Go-Pena Baner

Saturday, 18 May, 2024

DEKADENSI ADAB PESERTA DIDIK (Refleksi Pendidikan di Indonesia)

Responsive image
Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo, Dr. Sitti Rachmi Massie, S.Pd.,M.Pd

       Mengingat kembali sejarah peradaban pendidikan Indonesia yang terukir indah dalam uraian Als Ik Een Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Eeen voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga) oleh Ki Hajar Dewantara Dua buku tersebut berisi kritiknya terhadap kebijakan pendidikan semasa pemerintah Hindia Belanda. Perhatiannya untuk rakyat Indonesia tak pernah berhenti, hingga terus berjuang memperdalam ilmu pendidikan yang diniatkan untuk kecerdasan anak bangsa. Walau perjuangannya mendapatkan perlawanan hingga diasingkan ke Belanda.

       Dedikasi salah seorang anak bangsa dalam mencerdaskan dan menyuarakan hak-hak pribumi. Sosok pahlawan Ki Hajar Dewantara merupakan tokoh yang aktif dalam bidang pendidikan. Pada masa kolonial Belanda, dia beserta Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo yang dikenal dengan julukan Tiga Serangkai mendirikan organisasi politik Indische Partij. Organisasi tersebut bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kebebasan menuntut ilmu, mendapatkan hak pendidikan adalah harapan Ki Hajar Dewantara untuk masyarakat Indonesia. Saat ini generasi penerus dapat merasakan makna kemerdekaan belajar dan menerapkan ilmu yang dimiliki. Salah satu program pemerintah adalah mengeluarkan program Merdeka Belajar, program yang memberikan perubahan yang diusung dari Merdeka Belajar. Bermakna transformasi terhadap ekosistem pendidikan, guru, pedagogik, kurikulum, dan sistem penilaian.

       Merdeka belajar diharapkan tidak disalahartikan dalam mengimplementasikannya di dunia pendidikan. Tapi dikuatkan pada program pengembangan pendidikan berkarakter. Melalui program penguatan pengembangan peserta didik yang berkarakter sebagai salah satu strategi yang terus dilakukan oleh Kemendikbud. Tujuannya untuk membentuk karakter peserta didik, memberikan pendidikan yang berkeadilan dengan tidak melakukan diskriminasi.

       Mengingat kemajuan media dan teknologi sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang peserta didik dalam lingkungannya. Kemajuan teknologi yang pesat juga menjadi salah satu faktor dekadensi adab peserta didik. Banyaknya informasi-informasi yang disajikan melalui media dan aplikasi yang mempermudah akses belajar peserta didik. Hanya saja, ketika kemajuan ini tidak diimbangi pendidikan akhlak kepada anak didik, maka hanya akan melahirkan ironi antoagonis akhir zaman. Sebagaimana yang dituturkan KH. Mustafa Bisri bahwa ilmu semakin tersebar, adab dan akhlak semakin lenyap. Semua itu karena di dunia maya banyak informasi yang hanya berbau negatif, hoax, penuh ujar kebencian, dan pornografi. Oleh karena itu, orangtua, guru, dan masyarakat harus saling bekerjasama, membentuk harmoni dalam memberikan pendidikan kepada anak didik.

       Sesuatu yang ironi itu disebabkan perlakuan dan perkataan peserta didik yang semakin kurang beradab. Artinya terdapat indikasi kurangnya pendidikan akhlak di lingkungan keluarga dan masyarakat. Padahal pentingnya pendidikan keluarga dalam menghargai, menghormati, diajarkan melalui pendidikan agama, akhlak, dan penerapan nilai-nilai pancasila. Akan tetapi, kesalahan sepenuhnya dialamatkan ke lembaga formal pendidikan dan pemerintah. Bahkan seringkali lembaga pendidikan dicap sebagai instansi yang tidak lagi bertujuan melahirkan manusia-manusia beradab. Sehingga ini menjadi perhatian semua lapisan masyarakat dalam menciptakan sumberdaya manusia yang berkarakter. ***


Share