Go-Pena Baner

Friday, 18 October, 2024

Dosen Linguistik UNG Tanggapi Secara Linguistik Forensik terkait Pemberian Gelar "Sarjana Hutu" di Akun IG "Gorontalo Karlota"

Responsive image
Dosen Linguistik UNG Jefriyanto Saud, S.Pd.,M.A

Gorontalo - Media sosial memainkan peran penting dalam interaksi sosial dan penyebaran informasi melalui platform seperti Facebook, Tiktok, Twitter atau Instagram. Namun, kebebasan berbicara di media sosial sering disalahgunakan, menyebabkan penyebaran informasi yang tidak akurat, fitnah, dan kebencian, yang dapat merusak reputasi dan memicu konflik sosial. Penyalahgunaan ini juga berpotensi menimbulkan masalah hukum, seperti denda atau hukuman penjara sesuai dengan undang-undang di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Artikel ini menggunakan pendekatan linguistik forensik untuk menekankan pentingnya etika komunikasi di media sosial. Linguistik forensik membantu menganalisis penggunaan bahasa dalam konteks hukum, seperti dalam kasus pencemaran nama baik. Studi kasus mengenai penggunaan bahasa yang tidak pantas terhadap Gelar Akademik di Gorontalo menunjukkan pelanggaran etika dan kemungkinan konsekuensi hukum. Kesadaran akan etika dan aturan hukum di media sosial sangatlah penting. Pendidikan mengenai etika komunikasi perlu ditingkatkan untuk menciptakan lingkungan media sosial yang lebih positif.

Penggunaan Bahasa yang Tidak Pantas terhadap Gelar Akademik di Gorontalo

Kasus ini bermula ketika seorang wanita di gorontalo ini yang dalam pengakuannya ia menyatakan bahwa tindakannya didasarkan pada ancaman yang ia terima dari mantan pacarnya yang bernama Adit (sesuai dengan postingan akun Gorontalo Karlota). Pelaku terpaksa harus melakukan berbagai cara untuk mendapatkan masukan tambahan agar bisa memenuhi keinginan mantan pacarnya ini termasuk menggadaikan 12 laptop milik teman-temannya. Namun hal ini belum ada konfirmasi dari pihak “Adit” apakah hal tersebut benar adanya. Hal ini memicu banyak respon dari berbagai pihak. Hal yang kontroversial kemudian muncul melalui respon di media sosial yang menggunakan istilah vulgar.

Penyimpangan ini dilakukan melalui akun Instagram dan tiktok "Gorontalo Karlota" yang memplesetkan gelar akademik “Adit” yakni Sarjana Hukum dengan Sarjana Hutu. Istilah “Hutu” ini merujuk pada alat kelamin pria dalam bahasa daerah Gorontalo dan dianggap sangat kasar. Akun “Gorontalo Karlota,” dengan secara terang-terangan menambahkan gelar "Mokondo" setelah nama lengkap Adit dan memplesetkan gelar akademiknya, SH (Sarjana Hukum), menjadi sebutan yang memberi makna yaitu “Sarjana Hutu”. Gelar SH, yang merupakan singkatan dari Sarjana Hukum, dikenal luas sebagai salah satu gelar akademik yang bergengsi dan sangat diminati. Kasus ini menunjukkan bagaimana media sosial dapat digunakan untuk menyerang dan menyerang individu, yang menimbulkan pertanyaan tentang etika dan dampak dari perilaku di dunia maya. 

Melalui tulisan ini, penulis ingin mendeskripsikan keadaan ini melalui sudut pandang kebahasaan yang elaborasinya dengan bidang hukum, atau yang secara ilmiahnya dalam analisis linguistik forensik.

Identifikasi Penulisan dan Gaya Bahasa:

● Gaya Bahasa: Penggunaan istilah “Hutu” menunjukkan gaya bahasa yang kasar dan menyinggung. Analisis gaya bahasa ini mencakup pola kalimat dan pilihan kata untuk memahami maksud penulis. Penggunaan bahasa yang sangat negatif dan istilah lokal yang vulgar memberikan petunjuk tentang intensitas penulis untuk menghina “Adit”.

