Go-Pena Baner

Thursday, 21 November, 2024

Penurunan Angka Putus Sekolah dan Upaya Meningkatkan Partisipasi Pendidikan

Responsive image
Akmal Ahmad Faadilah (Foto : Dok Pribadi)

Oleh : 

Akmal Ahmad Faadilah (Mahasiswa UIN Saizu Purwokerto)

Pendidikan adalah fondasi yang menyokong setiap langkah menuju kemajuan bangsa, ibarat lentera yang menerangi jalan di tengah kegelapan. Di Indonesia, pendidikan bukan sekadar persoalan akademis, melainkan juga jalan untuk membangun generasi muda yang mampu beradaptasi dengan perubahan global. Melalui pendidikan, anak-anak dibekali keterampilan dan wawasan untuk menjawab berbagai tantangan. Namun, di balik harapan besar ini, masih ada tantangan besar yang menghantui yaitu tingginya angka putus sekolah. Tantangan ini memerlukan perhatian serius agar setiap anak Indonesia dapat menikmati hak pendidikan dengan layak.

Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2023, angka putus sekolah mengalami penurunan sebesar 1,2% dibandingkan tahun 2022. Pencapaian ini adalah hasil dari kerja keras pemerintah melalui berbagai program seperti Program Indonesia Pintar (PIP) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang bertujuan meringankan beban pendidikan bagi keluarga kurang mampu. Meski demikian, penurunan ini bukan alasan untuk berpuas diri. Masih banyak hal yang perlu dibenahi agar pendidikan dapat diakses oleh semua anak Indonesia tanpa terkecuali.

Pilar Hukum dalam Mewujudkan Pendidikan Inklusif

Dalam konteks hukum, dasar-dasar yuridis dalam pembangunan pendidikan di Indonesia telah diatur dalam berbagai undang-undang dan peraturan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi landasan utama yang menegaskan hak pendidikan bagi setiap warga negara. Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 menegaskan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Ketentuan ini memberikan kekuatan hukum bagi pemerintah dalam melaksanakan program-program yang bertujuan menurunkan angka putus sekolah, termasuk PIP. PIP sendiri diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 yang memberikan bantuan tunai kepada siswa kurang mampu. Seperti yang disampaikan oleh Nadiem Makarim pada Mei 2023 dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional, “Kami ingin memastikan bahwa tidak ada anak yang tertinggal pendidikan hanya karena alasan ekonomi.” Dengan dasar hukum yang kuat, berbagai upaya untuk menurunkan angka putus sekolah memperoleh legitimasi yang diperlukan.

Sejarah Panjang Pendidikan di Indonesia

Secara historis, akses terhadap pendidikan di Indonesia telah mengalami perkembangan yang panjang. Sejak masa awal kemerdekaan, pendidikan masih menjadi hak istimewa segelintir orang. Kemudian, program Wajib Belajar 6 Tahun diperkenalkan pada era Orde Baru, membuka peluang bagi lebih banyak anak untuk mengenyam pendidikan. Seiring waktu, program ini diperluas menjadi Wajib Belajar 9 Tahun, dan pada era reformasi menjadi Wajib Belajar 12 Tahun. Kebijakan ini bertujuan agar setiap anak Indonesia dapat menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2022, tingkat partisipasi pendidikan anak usia sekolah mencapai 94,21%. Peningkatan ini tidak lepas dari upaya perbaikan fasilitas pendidikan dan peningkatan kualitas tenaga pendidik. Namun, ketimpangan antara daerah perkotaan dan pedesaan masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan.

Filosofi Pendidikan sebagai Keadilan Sosial

Secara filosofis, pendidikan memiliki makna yang lebih mendalam sebagai sarana untuk mencapai keadilan sosial. Konsep ini tercermin dalam sila ke-5 Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” yang menegaskan pentingnya kesetaraan dalam mendapatkan pendidikan. Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan seharusnya membentuk manusia yang merdeka, yaitu yang bebas berpikir dan berkreasi (Rini, 2022). Melalui pendidikan yang inklusif, diharapkan tercipta keseimbangan sosial dan ekonomi di masyarakat. Filosofi ini mendorong pemerintah untuk terus menjalankan program-program yang memastikan setiap anak, tanpa memandang latar belakang sosial atau ekonomi, mendapatkan hak pendidikannya. Misalnya, program “Sekolah Penggerak” yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan di daerah-daerah tertinggal, sehingga semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk belajar.

