Go-Pena Baner

Friday, 18 October, 2024

Integrasi Mitigasi Bencana Alam dalam Rencana Pembangunan Ekonomi Daerah

Responsive image
Rezkiawan Tantawi

Oleh : Rezkiawan Tantawi

(Tim Penyusun RPJPD Kab. Gorontalo 2025-2045, Bidang Kajian Ekonomi Crisis Center Universitas Negeri Gorontalo) 


Provinsi Gorontalo, dengan topografi lahan berbentuk mangkuk, menghadapi risiko banjir signifikan yang merata di hampir seluruh wilayahnya. Ancaman ini tidak hanya merugikan secara material tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam lima tahun terakhir, Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI) BNPB mencatat bahwa Gorontalo mengalami 169 kejadian bencana yang berdampak besar pada kerusakan infrastruktur, kehilangan aset pertanian, gangguan terhadap aktivitas ekonomi, serta biaya rehabilitasi dan rekonstruksi yang tinggi.

Intensitas curah hujan yang tinggi beberapa hari belakangan ini menyebabkan banjir di Gorontalo semakin meluas. Perkiraan awal menunjukkan bahwa, sebagai akibat langsung dari banjir, akan terjadi kontraksi dan berefek pada terganggunya aktivitas ekonomi Gorontalo. Bencana banjir dan longsor yang melanda ini semakin mengungkap tantangan kelembagaan dan sistem, termasuk perencanaan kota yang buruk, pengelolaan sumber daya air yang kurang baik, sistem pemeliharaan infrastruktur yang terbatas, tata kelola yang kompleks, kesenjangan struktural, dan kapasitas pengurangan risiko bencana yang terbatas. Hal ini berpotensi memperpanjang siklus kemiskinan yang diakibatkan oleh bencana.

Ukuran dan durasi dampak bencana pun akan bervariasi antar lokasi dan rumah tangga. Hal ini tergantung pada intensitas banjir dan waktu yang dibutuhkan air surut, status sosial-ekonomi rumah tangga sebelum bencana, serta kualitas upaya bantuan dan rekonstruksi. Sebelum terjadinya banjir, banyak dari daerah yang terkena bencana ini sudah menderita kemiskinan yang relatif tinggi. Bahkan dengan skenario pemulihan terbaik, untuk bisa membalikkan dampak negatif bencana terhadap kesejahteraan rumah tangga akan membutuhkan waktu yang cukup panjang, beberapa kerugian seperti kerugian modal manusia dan penurunan produktivitas lahan dapat memicu penurunan kesejahteraan yang lebih tahan lama dan memerlukan perhatian khusus.

Setiap kali banjir melanda, banyak infrastruktur penting seperti jalan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya rusak, yang mengganggu transportasi, distribusi barang, dan layanan. Selain itu, banjir menyebabkan kerugian besar bagi sektor pertanian, yang merupakan tulang punggung perekonomian Gorontalo. Tanaman hancur, lahan terendam, dan ternak mati semuanya mengakibatkan penurunan produksi dan pendapatan petani. Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) mengkategorikan Gorontalo dengan indeks risiko sedang, mencerminkan potensi kerugian ekonomi yang perlu diantisipasi melalui perencanaan matang.

Untuk mengatasi tantangan ini dan mencegah kerugian ekonomi yang lebih besar, diperlukan upaya mitigasi yang komprehensif. Peningkatan infrastruktur tangguh terhadap bencana menjadi krusial. Pembangunan dan penguatan infrastruktur seperti tanggul, sistem drainase, dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan melalui praktik pengelolaan hulu sungai, pertanian berkelanjutan, dan pengendalian aktivitas pertambangan sangat penting untuk menjaga kualitas lingkungan hidup.

Masalah banjir dan longsor juga tidak lepas dari pengelolaan sampah dan limbah yang belum optimal. Kebijakan strategis dalam pengurangan dan penanganan sampah rumah tangga di daerah ini masih belum maksimal, ditandai dengan volume sampah yang semakin tidak terkendali dan kurangnya fasilitas pemilahan sampah. Tanpa pengelolaan sampah yang efektif, risiko pencemaran lingkungan akan meningkat, mengancam kesehatan masyarakat dan menurunkan kualitas hidup.

Penataan perkotaan dan penanganan kawasan perumahan serta permukiman di Gorontalo juga belum optimal. Pertumbuhan kawasan kumuh dan tidak layak huni terus meningkat, seiring dengan alih fungsi lahan dan aktivitas pertambangan. Kondisi ini menghambat pengembangan pusat-pusat kegiatan ekonomi yang berkelanjutan dan memperburuk kerentanan terhadap bencana. Kerentanan ini bahkan diperkuat oleh meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK), terutama dari sektor pertanian, energi, dan limbah sebagai penyumbang 47,8% emisi GRK. Ini berarti pengelolaan lingkungan dan mitigasi perubahan iklim harus menjadi prioritas dalam perencanaan pembangunan jangka panjang.

Peningkatan kapasitas pengelolaan sampah dan limbah melalui pengadaan sarana prasarana yang memadai, kampanye kesadaran masyarakat, dan penerapan teknologi pengolahan limbah yang ramah lingkungan juga harus dilakukan untuk mencegah pencemaran lingkungan lebih lanjut, termasuk memastikan kelancaran dan keberlanjutan pembangunan infrastruktur sumber daya air. Data menunjukkan bahwa kualitas lingkungan hidup di Gorontalo masih relatif rendah, dengan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) mencapai 79,27 persen. Penurunan kualitas air, terutama disebabkan oleh aktivitas masyarakat di hulu sungai, pertambangan, serta limbah industri dan rumah tangga, mengancam produktivitas sektor pertanian dan perikanan.

Dalam upaya pemulihan kerugian ekonomi pasca-bencana banjir dan tanah longsor, langkah-langkah konkret dapat diambil, seperti perbaikan infrastruktur yang rusak, bantuan tunai langsung kepada masyarakat terdampak, serta program padat karya untuk meningkatkan pendapatan. Sambil terus menjaga stabilitas makroekonomi dan keberlanjutan fiskal. Kolaborasi antara pemerintah daerah dan sektor swasta dalam rehabilitasi dan rekonstruksi, serta pengembangan sistem peringatan dini bencana yang efektif, juga perlu ditingkatkan.

Pemerintah perlu berinvestasi dalam manajemen risiko bencana, meski begitu tantangan masih tetap ada, seperti kurangnya operasionalisasi dan pendanaan untuk rencana tersebut, dan terbatasnya kapasitas penyerapan untuk memanfaatkan penilaian risiko dalam investasi infrastruktur dan perencanaan penggunaan lahan. Skala dan periode bencana yang berkepanjangan juga memerlukan koordinasi strategis untuk secara efektif menghubungkan dan beralih dari _humanitarian response to recovery and reconstruction_.

Dalam konteks mitigasi perubahan iklim, strategi seperti penghijauan, penggunaan energi terbarukan, dan pengurangan emisi GRK harus dikembangkan untuk meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim. Pengembangan ekonomi berbasis lingkungan juga perlu didorong untuk menciptakan peluang ekonomi yang berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan mitigasi bencana dalam perencanaan pembangunan ekonomi, Gorontalo dapat mencapai pembangunan yang lebih tangguh, berkelanjutan, dan inklusif dalam 20 tahun ke depan.(*) 


Share