Go-Pena Baner

Sunday, 20 July, 2025

Kebijakan Share Berita, Dr. Alvian : Gubernur Gorontalo laporan Ke Rakyat

Responsive image
Dr. Alvian Mato.,S.Pd.I.,SH.,M.Pd.I ( Tim komunikasi pemerintah Provinsi Gorontalo)

GORONTALO — Pemerintah Provinsi Gorontalo menegaskan bahwa kebijakan meminta Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk turut menyebarkan informasi pembangunan dan program pemerintah merupakan bentuk tanggung jawab administratif yang sah dan tidak bertentangan dengan aturan hukum. Hal ini disampaikan oleh Dr. Alvian Mato, S.Pd.I., SH., M.Pd.I., selaku anggota Tim Komunikasi Pemerintah Provinsi Gorontalo.

 

Menurutnya, Gubernur sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di tingkat provinsi memiliki wewenang yang sah berdasarkan Undang-Undang ASN dan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS. Regulasi tersebut menegaskan bahwa ASN wajib melaksanakan kebijakan pejabat yang berwenang serta menjaga citra positif instansi pemerintah.

 

"Di era digital, menjaga citra pemerintah bisa dilakukan dengan menyebarkan informasi yang benar dan resmi melalui media sosial, termasuk oleh ASN secara pribadi. Ini bukan propaganda atau ajang mencari panggung, tapi bentuk etos kerja dan loyalitas publik," tegas Dr. Alvian, Kamis (18/7/2025).

 

Ia menambahkan, kebijakan ini juga selaras dengan semangat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan melalui akses terhadap informasi publik.

 

Terkait kekhawatiran sebagian pihak soal pelanggaran privasi, Dr. Alvian menyebut hal itu sebagai sesuatu yang terlalu dibesar-besarkan. "Tidak ada kewajiban membuka data pribadi ASN, tidak ada penyitaan akun. Kendali tetap di tangan pemilik akun. Ini murni soal tanggung jawab moral dan profesional," imbuhnya.

 

Bahkan, ia menyinggung bahwa ASN yang menerima Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) sepatutnya juga menunjukkan kontribusi nyata di luar tugas teknis, salah satunya dengan ikut mempublikasikan hasil kerja pemerintah kepada masyarakat.

 

"Kalau sudah menerima TPP tapi enggan mendukung citra positif instansi, ya mungkin sudah waktunya untuk bercermin. Kita ini digaji oleh rakyat, bekerja untuk rakyat, dan sudah semestinya melaporkan hasil kerja kepada rakyat," ujar Alvian.

 

Di akhir pernyataannya, Alvian menegaskan bahwa kebijakan tersebut memiliki landasan yuridis yang kuat dan tidak bertujuan untuk mencari pujian, tetapi mendorong keterlibatan publik dalam pembangunan melalui informasi yang terbuka dan akuntabel.

 

"Peraturan ini adalah bentuk pertanggungjawaban moral. Rakyat berhak tahu apa yang sedang dikerjakan pemerintahnya," pungkasnya.

 

Sebelumnya, Kebijakan Gubernur Gorontalo yang mewajibkan ASN menyebarkan informasi pemerintahan melalui akun media sosial pribadi mengundang sorotan tajam dari kalangan praktisi hukum. Salahudin Pakaya, SH, praktisi hukum senior Gorontalo, menyebut langkah itu bukan hanya salah arah, tetapi juga menabrak berbagai ketentuan hukum secara terang-terangan.

Dalam Keputusan Gubernur Nomor 201/26/VII/2025, ASN diharuskan menyebarkan minimal 95 persen konten informasi pemerintahan melalui akun media sosial pribadi seperti WhatsApp dan Facebook setiap bulan. Jika tidak, Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) mereka ditunda. Kebijakan ini berlaku menyeluruh dan menyasar seluruh ASN tanpa mempertimbangkan jabatan, fungsi kerja, maupun ruang privasi mereka sebagai warga negara.

 

Salahudin menilai keputusan ini sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran prinsip dasar dalam tata kelola pemerintahan daerah. Ia menegaskan bahwa tidak ada satu pun undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk memaksa ASN menggunakan akun pribadi sebagai alat penyebaran kebijakan pemerintah. “Ini pelanggaran hukum serius. Gubernur telah melampaui batas kewenangannya sebagai kepala daerah,” ujar Salahudin. 

 

Ia menjelaskan, penggunaan akun pribadi menyangkut hak konstitusional atas privasi, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G dan 28F UUD 1945. Di sisi lain, pemaksaan penggunaan akun pribadi untuk tugas negara tanpa persetujuan eksplisit juga melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. “Negara tidak boleh memaksa warga, apalagi ASN, untuk mengubah ruang privat menjadi ruang propaganda pemerintahan,” tegasnya.

Menurut Salahudin, sanksi penundaan TPP yang dikenakan kepada ASN karena tidak menyebarkan informasi juga melanggar hukum administrasi negara. Ia menegaskan bahwa TPP adalah bagian dari hak keuangan ASN yang pengaturannya harus berbasis pada hukum positif, bukan berdasarkan interpretasi sepihak seorang kepala daerah. “TPP itu diatur lewat sistem kepegawaian dan APBD. Tidak bisa Gubernur seenaknya mengkaitkan hak itu dengan aktivitas media sosial,” jelasnya.

Dalam pandangannya, keputusan ini menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi tidak memahami batas antara ruang publik dan ruang privat. ASN bukanlah alat kekuasaan, melainkan pelayan masyarakat. Ketika pemerintah memaksa mereka menjadi corong informasi lewat akun pribadi, itu bukan hanya pembengkokan fungsi birokrasi, tetapi juga bentuk represi digital terselubung.

 

“Kita harus lawan kebijakan yang membungkus kontrol sosial dengan alasan penyebaran informasi. Ini negara hukum, bukan negara posting,” tutup Salahudin. (*)

 

 

 


Share