Go-Pena Baner

Monday, 03 February, 2025

Masa Depan Partai Islam di Serambi Madinah

Responsive image
Dr. Funco Tanipu, MA

Oleh 

Dr. Funco Tanipu, MA 

 

Partai-partai Islam di Indonesia rata-rata mengambil gambar Bulan sebagai lambang partainya masing-masing. Selain bulan, ada juga bintang sebagai bagian dari lambang partai. Selain partai, ada beberapa ormas yang menggunakan bulan sebagai lambang organisasi, seperti HMI, GP Anshor, dll.

Bulan dan bintang memiliki makna keberanian, ketinggian, keteguhan, dan kekuatan politik yang menjamin tegaknya syariat Islam. 

Selain jadi lambang partai, bulan juga pertanda waktu bagi perempuan ; datang bulan. Juga penanda kesejahteraan ; awal bulan dan akhir bulan. Tapi, yang parah jika dijadikan "bulan-bulanan". 

Di Gorontalo, sayangnya nama bulan menjadi istilah minuman memabukan (komix dicampur sprite/minuman bersoda) yakni menjadi bulan-bulan.

Sebenarnya, walaupun penggunaan simbol bulan dan bintang lebih kental dengan era Islam, tetapi penggunaan bulan sabit dan bintang sebagai simbol sebenarnya sudah jauh lebih dahulu digunakan sebelum masa Islam. Simbol ini telah digunakan beberapa ribu tahun sebelumnya. Namun informasi tentang asal-usul simbol ini sulit untuk dikonfirmasi, tetapi sebagian besar sumber setuju bahwa simbol astronomi kuno ini pernah digunakan oleh masyarakat Asia Tengah dan Siberia dalam pemujaan mereka terhadap dewa-dewa matahari, bulan, dan langit. Ada juga laporan yang mengatakan bahwa bulan sabit dan bintang digunakan untuk mewakili dewi Carthaginian, Tanit, atau dewi Yunani, Diana.

Secara umum, ada 12 negara Islam yang menggunakan bulan pada bendera negaranya. Diluar negara Islam tersebut, ada 2 negara non muslim yang menggunakan lambang bulan yakni Singapura dan Nepal.

Pada Pemilu 2024, total ada 3 partai yang menggunakan lambang bulan untuk lambang partai yakni PKB, PKS, dan PBB. 

Untuk ketiga partai ini, tentu saja niatnya untuk menyampaikan kepada konstituen bahwa partai tersebut merepresentasikan nilai-nilai Islam, dan berharap umat Islam bisa menyalurkan aspirasi politik melalui partai itu.

Tentu saja, secara lebih teknis, program ketiga partai ini lebih banyak yang berkaitan dengan program-program yang bernuansa Islam.  

Persoalan apakah nanti partai-partai tersebut memang benar-benar memperjuangkan aspirasi umat Islam atau tidak, itu persoalan berikut. Sebab jika melihat trend perolehan suara, suara partai-partai yang berlambang bulan semakin hari semakin turun dibandingkan partai yang tidak menggunakan lambang bulan.

Partai Islam sendiri, yang terdiri dari PKB, PKS, PAN, PPP, PBB, Partai Ummat pada Pemilu 2024 meraih 46.886.819 suara atau 30.89 % pemilih. Secara perolehan suara, naik sekitar 4.827.441 suara dari Pemilu 2019.

Jika melihat tren tersebut, konsentrasi pemilih lebih banyak berada di PKB, PKS dan PAN. Adapun PPP sudah keluar dari parlemen karena tidak memenuhi ambang batas parlemen.

Secara khusus di Gorontalo, perolehan suaran partai Islam di Gorontalo sejak Pemilu tahun 1955 hingga 2024 terus menurun. Bahkan, dalam sejarah penempatan wakil di DPR RI, baru PPP yang berhasil menempatkan wakil di DPR RI yakni Soeharso Monoarfa dan AW Thalib. Itupun jika ditilik lebih mendalam, Soeharso bisa lolos ke DPR RI karena didominasi faktor individual, demikian pula AW Thalib tahun 2009 karena limpahan pemilihnya yang emosional saat dirinya tidak lolos di Pilwako 2008. 

