Go-Pena Baner

Wednesday, 04 December, 2024

Ekonomi Biru Memarjinalkan Nelayan?

Responsive image
Daud Yusuf

Daud Yusuf

Dosen Universitas Negeri Gorontalo

 

Dari laman Bank Dunia tercatat, Indonesia memperoleh gelontoran utang luar negeri sebesar US$ 210 juta buat sektor kelautan dalam skema ekonomi biru (EB). Melalui paradigma EB, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia menetapkan lima program utamanya: (i) perluasan kawasan konservasi laut (ii) penangkapan ikan terukur berbasis kuota (PIT). Suatu model liberalisasi penangkapan ikan lewat PP No 11/2023 (Kompas 31/03/2023); (iii) pengembangan budidaya laut, pesisir, dan darat secara berkelanjutan; (iv) pengawasan dan pengendalian pesisir dan pulau-pulau kecil; dan (v) pembersihan sampah plastik di laut. Apakah utang dari Bank Dunia tersebut buat membiayai program-program tersebut? 

Kebijakan EB sejatinya memosisikan laut sebagai ruang pembangunan demi mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi. Imbasnya secara ekonomi politik global sangat hegemonik (Schutter, 2021). Ironisnya, dalam praksisnya nelayan tradisional bukan prioritas. Pertanyaannya, EB hendak menyejahterakan nelayan tradisional atau sebaliknya? Mereka termarjinalkan, dikriminalisasi, dirampas ruang laut dan sumberdayanya hingga bermuara pada ketidakadilan sosial, ekonomi dan ekologi?

 

Pelajaran Negara Lain

Pelajaran negara lain yang menerapkan kebijakan EB ternyata menimbulkan problem, pertama, Seychelles yang mengadopsi adopsi ekonomi biru yang memosisikan laut sebagai ruang pembangunan demi mengejar pertumbuhan ekonomi lewat eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya. Problemnya, pengelolaan perikanan tuna Seychelles justru lebih berorientasi industrialisasi. Ditambah intervensi Bank Dunia lewat marine debt-for-nature swaps sebagai instrumen mengurangi utangnya. Akibatnya, industri perikanan tunanya dikuasai armada Uni Eropa sedangkan nelayan skala kecil (NSK) dan masyarakat adat terpinggirkan serta dibungkam mempersoalkan kebijakan EB (Schutter  et al 2021).

Kedua, Di Ghana NSK mengalami ketidakadilan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan karena harus berkompetisi dengan  perikanan skala besar (padat modal). Imbasnya, sumber mata pencaharian nelayan, pengolah, dan pedagang ikan skala kecil terganggu. Pasalnya, perikanan skala besar  menguras sumberdaya perikanan lokal, menganggu operasi alat tangkap dan membahayakan nyawa NSK. Mereka juga merusak sistem pasar serta posisi nilai rantai pasok ikan. Ditambah pula, organisasi ekonomi dan sosial NSK terganggu, pendapatannya merosot, timbul konflik, terjadinya pengucilan dan pemutusan hubungan sosial, serta mengorbankan identitas sosial perempuan nelayan (Ayilu et al 2023). Ujung-ujungnya keberlanjutan aktivitas perikanan skala kecil memburuk dan merusak daya resilensi kehidupannya. Fenomenanya dikenal sebagai “capitalocene” yaitu proses akumulasi kapital secara terus-menerus dengan mengorbankan alam dan masyarakat sehingga menimbulkan ketimpangan pendapatan dan mengancam kesejahteraan dan keberlanjutan sosial masyarakat rentan  di pesisir (Moore, 2016)

Ketiga, Said & MacMillan (2019) menemukan fakta teoretis dan empiris soal janji pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dari konvergensi kebijakan konservasi internasional lewat paradigma pertumbuhan biru (blue growth) mengalami “kegagalan” dan memproduksi ketidakadilan serta kesenjangan sosial – ekonomi dan ekologi perikanan pada komunitas nelayan lokal Malta. Awalnya, pemerintah Malta memuji dan mendewakan kebijakan neoliberal lewat strategi pertumbuhan biru. Namun, praksisnya malah  mencekik dan meminggirkan nelayan skala kecil (NSK). Pasalnya, kebijakan EB-nya Malta lebih memprioritaskan korporasi besar ketimbang NSK.

Keempat, Das (2023) menunjukkan bahwa penerapan EB, dan pertumbuhan biru berimbas pada NSK karena memproduksi konflik, perampasan laut dan memperluas investasi di wilayah pesisir yang menimbulkan ketidakadilan sosial dan ketidakberlanjutan ekologi. Makanya, Ia menyarankan koreksi terhadap kebijakan EB untuk menyempurnakan strategi, implementasi dan pemahaman kompleksitasnya.