● Pola Kalimat: Kalimat yang digunakan oleh akun "Gorontalo Karlota" cenderung singkat, langsung, dan mengandung unsur penghinaan yang eksplisit. Pola ini menunjukkan kurangnya upaya untuk menyembunyikan niat jahat atau memberikan konteks yang lebih luas, yang sering kali dilakukan untuk memperkuat pesan penghinaan.

● Pilihan Kata: Pemilihan kata-kata kasar dan istilah lokal yang vulgar tidak hanya mencerminkan niat untuk menyerang secara verbal, tetapi juga untuk mempermalukan target di depan audiens yang lebih luas. Istilah seperti "Hutu" memiliki konotasi yang sangat negatif dalam budaya lokal dan menunjukkan niat yang jelas untuk mencapainya.

Makna dan Konteks Penggunaan Istilah:

● Makna Harfiah dan Kiasan: Istilah “Hutu” dalam bahasa daerah Gorontalo Merujuk secara vulgar pada alat kelamin pria, yang dalam hal ini digunakan oleh akun “Gorontalo Karlota” menunjukkan penghinaan. Penggunaan istilah ini tidak hanya kasar tetapi juga sangat menyentuh, menggambarkan rasa tidak hormat dan tujuan untuk kesempurnaan. Istilah ini digunakan untuk memplesetkan gelar akademik “Adit” dengan cara yang sangat jelas, mengubah gelar yang seharusnya terhormat menjadi penghinaan.

● Analisis Makna Kiasan: Selain makna harfiah, istilah "Sarjana Hutu" digunakan dalam konteks yang lebih luas untuk menunjukkan pelanggaran terhadap status dan prestasi akademik seseorang. Penggunaan istilah ini dalam konteks akademik menggambarkan upaya untuk mencapai pencapaian akademik “Adit” dan membuatnya terlihat tidak berharga. Hal ini belum pernah dilakukan oleh siapapun dan dimanapun sebelum kasus ini terkuak, sehingga gelar “Sarjana Hutu” ini sangat jelas hanya digunakan semata-mata untuk memahami “Adit” atas dugaan kasus yang menghalanginya. Kemudian dapat disimpulkan bahwa penggunaan istilah tersebut memang hanya ditujukan kepada individu “Adit” dan tidak meluas terhadap gelar Sarjana Hukum itu sendiri.

● Konteks Sosial: Dalam budaya Gorontalo, istilah ini dianggap sangat kasar dan tidak layak digunakan. Menganalisis konteks sosial dan budaya membantu memahami mengapa penggunaan istilah ini dapat mempengaruhi reputasi dan hubungan sosial “Adit” secara signifikan.

● Reputasi Sosial: Penggunaan istilah vulgar dalam konteks sosial budaya tertentu dapat memiliki dampak yang besar pada reputasi seseorang. Di Gorontalo, di mana norma-norma sosial dan etika sangat tinggi, istilah semacam ini bisa merusak reputasi “Adit” di mata masyarakat.

● Hubungan Sosial: Penggunaan bahasa yang kasar dan kasar dapat mempengaruhi hubungan sosial “Adit” dengan teman, keluarga, dan rekan kerja. Penghinaan publik semacam ini dapat menyebabkan isolasi sosial dan pengucilan, serta mempengaruhi hubungan profesional dan pribadi.

Analisis Dampak:

● Konsekuensi Sosial dan Respon Publik: Penggunaan bahasa yang sangat kasar dapat menimbulkan sanksi sosial, seperti pengucilan atau boikot dari media sosial. Respon publik terhadap akun "Gorontalo Karlota" bisa mencakup reaksi negatif yang meluas, yang menunjukkan dampak bahasa kasar terhadap reputasi individu.

● Konsekuensi Hukum: Istilah vulgar ini dapat melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta pasal pencemaran nama baik dalam KUHP.

Kesimpulan:

Melalui pendekatan linguistik forensik, dapat diungkapkan dampak serius dari penggunaan bahasa kasar di media sosial. Kasus penggunaan istilah vulgar seperti "Sarjana Hutu" menunjukkan bagaimana bahasa yang tidak pantas dapat merusak reputasi individu dan hubungan sosial, serta berpotensi melanggar hukum. Pendidikan dan kesadaran akan etika digital sangat penting untuk mencegah pelanggaran dan menciptakan lingkungan media sosial yang lebih sehat dan adil.***


Share