar anak-anak usia dini rupanya tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Di beberapa negara lain, di Hong Kong misalnya, pun terjadi hal yang hampir sama. Ho & Lam melaporkan bahwa jumlah guru PAUD yang berjenis kelamin laki-laki hanya sebanyak 1.2% dari jumlah keseluruhan guru. Di Irlandia, sebuah hasil survei yang dilakukan oleh Komite Pendidikan Anak Usia Dini pada tahun 2012 dan 2013 menunjukkan bahwa dari sekitar 328 lembaga pendidikan anak usia dini di 13 negara bagian, 77% lembaga pendidikan anak usia dini tidak memiliki tenaga pendidik laki-laki. Hal ini berdasarkan sebuah survei yang telah dilakukan oleh Walshe (2012) yang bertujuan untuk mencari penyebab kelangkaan guru laki-laki di Irlandia. Konstruksi pendidikan di Indonesia belum secara tegas memberi porsi yang seimbang pada upaya penyetaraan gender. Meski kebijakan di bidang pendidikan sesungguhnya telah mengalami perubahan pasca terbitnya Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional kemudian disusul terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun dalam hal ini, tataran praktiknya masih terdapat kebijakan kebijakan yang internal di lembaga pendidikan yang dimana belum responsif pada gender (Priatmoko, 2018). Ada banyak beragam isu gender pada pendidikan anak usia dini, Salah satunya adalah isu gender dalam proses pembelajaran dan kegiatan bermain. Dimana pembelajaran pada pendidikan anak usia dini merupakan aktivitas dalam menerapkan nilai kesetaraan dan keadilan gender (kemendikbud, 2014). Isu-isu itu diantaranya yakni masih ditemukannya sterotipe dalam kegiatan bermain, dimana anak-anak perempuan dan laki-laki mempergunakan alat bermain yang menunjukkan dimensi segregarif, misalkan anak perempuan bermain barbie sedangkan laki-laki bermain mobil-mobilan (Adriany, 2019).
Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk membedakan antara laki laki dan perempuan dari sudut non-biologis. Istilah gender kemudian dibedakan dari istilah ‘seks’. seorang ahli Sosiologi Inggris Oakley (1997), merupakan tokoh yang mula-mula memberikan pembedaan terhadap kedua istilah tersebut. Istilah gender merujuk kepada perbedaan karakter laki-laki dan perempuan berdasarkan kontruksi sosial budaya, yang berkaitan dengan sifat, status, posisi dan perannya dalam masyarakat. Salah satu permasalahan besar yang dihadapi oleh Indonesia saat ini ialah ketimpangan gender. Sebuah hasil riset yang dilaporkan oleh The Global Gender Gap Index 2022 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 85 dari 153 negara dengan skor 0.70 dan tidak berubah dari tahun 2018. Kesetaraan gender berpotensi mempengaruhi berbagai faktor yakni antara lain kemasyarakatan sosial dan politik serta terbentuknya biner gender antara laki-laki dan perempuan. Pada saat ini, identitas dan pemahaman gender awal dari anak akan berkembang sesuai dengan jenis jenis informasi dan pengalamannya. Berkaitan dengan itu fungsi dan peran guru sangatlah penting. Guru merupakan salah satu agen sosialisasi dan model yang sangat penting di sekolah. Mereka mengambil peran orang tua sebagai model bagi anak ketika anak memasuki lingkungan pertama saat memasuki sekolah. Terkait dengan proses penanaman nilai gender, kedudukan "model" bagi seorang anak sangatlah penting. Seseorang dapat menjadi model bagi anak, bila mereka memiliki ciri-ciri yang menimbulkan "kekaguman" sehingga merangsang anak untuk berimitasi atau mengidentifikasikan dirinya dengan model yang dimaksud. Di samping itu, pendidikan anak usia dini merupakan garda terdepan dalam meng-counter rendahnya literasi masyarakat terhadap gender melalui pengenalan tentang gender bagi anak sejak dini. Mengutip pendapat Santrock “Gender is another key dimension of children’s development”. Pentingnya mengenalkan peran gender sejak dini sangat erat kaitannya dengan perkembangan dan pembentukan pola perilaku dan kepribadian anak di masa dewasa. (*)