Adapun PKB, PKS, dan PAN, belum pernah menempatkan kadernya di DPR RI. Padahal jika melihat berbagai hasil survey tentang jumlah pemilih yang terafiliasi pada organisasi seperti NU yang cenderung "dekat" ke PKB dan Muhammadiyah "dekat" ke PAN serta organisasi Islam lain, termasuk yang beririsan ideologi dengan PKS, mestinya partai-partai tersebut sudah pernah dan telah mengirimkan wakil ke DPR RI. Nyatanya tidak demikian. Pemilih NU, Muhammadiyah dan organisasi Islam lain, lebih memilih elit partai nasionalis yang lebih dianggap bisa mewakili aspirasinya. 

Tren lima kali Pemilu dari 2004, 2009, 2014, 2019, dan 2024, wakil Gorontalo di DPR RI cenderung diiisi partai-partai nasionalis seperti Golkar, Gerindra dan Nasdem. Hal ini berarti bahwa semangat "bulan" yang dibawa oleh partai-partai Islam, tidak dianggap bisa mewakili aspirasi pemilih Islam itu sendiri. 

Sentimen ideologi yang begitu ketat dan cenderung "kanan" saat Pemilu 2019, mulai bergerak ke tengah saat Pemilu 2024. Jualan "ideologi bulan" sepertinya sudah tidak relevan. 

Pertanyaannya, bagaimana nasib partai-partai Islam Gorontalo di 2029 nanti? Apakah akan seperti biasa ataukah malah cenderung menurun? Sebab, jika untuk meningkat dari Pemilu 2024 sepertinya tidak ada tanda-tanda yang signfikan. Hal ini terlihat pada hasil perolehan kursi di DPRD Provinsi tahub 2024, bahwa PAN, PPP, PKB, PKS cenderung bertahan seperti Pemilu 2019 dan tidak naik. Termasuk tidak terlihat indikasi akan naik untuk Pemilu 2029.

Jikapun ada elit-elit partai yang menggunakan sentimen agama pasca Pemilu 2024 bukanlah elit partai Islam, tetapi partai non Islam, salah satu contoh adalah Adhan Dambea yang dulunya di PAN kini beralih ke Gerindra, apalagi kini terpilih menjadi Walikota Gorontalo. Tentu saja pemilih yang cenderung pro ke isu keagamaan lebih cenderung akan memilih Gerindra dibandingkan partai-partai Islam. 

Nah, untuk distribusi elit partai pun, elit-elit yang powerfull memiliki kecenderungan bergabung dengan partai-partai nasionalis. Hal ini karena rekrutmen elit partai oleh partai-partai Islam cenderung tertutup, sehingga barisan elit adalah dari kelompok yang terbatas networking dan sumber daya. 

Pertanyaannya, apakah afiliasi organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah hingga organisasi lain bisa diharapkan untuk bisa mengarahkan anggotanya ke partai-partai Islam, sepertinya akan sulit. Organisasi-organisasi keagamaan tersebut tidak sama struktur dan kulturnya seperti di Jawa, NTB atau Kalimantan Selatan yang irisan partai Islam serta organisasi keagamaan sangatlah kental. 

Apalagi misalnya jika partai-partai Islam tersebut dalam rancangan program serta agenda kepartaian tidaklah mencerminkan agenda keumatan.

Jadi, bisa saja Gorontalo diklaim sebagai daerah Serambi Madinah pemilihnya pun cenderung menginginkan adanya agenda-agenda keumatan, tetapi karena partai-partai Islam memilih jalur yang berlainan dengan keinginan pemilih, maka masa depan partai-partai Islam di Gorontalo bisa saja akan memasuki era senjakala. (*)


Share