Go-Pena Baner

Wednesday, 19 November, 2025

Bappeda Provinsi Gorontalo Gelar FGD Bahas Pengelolaan Tambang Mineral Non Logam dan Dampaknya

Responsive image
Foto bersama peserta FGD Bappeda Provinsi Gorontalo, Rabu (05/11/2025)

Gorontalo — Dalam upaya mendukung program Gubernur Gorontalo Gusnar Ismail dan Wakil Gubernur Idah Syahidah untuk memperkuat tata kelola sumber daya alam yang berkelanjutan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Gorontalo menggelar Focus Group Discussion (FGD) terkait hasil awal penelitian “Kajian Pengelolaan Tambang Mineral Bukan Logam dan Dampaknya terhadap Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi”.
Kegiatan ini berlangsung di halaman kantor Bappeda Provinsi Gorontalo, Rabu (5/11/2025).

Kegiatan tersebut dibuka secara resmi oleh Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo yang diwakili oleh Kepala Bidang Riset dan Inovasi, Tity Datau. Dalam sambutannya, Tity menyampaikan bahwa kegiatan FGD ini merupakan bagian penting dari upaya Pemerintah Provinsi Gorontalo untuk memastikan praktik pertambangan mineral bukan logam berjalan berkelanjutan serta selaras dengan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat.

“FGD ini menjadi wadah untuk mendalami hasil awal penelitian dan mengumpulkan masukan dari berbagai pihak agar nantinya rekomendasi kebijakan yang dihasilkan dapat lebih aplikatif dan berpihak pada kepentingan masyarakat,” ujar Tity.

Penelitian yang dipaparkan oleh tim peneliti dari Bappeda Provinsi Gorontalo mengambil lokasi di Desa Botubarani, Kabupaten Bone Bolango, dengan fokus pada pengelolaan tambang andesit dan dampaknya terhadap lingkungan sekitar. Berdasarkan hasil awal, ditemukan bahwa terdapat dua area tambang yang telah memiliki izin, sementara satu area lainnya masih dalam proses perizinan.

Menariknya, meskipun terdapat area yang baru satu tahun beroperasi secara resmi, aktivitas penambangan sebenarnya telah dilakukan cukup lama oleh masyarakat lokal secara manual. Hal ini menyebabkan perubahan kondisi alam di sekitar lokasi tambang, termasuk potensi sedimentasi yang tinggi di sungai dan kawasan pesisir.

“Yang sudah berizin itu memang baru satu tahun lebih beroperasi, tetapi proses penambangan secara manual oleh warga sudah berlangsung lama. Kondisi sedimentasi yang kami temukan berada pada jalur yang dulunya bukan sungai, melainkan celah-celah aliran air yang terbentuk akibat aktivitas tambang. Lokasi yang kami kaji cukup dekat dengan area wisata hiu paus, hanya sekitar 1,77 kilometer, sehingga potensi aliran sedimen menuju kawasan wisata tersebut sangat tinggi,” jelas Dr. Raghel Yunginger, salah satu peneliti utama.

Lebih lanjut, Raghel menambahkan bahwa kondisi tebing di sekitar area tambang turut berkontribusi terhadap meningkatnya jumlah sedimen di muara. “Walaupun bukan di area tambang, struktur tanah di tebing sekitar area tersebut cukup rawan. Ketika hujan turun, terjadi pergerakan tanah yang membawa material sedimen hingga ke muara, dan muara ini langsung mengalir ke lokasi wisata. Jadi secara ekologis, efeknya berantai,” ungkapnya.

Dari sisi sosial ekonomi, Raghel menuturkan bahwa dampak ekonomi terhadap masyarakat sekitar belum signifikan. “Dari sepuluh orang pekerja di sana, hanya sebagian kecil yang benar-benar bekerja di perusahaan tambang. Kebanyakan masyarakat justru masih bekerja di sektor lain seperti nelayan, buruh, dan jasa informal. Jadi, kontribusi tambang terhadap kesejahteraan ekonomi masyarakat masih terbatas,” tambahnya.

Melalui FGD ini, para peserta yang terdiri dari akademisi, OPD terkait, dan pelaku usaha tambang berdiskusi mengenai model pengelolaan yang ideal agar aktivitas pertambangan di Gorontalo dapat memberikan manfaat berkelanjutan bagi daerah dan masyarakat tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan.

“Diharapkan hasil akhir dari kajian ini bisa menjadi dasar perumusan kebijakan dan regulasi yang memperkuat tata kelola pertambangan berkelanjutan di Provinsi Gorontalo,” tutup Tity Datau.  (Wan)


Share