Go-Pena Baner

Friday, 22 November, 2024

Pelitaqu 3, Memupuk Budaya Literasi Sebagai Media Mengupas Hakikat di Balik Syariat

Responsive image
Pesantren Literasi Thari Modanggu (Pelitaqu3)

GORUT (Go-pena.id)-Thariq Modanggu adalah salah satu tokoh politik Gorontalo Utara yang masih mewarisi budaya literasi yang kuat peninggalan para founding fathers Indonesia.

Ditengah degradasi paradigma masyarakat yang menjadikan politik praktis sebagai jalan pintas menuju garis final kekuasaan politik, Thariq hadir menjelma Hatta abad ke 21. Kecintaanya terhadap buku tidak bisa diragukan lagi.

Salah satu inovasi cemerlang Bupati Gorontalo Utara itu dalam menumbuhkan budaya literasi di Gorontalo Utara yakni dengan menggagas Pesantren Literasi Thariq Modanggu (Pelitaqu). Agenda itu hampir mirip dengan pesantren-pesantren pada umumnya yang belajar dan kajian kitab-kitab Arab klasik, namun yang menjadi perbedaan yang unik adalah, Thariq menghadirkan ribuan buku pada pesantren literasinya, yang kemudian dibaca, dikaji bersama para tamu undangan yang ia undang pada giat intelektual tersebut.

Baru-baru ini, Pelitaqu yang digelar pada Sabtu (08/04/2023) adalah yang ke tiga kalinya dibuat oleh Thariq, sehingganya diberi nama Pelitaqu 3.

Thariq tidak menampik bahwa keutamaan orang-orang yang berilmu pastilah memiliki kelas yang lebih tinggi dari rata-rata orang. Sebab hal itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam al-Qur’an, ‘walladjina utul ‘ilma darajaat’.

Hal yang lebih istimewa dari kegiatan pesantren intelektual itu yakni hadirnya Direktur Pengkajian Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Moh Sabri AR, sebagai pemberi kajian pada giat yang dilaksanakan pada 17 Ramadhan tersebut.

Sabri AR juga menyadari degradasi semangat belajar orang-orang di zaman sekarang, terlebih kaum muda sebagai pewaris tahta peradaban.

“Saat ini, kita seakan dirampas oleh dunia digital, budaya membaca atau dalam Bahasa Arab ‘Iqro’  telah terkikis, mengapa?”Tanya Sabri kepada peserta Pelitaqu yang hadir di aula Gerbang Emas Gorontalo Utara.

Hal yang sangat disayangkan adalah, budaya mebaca (iqro) yang sejak 1400 Tahun lalu didakwahkan oleh Nabi Muhamad SAW hari ini telah tergerus oleh hegemoni zaman yang semakin mempertuhankan teknologi.

“Iqro tidak hanya membaca tetapi memahami, sadari, cerdaslah, berfikir kedepan dan bervisi,” sambung Sabri.

Terminologi membaca (Iqro) jika diresapi lebih dalam seperti yang dituangkan Sabri AR adalah membaca alam, melakukan eksperimen dan menciptakan visi dan mewujudkan peradaban yang maju. Sebab peradaban Islam pada masa lampau telah mencapai zaman keemasannya akibat belajar dan mengkaji (iqro) atau yang dikenal dengan the golden age of Islam.

Sabri menguraikan makna 5 ayat pertama surah al-‘Alaq yang menguraikan perintah membaca dan keutamannya, dimana Allah SWT telah menurunkan nikmat dan kelebihan kepada manusia dibanding makhluk yang lainnya yakni kemampuan membaca (berfikir dan berakal).

Tema kajian yang dibawakan oleh tokoh yang akrab disapa Kanda Sabri ini mengantarkan kita pada perenungan filosofis dan religious akan esensi dan urgensi dari membaca.

Manusia agaknya harus kembali kepada apa yang menjadi asal penciptaannya yakni khalifah fil ard (pemimpin di atas bumi). Tentu untuk menjadi seorang pemimpin yang dicintai rakyat dan mampu mengayomi rakyat tidak serta merta dengan sekedar berpolitik, tetapi juga harus dibarengi dengan belajar (iqro).

Realitas masyarakat yang telah jauh meninggalkan bacaan menuntut setiap kaum intelek untuk melestarikan kembali budaya membaca, inilah yang dilakukan oleh bupati demi membudayakan bacaan di bumi Gorontalo Utara.

Maka jika setiap individu mampu mengamalkan apa yang telah diperintahkan (membaca) maka peradaban yang cemerlang akan semakin dekat didepan mata, peradaban yang setiap masyarakatnya dekat dengan ilmu dan Tuhannya, saat itulah masyarakat telah benar-benar kembali kepada apa yang menjadi asal pencipataannya, oleh Tharq Modanggu ini diberi istilah Back to the Vision of God. (Idal).


Share