Kelima,  “Operasi Phakisa” tahun 2014 dirancang McKinsey di Afrika Selatan. Proyeknya berupa investasi pelayaran dan infrastruktur pelabuhan, ekstraksi minyak dan gas lepas pantai, serta pertambangan dasar laut. Dampaknya, (i) masifnya perubahan iklim: peningkatan suhu pantai secara ekstrem, pemanasan dan pengasaman air laut (ancaman pemutihan terumbu karang), kenaikan permukaan lautan, serta kota wisata Cape Town mengering; (ii) penumpukan sampah   plastik  dalam badan air dan pesisir pantai yang mengancam kehidupan biota laut, dan (iii) perampasan lahan milik komunitas desa pesisir Wild Coast Xolobeni yang dijadikan areal penambangan Titanium (Bond, 2019). 

Keenam, kebijakan pertambangan laut dalam dan Kawasan Konservasi Laut (KKl) mengatasnamakan keberlanjutan lewat pembagian konsensi di perairan ZEE Kiribati. Dampaknya: (i) terjadinya perampasan ruang dasar laut dan (ii) perikanan skala kecil teralienasi dari agenda EB (Brent et al  2020).

Ketujuh, kebijakan pertambangan laut dalam untuk mengekploitasi mineral emas dan tembaga sedalam 1600 m (deep sea) di pulau Duke of York Islands di Papua Nugini. Dampaknya; (i) menggerus makna geo-spritual masyarakat pulaunya; (ii) mengganggu keberlanjutan mata pencaharian masyarakat pulaunya terutama penadapannya dan (iii) degradasi sumber daya alam dan kerusakan ekologi pulau kecilnya (Szerszynski 2017 & Childs, 2019). Berbagai fakta ini membuktikan bahwa EB justru memproduksi ketidakadilan sosial ekonomi, degradasi sumberdaya alam laut dan ekologi, konflik, hingga krisis iklim yang memarjinalkan nelayan. 

 

Ekonomi ala Indonesia

Sebagai anti tesis EB, penulis mengusulkan gagasan Ekonomi Nusantara (EN) yaitu suatu model ekonomi alternatif berkebudayaan yang melekat dalam komunitas etnik (embedded) dalam mengelola sumberdaya alam kelautan dan perikanan tanpa marjinalisasi nelayan. Aktivitasnya berbasis: (i) ekonomi suku-suku penghuni awal (asli) dari suatu daerah, yang dimiliki dan/atau diwariskan turun-temurun secara regenerasi di kelautan dan perikanan; (ii) bentuk produk (kreasi) budaya masyarakat pesisir dan pulau kecil, dan (iii) sumber daya alam yang ada dalam kepemilikan komunitas etnik di wilayah pesisir dan pulau kecil (Ida, 2014, Damanhuri et al 2023). Damanhuri (2023) menyebutnya sebagai model  “Ekonomi Heterodoks”, yakni keluar dari perspektif sosial demokrasi ala Eropa dan neoliberalisme ala Amerika Serikat.

Sembiring et al (2021) menyebutnya sebagai praktik ekonomi komunitas lokal dari berbagai wilayah Indonesia, memiliki riwayat kejayaan masa lalu dan berorientasi memulihkan krisis serta menekankan keselarasan dan kesatuan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Esensinya: keadilan dan kelestarian. Indikatornya: (i) hubungan kejayaan masa lalu dengan kondisi kekinian; (ii) hubungan praktik ekonomi lokal dengan lanskap ekologis sekitar; (iii) integrasi praktik ekonomi dengan aspek sosial dan lingkungan, dan (iv) memiliki dimensi pemulihan kondisi sosial-ekologis (WALHI, 2021). Mirip konsep degrowth yang menolak orientasi pertumbuhan  an sick yang bersifat eksploitatif dan ekstraktif.  

Corvellec  & Paulson (2023) memahaminya sebagai kombinasi sosial resourcification dan de-reourcification menuju transisi degrowth dalam pergeseran model pengelolaan sumberdaya alam (resources shifting). Gagasannya mesti terinstitusionalisasi dalam UUD 1945 yang memosisikan serta mengakui “hak hidup dan hak alam (nature)” untuk memiliki “subyek hak” dalam pengelolannya. Tujuannya, menjamin keseimbangan metabolisme alam, mengurangi ketidakadilan sosial berbasis solidaritas dan kemajemukan  berdemokrasi dengan memberi ruang partisipasi sosial bagi masyarakat lokal/adat. Proses institusionalisasinya lewat amandemen UUD 1945. Jika sudah masuk konstitusi, kejahatan perikanan, pembuangan sampah plastik, perampasan laut dan pencemaran akibat pertambangan lepas pantai maupun laut dalam setidaknya diminimalisasi. Konsekuensinya, pelakunya wajib mengganti rugi masyarakat terdampak dan  memulihkan alam, serta sumberdayanya.  (*) 


Share