Pengaruh Pendidikan terhadap Struktur Sosial

Dari sudut pandang sosiologis, pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk tatanan sosial dan ekonomi masyarakat. Pendidikan yang berkualitas membuka kesempatan bagi generasi muda untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, meningkatkan kesejahteraan, dan mengatasi kemiskinan. Berdasarkan data BPS tahun 2021 hingga 2023, tingkat pengangguran terbuka di kalangan lulusan SMA umum berkisar antara 9,09% hingga 8,15%, sedangkan lulusan SMK berkisar antara 11,13% hingga 9,31%. Hingga Februari 2024, tingkat pengangguran lulusan SMA turun menjadi 6,73%, sementara lulusan SMK mencapai 8,62%. Namun, tingkat putus sekolah tetap menjadi tantangan, khususnya pada jenjang SMA yang mencapai 26,75% di perkotaan dan 43,62% di pedesaan. Pendidikan juga berperan dalam mengurangi kesenjangan gender. Program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) berusaha menjangkau siswa laki-laki dan perempuan, memastikan tidak ada yang tertinggal dalam pendidikan.

Langkah-Langkah Menurunkan Angka Putus Sekolah

Keberhasilan dalam menurunkan angka putus sekolah di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh berbagai program bantuan pendidikan yang dijalankan pemerintah. Program Indonesia Pintar (PIP) adalah salah satu yang paling berpengaruh, memberikan bantuan tunai kepada lebih dari 20 juta siswa dari keluarga kurang mampu hingga tahun 2023. PIP berhasil meningkatkan partisipasi pendidikan sebesar 15% menurut laporan Kemendikbudristek. Selain itu, pemerintah memperluas cakupan beasiswa melalui program “Beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM)” dan “Beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik)” untuk siswa dari daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).

Selain bantuan finansial, perbaikan infrastruktur juga menjadi fokus pemerintah. Ribuan sekolah di daerah-daerah terpencil telah diperbaiki untuk memastikan fasilitas yang layak bagi anak-anak di daerah tersebut. Laporan Bappenas tahun 2022 menunjukkan lebih dari 5.000 sekolah telah diperbaiki. Dengan adanya infrastruktur yang memadai, anak-anak di daerah terpencil tidak perlu lagi menempuh perjalanan jauh hanya untuk belajar. Kepala Bidang Sosial Budaya Pemerintahan Bappeda, Sumilir Wijayanti, mengungkapkan, “Pendidikan harus bisa dirasakan oleh seluruh anak bangsa, tanpa terkecuali.”

Menghadapi Tantangan dalam Meningkatkan Partisipasi Pendidikan

Walaupun angka putus sekolah menurun, masih ada tantangan besar dalam mewujudkan akses pendidikan yang merata. Salah satu tantangan utama adalah ketimpangan akses terhadap teknologi dan internet. Laporan UNICEF tahun 2023 mengungkapkan bahwa banyak daerah di Indonesia yang belum memiliki akses internet yang memadai, padahal digitalisasi pendidikan menjadi semakin penting (UNICEF, 2023). Kesenjangan ini membuat anak-anak di daerah perkotaan lebih mudah mengakses informasi dibandingkan mereka yang tinggal di daerah terpencil. Selain itu, kualitas pengajaran di berbagai daerah masih belum merata. Program “Program Pendidikan Guru Penggerak” yang diluncurkan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru agar kualitas pengajaran di seluruh Indonesia menjadi lebih baik.

Biaya pendidikan di jenjang menengah atas dan perguruan tinggi juga masih menjadi kendala bagi sebagian masyarakat, terutama keluarga berpenghasilan rendah di kota besar. Menurut Sujatmoko (2020), sekitar 30% orang tua mengaku biaya pendidikan menjadi hambatan dalam melanjutkan pendidikan anak-anak mereka. Masalah ini memerlukan perhatian khusus agar pendidikan benar-benar dapat diakses oleh semua kalangan.

Membangun Masa Depan Pendidikan yang Berkeadilan

Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang berdampak luas bagi kemajuan bangsa. Upaya untuk menurunkan angka putus sekolah dan meningkatkan partisipasi pendidikan menunjukkan bahwa Indonesia sedang bergerak menuju arah yang benar. Namun, perjalanan ini masih panjang dan membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Seperti yang disampaikan oleh Nadiem Makarim, “Pendidikan bukan hanya tentang angka dan statistik, tetapi tentang masa depan anak-anak kita.” Dengan komitmen dan kerjasama yang kuat, diharapkan pendidikan di Indonesia menjadi lebih inklusif dan berkualitas, sehingga setiap anak dapat menggapai masa depan yang lebih cerah.

 

 


Share